Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Oct 1, 2011

Apakah Quran Wahyu Ilahi - Part B-7&8

Jay Smith : Apakah Quran Wahyu Ilahi

Apakah Quran Wahyu Ilahi

Oleh : Jay Smith
diterjemahkan oleh Badranaya , Netter FFI Indonesia.

B. Masalah-masalah dalam Tradisi Islam

B.7. Isnad ( Jalur Transmisi Lisan)

Untuk menjawab masalah ini, para sarjana Muslim mempertahankan asumsi bahwa alat utama untuk memilih antara hadis sahih dari hadis palsu adalah melalui proses transmisi lisan, yang dalam bahasa Arab disebut Isnad. Muslim berpendapat bahwa isnad adalah ilmu yang digunakan oleh Bukhari, Tabari dan pengumpul lain pada abad kesembilan dan kesepuluh untuk memilih autentisitas kompilasi mereka. Untuk mengetahui siapa penulis asli dari banyak hadis yang mereka miliki, para penyusun memberikan sebuah daftar nama-nama yang seharusnya ditelusuri sampai penutur yang sejaman dengan kehidupan nabi sendiri. Karena pentingnya bagi diskusi kita, maka ilmu Isnad ini perlu dijelaskan secara lebih rinci:

Dalam rangka memberikan kredibilitas sebuah hadits, atau narasi, daftar nama yang melekat pada setiap dokumen yang diduga menunjuk melalui siapa hadis itu telah diwariskan. Itu adalah nama rantai transmisi, yang menyatakan, saya menerima ini dari si anu yang ia peroleh dari si Fulan yang menerimanya dari sahabat nabi. "(Rippin 1990:37-39)

Sementara kita di Barat menilai transmisi oral sebagai mencurigakan, tidak kredibel, namun hal ini dikembangkan dalam dunia Arab, dan wahana untuk mewariskan banyak sejarah mereka. Masalah dengan transmisi lisan adalah bahwa sifatnya, terbuka untuk suatu penyimpangan karena tidak memiliki kode tertulis atau dokumentasi untuk menguatkan itu. Dengan demikian, dapat dengan mudah dimanipulasi menurut agenda si penutur (seperti permainan anak-anak dari "kata berkait ").

Dalam rangka untuk mendapatkan kredibilitas tulisannya, seorang pungumpul hadis akan mendaftarkan daftar indivdidu terkenal Isnad-nya, mirip dengan kebiasaan yang kita gunakan saat ini untuk meminta individu penting untuk menulis prakata dalam buku-buku kita. Semakin besar rantai daftarnya, semakin besar kredibilitasnya. Namun, tidak seperti kita yang menampilkan orang-orang sejaman, para penyusun abad kesembilan tidak memiliki dokumentasi untuk membuktikan bahwa sumber mereka cukup otentik. Individu-individu yang namanya mereka catut sudah lama mati, dan tidak bisa menjamin apa yang telah mereka konon katakan.

Anehnya, "isnad memiliki kecenderungan untuk terus mundur." Dalam teks-teks awal tertentu, misalnya, sebuah pernyataan akan ditemukan dikaitkan dengan khalifah dari dinasti Umayyah, atau bahkan akan tidak menyebutkan sumbernya, seperti dalam kasus hukum tertentu; namun ditempat lain, laporan yang sama akan ditemukan dalam bentuk laporan hadits dengan runutan isnad sampai ke masa Muhammad atau salah satu temannya. "(Rippin 1990:38)

Karena itu, jelas tampak bahwa isnad digunakan untuk memberikan wewenang kepada hadis tertentu yang jelas berkaitan erat dengan jaman masyarakat dalam generasi-generasi setah Muhammad, tapi seakan-akan dibingkai sebagai ucapan Muhammad sendiri." (Rippin 1990:38) Isnad dan hadis ini sendiri yang seharusnya para mufasir coba carikan otentisitasnya, bukan malah memilih mempercayainya sebagai fakta historis, yang pada gilirannya akan melemahkan yang apa yang hadis-hadis ini coba untuk komunikasikan (Crone 1987:214 ).

Karena itu jelas bahwa Isnad, bukannya menguatkan dan mensubstansikan materi yang haruskan kita temukan dalam tradisi Muslim, malahan membuat masalah otentisitas yang lebih besar. Kami ditinggalkan dengan kesadaran bahwa tanpa ada transmisi berkelanjutan antara abad ketujuh dan kedelapan, tradisi-tradisi tersebut hanya dapat dianggap sebagai gambaran dari abad sembilan dan sepuluh, tidak lebih (Crone 1987:226).

Terlebih lagi, ilmu Isnad, yang dimaksudkan untuk mengotentikasi silsilah transmisi baru dimulai pada abad kesepuluh, lama setelah isnad yang bersangkutan sudah disusun (Humphreys 1991:81), sehingga memiliki relevansi yang sedikit sekali untuk diskusi kita. Akibatnya, karena itu adalah seperti ilmu non-eksakta, aturan praktis 'untuk sejarawan paling saat itu adalah: daftar yang lebih panjang, yang meliputi nama orang terkenal, semakin membuat suatu hadis terlihat keasliannya. " Oleh karena itu. kita tidak akan pernah tahu apakah nama yang tercantum dalam isnad pernah memberikan atau menerima informasi dengan yang darinya mereka dikait-kaitkan.

B.8. Para Pendongeng Kisah (Kussa)

Mungkin argumen terbesar yang memberatkan penggunaan Tradisi Islam sebagai sumber adalah masalah transmisi. Untuk memahami argumen ini lebih baik kita perlu menyelidiki seratus tahun lebih sebelum jaman Ibnu Ishaq (765 M), dan setelah kematian Muhammad pada tahun 632 M , karena, 'para pengajar Muslim, yang kepada siapa kita mendapatkan “Biografi” Muhammad, bukanlah bank memori asli dari tradisi Nabi. "(Crone 1980:5)

Menurut Patricia Crone, seorang peneliti Denmark di bidang kritik sumber, kita hanya tahu sedikit tentang bahan asli, sebab tradisi-tradisi yang ada telah dibentuk kembali oleh para pengembang cerita selama satu setengah abad (Crone 1980:3). Para Pendongeng ini disebut Kussa. Diyakini bahwa mereka mengumpulkan cerita mereka dengan menggunakan model legenda Bibel yang cukup populer di sekitar dunia Bizantium pada waktu itu, serta cerita-cerita asal Iran. Dari kisah-kisah maka tumbuhlah literature mirip novel sejarah , dan bukan catatan sejarah (Levi Della Vida 1934:441).

Dalam kisah-kisah inilah ditulis contoh bahan-bahan yang ditransmisikan oleh tradisi lisan selama berabad-abad. Kisah ini ada dua jenis : Mutawatir (cerita yang diturunkan berturut-turut) dan Mashhur (cerita yang terkenal atau dikenal luas) (Welch 1991:361).

Patricia Crone, dalam bukunya: Meccan Trade and the Rise of Islam, mempertahankan bahwa sebagian besar apa yang pengumpul kisah terkemudian menerima bahan-bahan itu dari para pendongen (Kussas) yang secara tradisional adalah pengulang gudang sejarah:

Adalah para pendongeng kisah yang menciptakan tradisi Muslim. Tradisi yang terdengar seperti sejarah – yang mana mereka tambahkan dongeng-dongeng yang seharusnya tidak pernah ada.

Hal ini terjadi karena para pendongeng memainkan peran penting dalam pembentukan tradisi yang ada dimana begitu kecil nilai historisitas terkandung pada kisah itu. Sebagai pendongeng satu mengikuti pendongeng lainnya, dalam ingatan masa lalu tereduksi menjadi sebentuk cerita umum, tema, dan motif yang dapat dikombinasikan dan direkombinasi dalam kisah yang sepertinya menyejarah. Setiap kombinasi dan rekombinasi akan menghasilkan rincian baru, dan sebagai akumulasi informasi palsu, sedangkan informasi asli akan hilang. Dengan tidak adanya tradisi alternatif, sarjana awal dipaksa untuk mengandalkan kisah pendongeng, seperti yang dilakukan Ibn Ishaq, Waqidi, dan sejarawan lainnya. Hal ini karena mereka bergantung pada pengulangan cerita yang sama bahwa mereka semua berkata serupa karena kisah kehidupan Muhammad tidak pernah ditulis sampai periode akhir Ummayad (sekitar tahun 750 M).

Crone percaya bahwa : " Tradisi Islam demikian merupakan sebuah monumen kehancuran daripada pelestarian masa lalu," (Crone 1980:7) dan " adalah tradisi dimana informasi yang tak berarti apa-apa dan membimbing kita ke bukan apa-apa." (Crone 1980:12) Oleh karena logis bila Tradisi Muslim sama sekali tidak dapat dipercaya karena memiliki terlalu banyak perkembangan selama transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, kita juga bisa mengulangi apa yang telah kita menyatakan sebelumnya: tradisi relevan hanya ketika mereka berbicara pada periode di mana mereka ditulis, dan tidak lebih.

Ada begitu banyak kesulitan dalam tradisi: tanggal penulisan yang terlambat sebagai naskah-naskah awal Islam, hilangnya kredibilitas karena agenda kemudian, dan kontradiksi yang jelas ketika orang membacanya, serta perkembang biakan akibat redaksi agresif oleh pendongeng , dan ketidak-ilmiahan ilmu Isnad yang digunakan sebagai metoda pembuktian. Apakah mengherankan jika para sejarawan, sementara wajib untuk merujuk pada materi yang disajikan oleh tradisi Muslim (karena ukuran dan ruang lingkup), lebih memilih untuk mencari penjelasan alternatif ide-ide dan teori tradisional yang bisa diterima, sambil mencari bahan sumber lebih lanjut lain?

Karena banyak muslim yang mengklaim bahwa hanya Al Qur’an saja yang bisa memberikan kita sumber otoritasnya, maka adalah wajar bagi kita, setelah melihat nature tradisi yang tidak bisa diandalkan ini, untuk kemabali pada Al Qur’an, dan bukan tradisi.

Back to Index


Diterjemahkan oleh Badranaya dan dikutip dari FFI Indonesia

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money