Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Oct 1, 2011

Apakah Quran Wahyu Ilahi - Part B-3

Jay Smith : Apakah Quran Wahyu Ilahi

Apakah Quran Wahyu Ilahi

Oleh : Jay Smith
diterjemahkan oleh Badranaya , Netter FFI Indonesia.

B. Masalah-masalah dalam Tradisi Islam

B.3. Kredibilitas

Ada banyak diskusi mengenai kredibilitas kompilasi hadis, tidak hanya di kalangan sejarawan sekuler, tetapi dalam Islam juga, bahkan sampai saat ini.
Seperti kita catat sebelumnya, sebagian besar teks sejarah kita tentang Islam awal yang disusun antara tahun 850-950 M (Humphreys 1991:71). Semua kumpulan naskah terkemudian ini digunakan sebagai standar mereka, sedangkan materi sebelum tahun-tahun itu tidak bisa menjadi bukti yang menguatkan berkaitan dengan akurasinya (Humphreys 1991:71-72). Bisa jadi bahwa tradisi sebelumnya tidak lagi relevan, dan begitu juga dibiarkan lapuk, atau dihancur. Kita tidak tahu. Apa yang kita tahu adalah bahwa para pengumpul itu kemungkinan besar mengambil materi mereka dari koleksi yang dikumpulkan dalam dekade sekitar 800 M, dan bukan dari dokumen yang ditulis pada abad ketujuh, dan tentu bukan dari pribadi Muhammad atau sahabatnya (Humphreys 1991 : 73, 83; Schacht 1949:143-145; Goldziher 1889-90:72).

Kita juga tahu bahwa banyak dari mereka kompilasi parafrase dari Akhbar sebelumnya (anekdot dan frase) yang mereka anggap dapat diterima, meskipun apa kriteria yang mereka pakai untuk membedakan yang bisa dan tidak bisa diterima masih tidak jelas (Humphreys 1991:83). Sekarang tampak jelas bahwa awal abad kesembilan "aliran hukum / fiqih" mengotentifikasi agenda mereka sendiri dengan menegaskan bahwa doktrin-doktrin mereka datang awalnya dari sahabat nabi dan kemudian dari nabi sendiri (Schacht 1949:153-154).

Schacht berpendapat bahwa asal muasal pengambil-alihan ini berasal dari sarjana al-Syafi'i (meninggal pada 820 AD). Dialah yang menetapkan bahwa semua tradisi hukum harus dilacak kembali ke Muhammad untuk mempertahankan kredibilitas mereka. Akibatnya sejumlah besar tradisi hukum oleh aliran Fiqih klasik pada masa itu diserukan seakan-akan bersumber dari jaman nabi, yang akibatnya memunculkan ekspresikan doktrin-doktrin lain seperti halnya dari aliran Iraqian, dan bukan dari Arab awal (Schacht 1949: 145). Inilah agenda yang ditekankan oleh masing-masing sekolah hukum tentang pilihan tradisi dalam abad kesembilan dan kesepuluh yang banyak orang percayai berasal dari hadis.

Wansbrough setuju dengan Humphreys dan Schacht ketika ia mengatakan bahwa catatan sastra ini, walaupun menampilkan setting waktu yang kontemporer dengan peristiwa yang mereka gambarkan, sebenarnya milik masa jauh sesudah kejadian tersebut, yang menunjukkan bahwa mereka telah ditulis sesuai dengan poin terkemudian untuk memenuhi tujuan dan agenda di jaman terkemudian (Rippin 1985:155-156). (pent- dengan kata lain, hadis-hadis itu menggambarkan Muhammad yang berbicara menyoal ini dan itu, padahal itu tidak pernah terjadi, semua itu dijadikan alat untuk melegitimasi keyakinan dan produk hukum kaum fiqih pada tahun 800an. Untuk memperkuat keyakinan mereka maka figur Muhammad dicomot sebagai figur komunikator ).

Ambil contoh dari Syiah. Agenda mereka memang cukup transparan, karena mereka mempertahankan bahwa dari 2.000 hadis yang valid mayoritas (1.750) berasal dari Ali, menantu nabi, yang kepadanya kaum Syi'ah mencari inspirasi. Bagi seorang pengamat selintas kelihatannya ini agak mencurigakan. Jika premis keaslian Syiah itu murni politik, lalu mengapa tidak kita simpulkan premis yang sama pada para penyusun lain dari tradisi?

Pertanyaan yang harus kita ajukan disini adalah adakah "butiran kebenaran sejarah" yang mendasari yang tersisa bagi kita untuk digunakan? Schacht dan Wansbrough keduanya skeptis mengenai hal ini (Schacht 1949:147-149; Wansbrough 1978:119).

Patricia Crone mengambil argumen satu langkah lebih jauh dengan berpendapat bahwa kredibilitas tradisi tersebut sudah hilang akibat bias dari setiap individu pengumpul kisah. Dia menyatakan:

“Karya-karya para penyusun pertama seperti Abu Mikhnaf, Sayf bin ‘Umar’ Awana, Ibn Ishaq dan Ibn al-Kalbi adalah tumpukan sekadar dari tradisi yang berbeda-beda, tidak mencerminkan satu kepribadian, aliran, waktu atau tempat: Sebagai seorang Madinah Ibnu Ishaq mentransmisikan tradisi yang mendukung Irak, sehingga tradisi Saif Irak menentangnya. Dan semua kompilasi dicirikan dengan dimasukkannya materi dalam mendukung pendekatan hukum dan doktrinal yang bertentangan. (Crone 1980:10)
Dengan kata lain, sekolah-sekolah lokal hukum sebenarnya membentuk tradisi-tradisi yang berbeda, bergantung pada konvensi lokal dan pendapat ulama setempat (Rippin 1990:76-77). Nantinya para sarjana menyadari keragaman ini dan melihat perlunya menyatukan hukum Islam. Solusinya ditemukan dengan cari mengaitkan kisah-kisah itu dengan tradisi Nabi, yang akan membut kisah itu memiliki otoritas, bukan hanya pendapat seorang ulama. Oleh karena itu tradisi-tradisi yang dikaitkan dengan Muhammad mulai berkembang biak dari sekitar 820 seterusnya AD (Schacht 1949:145; Rippin 1990:78).

Ambil contoh Sirah, yang memberi kita bahan terbaik tentang kehidupan nabi. Tampaknya Sirah mengambil beberapa informasi dari Al Qur'an. Meskipun Isnad digunakan untuk menentukan keaslian (yang kita ketahui sekarang menjadi tersangka, seperti yang akan kita lihat nanti), otoritasnya tergantung pada otoritas Al Qur'an, yang kredibilitas sekarang juga diragukan (juga akan dibahas dalam bagian selanjutnya). Menurut G. Levi Della Vida, dalam artikelnya tentang Sirah, pembentukan Sirah sampai ke periode reduksi kemudian dibakukan bentuk tampaknya telah terjadi sebagai berikut:

Seiring meningkatnya penghormatan yang terus kepada figur Muhammad, hal ini memprovokasi suatu hagiographical (pengagungan / pemberhalaan) dari figur yang kurang lebih cacat secara historis menjadi figur legenda dimana kisah-kisahnya mengambil model dari tradisi Yahudi dan Kristen (mungkin juga Iran , meskipun pada tingkat yang jauh lebih rendah) (Levi Della Vida 1934:441).

Dia melanjutkan penjelasannya bahwa bahan-bahan ini menjadi, terorganisir dan sistematis di sekolah-sekolah muhaddithun Madinah, melalui 'pengisahan sebagaimana midrash yahudi,' secara halus dan penuh kombinasi, terdiri dari bacaan-bacaan dar Al Qur'an yang penafsirannya telah didekat-dekatkan dengan kejadian dalam kehidupan nabi. Ini adalah cara bagaimana kisah-kisah tentang kehidupan nabi di Madinah dibentuk (Levi Della Vida 1934:441). 

Oleh karena itu kita ditinggalkan dengan dokumen-dokumen islam yang tingkat kredibilitasnya rendah (Crone 1987:213-215). Bahkan materi sebelumnya hanya sedikit membantu kita. Kisah-kisah Maghazi, yang bercerita tentang pertempuran nabi , adalah dokumen muslim paling awal yang kita miliki. Mereka seharusnya memberi kita gambaran terbaik tentang jaman itu, namun mereka menceritakan begitu sedikit tentang kehidupan nabi atau ajarannya. Bahkan, anehnya tidak ada dalam dokumen ini bagian yang menunjukan penghormatan terhadap Muhammad sebagai nabi!

Back to Index


Diterjemahkan oleh Badranaya dan dikutip dari FFI Indonesia

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money