Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 13, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 1

The Closing Of The Muslim Mind

Chapter 1 - THE OPENING: ISLAM DISCOVERS HELLENIC THOUGHT

Pembukaan [Pemikiran/Otak Muslim]: Islam Menemukan Pemikiran Yunani

Sebelum membahas ditutupnya otak Muslim, kita harus membahas dibukanya [otak Muslim] terlebih dahulu. Dan kita harus tahu bagian otak Muslim mana sih yang dibuka?

Pembukaan/Meleknya otak Muslim harus memperhitungkan latar belakang Arab pra-Islam yang politeis yang penuh unsur panteisme, animisme, fetisisime dan takhayul. Ka'bah di Mekah mengandung 360 patung dewa dewi dari kawasan disekitarnya. Berdagang dan merampok adalah cara lazim mencari duit dijaman itu. Mereka juga punya aturan seperti ini: tidak boleh berperang selama 'bulan2 haram' alias bulan2 suci. Hubungan antar suku ditentukan oleh hubungan  kekeluargaan atau hubungan darah atau memuja dewa/dewi yang sama. Karena adanya suku2 Yahudi dan Kristen, kawasan Arab ini juga menyerap unsur2 agama2 tsb, tapi pada umumnya Arab adalah bangsa pagan/penyembah berhala.

Tidak ada bukti bahwa fIlosofi pemikiran Yunani telah mempenetrasi jaziran Arabiyah jahilyah ini. Dan setelah munculnya monotheisme ala Islam, kesatuan Islam yang didasarkan atas tauhid, menghentikan cekcok dan perampokan antar suku, karena Islam mengajarkan persamaan derajad antar Muslim. Ingat! Persamaan derajad ANTAR MUSLIM saja. Sesama Muslim tidak boleh saling mendahului dan agama menjadi dasar tali persaudaraan yang sangat kuat. Perampokan tetap berlangsung tetapi tidak lagi antara sesama Muslim. Islam memberikan wahyu Illahi kepada Muslim untuk merampoki sisa dunia dalam skala yang akbar, yaitu  terhadap dunia non-Muslim. 
“20. Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu ... 21. Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya yang sungguh Allah telah menentukan-Nya. ” (Qur’an 48:20–21).
 
Menurut wahyu ini, sudah pantaslah non-Muslim ditundukkan dan dikuasai oleh pengikut Tuhan yang satu ini. Bagaimana menjalankan perampokan ini dan membagi2 hasil perampokan ini adalah bagian penting dari Qur’an (Qur’an 8: Surat al Anfal dan 59:6 Al Hasl/Cara pembagian harta fa-i). Malah, biografi2 pertama Muhammad diberi judul Kitab al-Meghazi, atau Buku tentang PERAMPOKAN/the Book of Raids.

Sukses dini Islam mencaplok wilayah² lain ternyata luar biasa dan nampak mengkonfirmasi claim Qur’an. Di thn 650M, Muslim menguasai seluruh jazirah Arab, Iraq, Syria, Lebanon, Palestina, dan Mesir. Caplok sana, caplok sini .. dan pada akhirnya, kurang dari 100 thn kemudian, Islam menyebar dari pinggir Cina dan India di Timur ke Afrika Utara dan Spanyol di Barat. Islam yang menganggap diri lebih superior dari agama² yang datang sebelumnya (9:33) dan bahwa segala sesuatu diluarnya perlu dicurigai, kini dihadapkan pada budaya2 mapan dan beradab tinggi. Qur’an dianggap sbg mengandung segala sesuatu dan apapun diluar Qur’an sudah pasti berlebihan atau menentangnya. Sejarawan abad 14, Ibn Khaldun, menulis bahwa ketika Muslim menyerang Persia, Jendral Sa’d bin Abi Waqqas meminta ijin kepada Kalif Umar untuk membagi²kan barang jarahan/rampasan dalam bentuk buku berharga dan dokumen sains dalam kuantitas melimpah. Kalif Umar menulis: “Lempar semuanya kedalam air. Kalau mereka mengandung petunjuk benar, Allah sudah memberikan kami petunjuk yang lebih baik. Kalau mereka mengandung kesalahan, Allah sudah melindungi kami darinya.”

Dalam kawasan jajahan Sassanid dan Byzantin, Islam dihadapkan kepada peradaban yang paling tinggi dari peradaban manapun ketika itu. Ketika ibukota kerajaan Islam pindah dari Medinah yang kumuh ke Damaskus yagn metropolitan, penguasa Muslim dinasti Umayyad (660–750) merasa kepayahan dikelilingi oleh budaya asing dan mentereng macam ini. Bagaimana Islam harus bersikap sebagai penguasa? Seberapa banyak yang perlu mereka serap dan mana yang perlu ditolak? Apa sikap terhadap kepercayaan dan ajaran bangsa yang mereka jajah?

Pertemuan Pertama

 
Islam berhadapan pada pemikiran Yunani dalam jajahan barunya di Bizantin dan Sassanid. Persisnya bgm pengaruh Yunani ini masuk kedalam Islam menjadi topik perdebatan tapi yang pasti kawasan besar kerajaan Bizantin adalah Kristen sudah mengandung unsur2 filosofi Yunani. Juga ada pusat² studi Yunani di Alexandria/Mesir (yang pindah ke Antioch, Syria, sekitar 718M) dan Gondeshakpur, sebelah baratdaya Basra, Iraq.
Gondeshakpur dikuasai Sassanid, yang mempekerjakan guru² Kristen (Nestorian). “The intellectual sciences” disana mencakup logika dan filosofi dan sains alam, medis, engineering dan matematika. Sejumlah besar tulisan Yunani dibidang filosofi dan sains sudah diterjemahkan kedalam bahasa Syriac oleh akademisi Kristen. Karena subyek² ini tidak dikenal oleh budaya Arab, mereka menyebutnya sebagai “sains mubazir/intruding sciences.” Interes Muslim dalam sains Yunani hanya mencakup hal² praktis spt medisin, matematika, alam, alkemi dan astrologi.
Banyak kaum terdidik dalam bidang ilmu-ilmu di atas juga mempelajari filsafat dan teologi, sehingga minat muslim meluas ke ranah filsafat dan teologi pula. Muslim merasa perlu membela diri terhadap Kristen dan siapapun yang menggunakan metode filosofis dalam apologetika (yi dlm membela agama mereka). Para mualaf yang berada di ranah ini sudah piawai dalam ajaran Yunani dan siap untuk menyebarluaskannya atas nama kepercayaan baru mereka. Dengan demikian, di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9, wacana baru mulai mempengaruhi pemikiran Islam yang sejauh itu cuma mencakup doktrin dan yurisprudensi. Istilah-istilah baru dalam bahasa Arab diciptakan untuk menjelaskan konsep-konsep Yunani. Filsafat dalam bentuk pengkajian bebas dan pemikiran spekulatif membuka pikiran muslim dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada titik inilah terjadi drama intelektual terbesar dalam Islam.

Setelah Islam berhadapan dengan konsep² Yunani, isu paling menantang yang dihadapi adalah masalah status keberadaan akal (the status of reason). Apa kemampuan akal memahami kenyataan? Dapatkah Tuhan dikenal secara rasional? Bagaimana posisi akal dihadapkan dengan klaim wahyu yang dikandung Qur’an? Apakah akal mendahului iman? Apakah wahyu masuk akal? Dapatkah akal memahami prinsip moral diluar Qur’an? Bagaimana jika ada yang tidak masul akal di Qur’an? Apakah sah untuk mengajukan pertanyaan2 ini? Apakah Islam kompatibel dengan hal lain di luar Islam? Apakah mampu mengasimilasi filsafat? Jika ya, atas dasar apa?

Terjadi perdebatan sengit terkait jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, terutama di bawah pemerintahan khalifah Abbasid di abad ke-9 dan ke-10. Yang dipertaruhkan adalah kehendak bebas manusia, kemampuannya untuk mengetahui melalui akal, serta antara realitas dan keTuhanan. Hasilnya, pihak yang menang secara bertahap menghancurkan filsafat Yunani hingga ke akarnya dan memberangus kebebasan berpikir dalam dunia muslim (terjadilah de-hellenisasi). Bukannya tidak ada perlawanan dari para pemikir muslim. Dengan berbagai cara pertentangan tersebut masih berlangsung hingga kini.

Pertentangan Pertama: Qadar (Kehendak bebas) vs Jabr (Takdir/Paksaan)

Pihak yang paling mudah dikenali dalam debat ini adalah kaum Mu’tazila, yang terdiri dari para teolog rasionalis Muslim yang mengedepankan akal. Keberadaan mereka di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 harus dilihat dalam konteks perselisihan sebelumnya dalam Islam mengenai predestinasi (takdir Ilahi) dan kehendak bebas. Masalah ini adalah sumber perdebatan teologis paling awal dalam Islam. [...]

Mu’tazilla sebelumnya disebut kaum Qadarite atau Qadariya, dari kata Arab qadar, yang berarti takdir ilahi atau predestinasi atau kewenangan. Mereka menentang teori predestinasi, dengan menawarkan teori bahwa manusia memiliki kehendak bebas manusia serta tanggung jawab yang timbul akibat perbuatannya. Manusia punya wewenang (qadar) atas tindakannya. Jika manusia tidak mampu mengendalikan perilakunya, kewajiban moral untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat sebagaimana yang diperintahkan Qur’an menjadi tak berarti. Begitu bunyi teori mereka.

Berlawanan dengan pandangan ini, kaum Jabariyya (kaum determinist; dari kata jabr, yang berarti kewajiban tanpa syarat/keharusan buta) menganut doktrin bahwa demi kemahakuasaan ilahinya, Tuhan perlu kontrol absolut atas tindakan manusia. Salah satu nama Tuhan dalam Qur’an adalah al-Jabbar, Maha Pemaksa (59:23), yang kekuasaannya tak boleh ditentang. Tuhan sendirilah yang menentukan setiap perilaku manusia. Menentang berarti mengikat tangan Tuhan dan membatasi kebebasan absolutnya. Salah satu eksponen pandangan ini, Jahm bin Safwan (d. 745), berpendapat tindakan manusia dihubungkan pada manusia itu sendiri dengan cara yang sama seperti proses “tumbuhnya buah pada pohon, alunan arus pada sungai, gerakan pada batu, terbit atau terbenamnya matahari—mekar dan tumbuh pada bumi.” Seperti yang disimpulkan Fazlur Rahman, “Di mata ortodoks, kebebasan manusia adalah perbudakan bagi Tuhan.”

Repotnya, Qur’an mendukung kedua posisi.

[Lihat: Dualisme dalam Islam politik-islam-pembunuh-terbesar-segala-jaman-t13476/?
DUALISME adalah fondasi dan kunci utk mengerti Islam. Islam selalu mengandung dua arti ...]

Masing-masing pihak yang berselisih dapat mengutip ayat sesuai pandangan mereka. Menurut sejarawan Islam kondang dari Inggris, Alfred Guillaume;bagaimanapun juga, argumen kaum Jabariyya lebih kuat , terutama bila mempertimbangkan Hadis. Guillaume menyatakan bahwa “pihak orthodox mendapati Qur’an memihak mereka tentang predestinasi Allah yang mutlak. Pandangan ini ditegaskan oleh bab-bab mengenai predestinasi dalam buku-buku tradisi kanonik yang tak satupun berisikan perkataan Muhammad yang memberikan kemerdekaan bertindak bagi manusia. Segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya dan takdir manusia telah ditetapkan sebelum ia lahir.”7

Berikut beberapa contoh hadisnya:
(8 Hadis Muslim, Kitab al Qadar 1848)

Hudhayfa bin Asid melaporkan bahwa Nabi berkata, "Dua malaikat mengunjungi setiap janin dalam rahim berusia empat puluh atau empat puluh lima malam dan mengatakan, 'Ya Tuhan! Apakah (janin ini akan mengikuti jalan) sesat atau benar? "Lalu mereka menulis [jawabannya]. Kemudian mereka bertanya, 'Ya Tuhan! Apakah laki-laki atau perempuan? "Kemudian mereka menulis [jawabannya]. Mereka juga menulis perbuatan, kekayaan serta kehidupan dan kematiannya. Kemudian mereka menutup perkamen sehingga tak ada yang ditambah atau dikurangi sesudahnya.”
Abu Huraira melaporkan Muhammad mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian perzinahan dimana manusia melakukan untuk kesenangan semata dan yang terpaksa melakukannya."9

Sebuah Hadis yang ditemukan baik di hadis Muslim maupun Bukhari (dua sumber hadist paling terpercaya) menyatakan bahwa Musa, saat bertemu Adam, bertanya kepadanya: "Engkaukah Adam, bapak umat manusia, yang Ia ciptakan dengan tangan-Nya sendiri. . . Mengapa engkau membuat kami dan engkau sendiri diusir dari surga? " Jawab Adam," Engkaukah Musa yang dipilih Tuhan jadi utusannya, orang yang ditinggikan Tuhan dengan cara berbicara langsung kepadanya dan menulis Taurat baginya dengan tangan-Nya sendiri? Sepengetahuanmu, berapa lamakah sebelum saya diciptakan ada ketetapan: "Adam mendurhakai perintahNya dan sesat (Quran 20:121)? “ Musa kemudian menjawab: "[Ketetapan] ini sudah ada jauh sebelum [penciptaanmu]"10 Demikianlah balas Adam pada Musa.

Ayat Qur’an yang mendukung orientasi ini mengatakan: "Jadi siapapun yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk --Dia melapangkan dadanya untuk [menerima] Islam, dan siapa saja yang Dia kehendaki kesesatannya -- Dia membuat dadanya sesak dan sempit seolah-olah dia sedang mendaki ke langit "(6:125). Dan " Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar." (8:17).

Counter balik terhadap ini adalah kutipan lain dari Qur’an yang menguatkan posisi kaum Mu'tazila/Qadariya dan memperjelas bahwa manusia dapat memilih secara bebas dan akan mempertanggung-jawabkannya pada hari penghakiman. Misalnya, Qadariya mengutip: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (40:40). Atau,“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". 18:29). Atau, “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri.” (6:164). Juga:“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan” (45:22). Ada banyak ayat-ayat seperti itu yang merujuk pada wewenang manusia dan pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Paradoks yang tercipta oleh dua posisi berbeda ini terkandung dalam kutipan Al-Qur'an yang sama: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (16:93). 

Ambiguitas Al-Qur'an memberi ruang bagi perselisihan ini, ruang bagi manuver politis dan keuntungannya. Sudut pandang Qadariya maupun Jabariyya memiliki implikasi politik yang mendalam. Para kalif dinasti Umayyah yang berkuasa di Damaskus mengimani doktrin Jabariyya karena hal tersebut membebaskan mereka dari tanggung jawab atas perbuatan buruk mereka. Bagaimana mereka bisa disalahkan atas perbuatan kejam yang sudah ditakdirkan sebelumnya? Contoh, diluar masalah kesalehan, rakyat harus menerima, setidaknya mengabaikan tindakan buruk mereka (termasuk serangan atas Ka’bah). Dalam rangka mengamankan kekuasaannya, kalif Umayyah, ‘Abd al-Malik mengundang salah satu lawannya, ‘Amr ibn Sa’id, ke istana dengan alasan palsu, memenggal kepalanya dan kemudian melempar kepalanya ke kerumunan pendukungnya sambil mengumumkan bahwa “Amirul Mukminin telah membunuh pemimpinmu berdasarkan takdir yang sudah ditetapkan Allah.”11 Orang-orang yang tadinya pendukung Ibn Sa’idpun lantas memberikan penghormatan mereka pada sang kalif.

Tak semua berdiam diri terhadap penafsiran ini. Hassan al-Basri (d.728) ditanya pendapatnya mengenai “para raja [kalif dinasti Umayyah] yang menumpahkan darah umat Islam, mengambil hartanya, dan mengumbar keinginan serta berkata, ‘Tindakan kami sesungguhnya bagian dari ketetapan Allah.’” Al-Basri, guru Wasil ibn ‘Ata (d.748) pelopor paham Mu’tazila, menjawab: “Musuh Tuhan berdusta.”12 Allah, katanya mengutip Qur’an “tak terkait ketidakadilan abdiNya.” Allah bukan sumber kejahatan; tapi manusia itu sendiri – dalam perbuatan jahat mereka. Pendapat teologis ini dianggap sebagai serangan politis. Dua teolog Qadariya, Ma’bad al-Juhani (d.699) dan Ghailan al-Dimashqi (d. before 743), dihukum mati dinasti Umayyah karena membela kehendak bebas yang dianggap subversif dan diangap sbg serangan langsung pada dinasti Umayyah yang merasionalisasikan kekejaman mereka secara teologis.

Tahun 750, dinasti Abbasiyah menggulingkan dinasti Umayyah beserta doktrin predestinasi mereka. Abbasiyah punya alasan merangkul kaum Mu’tazila, yang menggeser posisi kaum Qadariyya. Mu’tazilla sepakat dengan Qadariyya bahwa tanpa kebebasan, keadilan Tuhan takkan dapat dipahami. Agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, manusia harus bebas. Implikasi politis kesepakatan ini disukai Abbasiyah dalam upayanya mengendalikan kekuatan para ulama yang memiliki pengaruh besar karena memonopoli tafsir Qur’an. Saat memangku tahta, al-Ma’mun memakai gelar imam, dan memilih seorang Syi'ah sebagai penggantinya. Tindakan ini jelas menyiratkan klaim bahwa ia juga memiliki otoritas untuk menafsirkan kitab suci Islam, bahkan boleh jadi mengoreksinya. Di sisi lain, ajaran Mu’tazilla mengatakan bahwa kebebasan manusia juga berarti kebebasan untuk menafsirkan teks-teks suci turut memperkuat klaim ini.

Kebebasan untuk menafsirkan wahyu berdasarkan ajaran Mu'tazilah, mengejutkan kaum tradisionalis, yakni bahwa pembuatan Qur’an masih dalam proses. Kepercayaan standar kaum ortodoks adalah Qur’an tidak dibuat dan keberadaannya abadi bersama Allah. Jika Qur’an dibuat, tentunya Qur'anpun harus tunduk pada kriteria rasional. Dengan tunduk pada kriteria rasional, Qur'an bukan lagi domain ekslusif para ulama. Qur’an yang abadi takkan memberi tempat untuk kebebasan interpretasi seperti ini. Khalifah al-Ma’mun tahu bahwa ajaran Qur’an yang dibuat dan kehendak bebas manusia akan memperkuat kekuasaannya dan memperlemah posisi ulama tradisional. Sebab itu ia mendukung kaum Mu’tazilla. Ia juga sepenuhnya menganut pandangan mereka karena terpesona oleh filsafat (Yunani).

Pertentangan Kedua: 'Aql (Akal) versus Naql (Iman) 


Kaum Mu’tazilla, peletak dasar ajaran teologi Islam pertama menekankan peran utama akal, kemampuan akal memahami moralitas, memahami kebaikan dan keadilan Tuhan, keesaan Tuhan, dan perlunya kehendak bebas manusia. Menggunakan konsep dan logika filsafat Yunani dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis, mereka mewakili awal kebangkitan pemikiran Islam (hellenization). Mereka adalah teolog rasionalis. Disiplin ilmunya disebut kalam, praktisinya disebut mutakallimun (walau kadang istilah ini digunakan untuk menunjukkan lawan kaum Mu’tazilla). Mereka menggunakan dalil pemahaman Socrates dan Aristoteles paling dasar, yi bahwa akal dapat mengetahui –- beda dengan memiliki opini – bahwa realitas objektif itu ada, ada maksud tersirat dalam penciptaan, dan bahwa maksud tersirat tersebut berhubungan dengan yang disebut “kebaikan”, dan jiwa manusia terpanggil pada “kebaikan” yang bersifat universal ini.

Dalam perdebatan teologis Islam, akurasi pemikiran pihak yang kalah sulit dipastikan karena buku-buku mereka biasanya dibakar. Data yang ada hanyalah dari sisi pemenang yang mengutip pendapat lawan sekedar menunjukkan counter balik mereka. Tapi, awal 1950-an, ilmuwan Mesir menemukan sejumlah besar teks karya teolog besar Mu’tazilla, Abd al-Jabbar (c.935-1025), di sebuah mesjid Yaman. Sumber terpercaya untuk lebih mengetahui inti ajaran Mu’tazilla: “Abd al-Jabbar’s Book of the Five Fundamentals.”

Anggota Mu’tazilla terikat pada 5 prinsip utama yang dikemukakan pertama kali oleh Abu al-Hudhayl (w.849), perumus ajaran Mu’tazilla di Basra, Iraq :
(1) tauhid, keesaan Tuhan,
(2) keadilan ilahi,
(3) janji dan ancaman,
(4) posisi tengah, dan
(5) perintah kebaikan dan larangan kejahatan.

Tiga prinsip pertama paling relevan untuk menunjukkan peran akal dalam memahami keTuhanan. Tiga prinsip tersebut dipahami dengan sangat berbeda oleh kaum tradisionalis yang disebut ahlul sunnah. Masyarakat pemegang tradisi ini merupakan oposisi garis keras yang berasal dari ajaran teologi kaum Ash’arit, yang juga menggunakan teologi Yunani untuk menghancurkan Mu’tazilla.

Konsep tauhid, menurut Mu’tazilla berhadapan dengan berbagai atribut beserta statusnya yang dikenakan pada Allah oleh kaum tradisionalis. Menurut Mu’tazilla hal tersebut melanggar prinsip ke-esaan Tuhan. Begitu pula kekukuhan kaum tradisionalis akan keabadian Qur’an, yang membuat Qur’an setara dengan Allah.

Konsep keadilan ilahi, langsung dengan telak mempertanyakan keberadaan Tuhan dan hubungannya dengan manusia. Sifat dan tatanan penciptan berdasarkan akal. Mu’tazilla berpendapat kebebasan manusia, seperti kemampuan akal memahami perintah moral, merupakan bentuk keadilan Tuhan. “Janji dan ancaman” merupakan dampak keadilan ilahi. Tuhan perlu memenuhi janjinya untuk membalas kebaikan dan menghukum kejahatan. Kewajiban yang dianggap kaum tradisionalis sebagai pelanggaran kebebasan dan kemahakuasaan Tuhan


Keutamaan Akal


Berbeda dengan lawannya, Mu’tazilla mengajarkan bahwa manusia dianugerahi akal agar mengenali penciptanya serta perintah moral dalam penciptaan; itulah guna akal. Pusat hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam ‘Fundamental’ Abd al-Jabbar menjabarkan fungsi utama akal: “Bila ditanya: Apa tugas utamamu? Jawabnya: Penalaran spekulatif mengarah ke pengetahuan akan Tuhan, karena Ia tak diketahui secara intuisi maupun indrawi. Jadi, Ia harus dikenal secara refleksi dan spekulasi.”

Secara logis akal mendahului wahyu, karena akal diperlukan untuk menetapkan keberadaan Tuhan sebelum maju ke pertanyaan apakah Tuhan telah berbicara pada manusia. Al-Jabbar berkata, “Wahyu tentang apa yang harus dikatakan dan dilakukan tak berguna sampai ada pengetahuan tentang Tuhan. Sebab itu saya berkewajiban membuktikan keberadaanNya, mengenalNya sehingga saya dapat menyembahNya, berterimakasih dan mematuhi perintahNya serta menjauhi laranganNya.”

Bagaimana nalar manusia mengarah pada kesimpulan tentang keberadaan Tuhan? Melalui pengamatan alam semesta, kata ‘Abd al-Jabbar. Karena tak satupun di dunia terjadi dengan sendirinya, tapi ada penyebabnya, manusia sampai pada sifat saling ketergantungan semesta. Disinilah perlunya Sang Pencipta, penyebab awal segala sesuatu (causa prima), bila tidak, manusia akan terperangkap dalam kemunduran tanpa batas. Suatu ketidakmungkinan logis (argumen umum di kalangan filosof Yunani dan apologetic Kristen.) Alam semesta yang bergerak berdasarkan hukum tertentu menuntun manusia untuk mengenal Tuhan. Hukum Tuhan adalah hukum alam, diwujudkan Islam dalam hukum ilahi, syariah.

Konsep sifat alami benda berarti bahwa Tuhan sebagai penyebab utama bertindak secara tidak langsung lewat penyebab sekunder seperti hukum gravitasi. Batu jatuh, bukan karena Tuhan, tapi karena gravitasi. Setiap ciptaan diberikan otonomi sesuai fungsi penciptaannya. Penulis dan teolog Mu’tazilla ‘Uthman al-Jahiz (776-869) menyatakan bahwa setiap elemen materi ciptaan Tuhan memiliki sifat alami yang konsisten. Batu yang tak disangga akan selalu jatuh karena gravitasi. Ini hukum alam, bukan bentuk pemaksaan dari Pimpinan Tertinggi (Tuhan), tapi perwujudan mendasar, intisari keberadaan setiap benda yang memiliki integritas mereka sendiri. Ciptaan adalah bentuk rasionalitas hakiki Sang Pencipta Itulah sebabnya mengapa dan bagaimana manusia mampu memahami kehendak Tuhan, yakni melalui ciptaanNya. (Di luar masalah mukjizat Tuhan).

Mu’tazilah mengutip berbagai ayat Qur’an untuk mendukung teori mereka. Misal, Surah 16, An Nahl (Lebah) pada ayat-ayat tentang keajaiban alam seringkali diakhiri dengan, “Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir,” atau “Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal,” Surah lain: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (88:17-20)? Juga: “Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (23:80). Terakhir, yang mungkin paling terkenal, surah 2, Al Baqarah (Sapi betina), ayat 164: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang menggunakan akal.”


Akal dan Refleksi


Akal jugalah yang membuka kemungkinan adanya wahyu. Dengan akal dapat dipahami pentingnya wahyu agar dengan keadilanNya Tuhan dapat membimbing manusia dengan benar. Mu’tazilla merujuk pada Qur’an: “Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”(16:9)

Setelah tahu Tuhan itu ada, timbul pertanyaan benarkah Tuhan telah berbicara pada manusia? Apa benar wahyu itu ada? Bagaimana kita yakin kebenarannya? Disini, Abd al-Jabbar melangkah lebih jauh dengan menyatakan akal yang membuktikan kebenaran wahyu. Menurutnya, “pengetahuan akan Tuhan didapat dengan cara berspekulasi dengan argument rasional: pertama kita yakin Tuhan itu dapat dipercaya, dengan demikian kita juga percaya pada kebenaran kitabNya, Sunnah dan konsensus bersama.” Jadi karena Tuhan dapat dijelaskan akal, akal berasal dari Dia, sehingga wahyuNya di Qur’an dapat diterima manusia sesuai pengetahuan yang diperoleh manusia melalui ciptaanNya.

Wahyu hanyalah pernyataan Tuhan, tidak membuat sesuatu jadi baik atau buruk. Tuhan melarang pembunuhan karena itu jahat, bukan pembunuhan itu jahat karena dilarang Tuhan. Kalaupun akal tak mampu menjelaskan wahyu, tak ada yang dapat dilakukan akal selain menyetujuinya. ‘Abd al-Jabbar menyatakan:

Wahyu hanya menyatakan ciri-ciri perbuatan baik dan jahat yang dapat dipahami akal; jadi bila kita tahu sembahyang itu berguna, kita terpanggil untuk melaksanakannya karena ada pahala, dengan demikian kita juga pasti tahu ciri-ciri keharusannya berdasarkan akal. Itulah sebabnya dikatakan wahyu, seperti halnya akal, tidak berurusan dengan kebaikan atau kejahatan, tapi hanya mengindikasikan ciri-ciri perbuatannya serta membedakan antara perintah yang Maha Tinggi dengan keberadaan sesuatu berkat kebijaksanaanNya.

Logis apabila kemudian Mu’tazilla berpendapat Qur’an boleh diinterpretasikan secara rasional, karena Qur’an sendiri mengandung ayat-ayat yang “ambigu” dan yang “samar-samar” (3:7): “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” Jadi bagaimana bisa dimengerti tanpa interpretasi? Menurut Abd al-Jabbar, kebenaran wahyu tak boleh bertentangan dengan kebenaran akal. Seperti yang kemudian dikatakan filosof Averroes (1126-1198), “Kebenaran akal budi (filsafat) dan kebenaran wahyu Allah dalam Qur’an tidak akan saling bertentangan, tapi saling mendukung.” Sebab itu, kata al Jabbar, “Adalah kewajiban manusia untuk melakukan sesuatu seturut akal…..memutuskan yang sesuai akal sebagai kebenaran dan yang bertentangan dibuat selaras dengan akal dengan cara menginterpretasikannya secara metafora.” Dengan cara ini, Mu’tazila menjelaskan ayat-ayat Qur’an yang bersifat anthropomorphis (representasi Tuhan dalam bentuk tubuh manusia) seperti “tangan” (38:75), “mata” (54:14), dan “wajah” (55:27). Kaum tradisionalis yang menganggap Tuhan itu roh, terjebak dalam kebingungan dengan cara mereka membaca ayat-ayat secara literal. Mereka balik menyerang interpretasi Mu’tazilla akan text dalam ayat 75:23 bahwa manusia di surga benar-benar “melihat” Tuhan.

Bagi kaum tradisionalis, ketidakkonsistenan Qur’an harus diterima tanpa bertanya. Malik Ibn Anas (715-795), pendiri salah satu ajaran Fiqh Islam, menjelaskan anthropomorphis pada ayat, “Dia duduk di atas 'Arsy.” (7:54 ; 20:5) sebagai berikut: “ Kejadiannya diketahui, caranya tidak. Percaya itu keharusan, mengajukan pertanyaan mengenai hal tersebut bid’ah.” Ini adalah formula klasik kaum Hanballite-Ash’arit: bila kayfa wala tashbih (tanpa mempertanyakan ataupun membandingkan.)

Sebaliknya, kaum Mu’tazilla menganggap keselarasan antara akal manusia, tatanan semesta dan wahyu ilahi harus ada, karena Tuhan bukan hanya kekuasaan, Ia juga akal. Akal manusia adalah “anugrah” Tuhan, kata Abd al-Jabbar. Pandangan ini sesuai dalil Thomas Aquinas bahwa manusia dapat memahami segala sesuatu dengan akalbudinya karena manusia adalah pikiran pertama Tuhan. Kecerdasan Tuhan penyebab kecerdasan ciptaanNya. Dianut pula oleh Averroes, “Jika kita memiliki pemahaman tentang berbagai kemungkinan, pasti ada suatu kondisi yang memungkinkan pemahaman tersebut. Inilah yang disebut para filsuf ‘alam’. Demikian pula pengetahuan akan Tuhan melalui eksistensi walau (pengetahuan Tuhan) penyebab semuanya. Disinilah perlunya eksistensi hadir bersamaan dengan pengetahuanNya. Mu’tazilla yakin bahwa Tuhan dipandu rasionalitas alam semesta ciptaanNya. Pandangan kosmologi mereka bersandar pada trinitas Tuhan sebagai akal, ciptaan sebagai manifestasi akal, dan akal manusia sebagai alat untuk memahami Tuhan melalui ciptaanNya, kemudian wahyuNya.

Menurut Richard Martin dalam buku “Defenders of Reason in Islam,” kaum Mu’tazilla “meyakini sifat realitas fisik yang rasional dan dapat dipahami berdasar theodicy: Tuhan takkan menipu ciptaanNya dengan menciptakan dunia yang irrasional.” Dengan kata lain, tindakan irrasional bertentangan dengan sifat Tuhan.


Image
(Sewaktu Benedict XVI --foto atas--mengutip pernyataan kaisar Bizantium, Manuel II Paleologus dari Persia abad ke-14, muslim protes keras –- tak menyadari kalau ini dulunya pendapat teologis yang dihormati dalam Islam.)

Gara² pernyataan Paus, Muslim huru hara di:
Image
Turki
Image
Pakistan
Image
Mesir
http://news.bbc.co.uk/2/hi/5349604.stm

Image
Somalia: suster Leonella, 70 thn, ditembak 3 kali karena Muslim Somalia gemes dgn Paus
muslim-membuktikan-benarnya-paus-benedict-xvi-t5530/
suster-leonela-saya-memaafkan-pembunuh-saya-t5634/

Jika Tuhan itu akal, pastilah ada standar rasionalitas. Mu’tazilla percaya Tuhan bertindak dengan tujuan yang jelas dan kasih. Tentu ada misteri ilahi di luar pemahaman manusia, tapi Tuhan takkan bertentangan dengan wahyunya sendiri memaksa manusia mengingkari keberadaannya. WahnyuNya bukan untuk menggantikan akal manusia. Bagi Mu’tazilla, iman membutuhkan pembenaran intelektual; seperti yang dikatakan Ignaz Goldziher, penulis ‘Introduction to Islamic Theology and Law’ : “takkan ada keyakinan tanpa penalaran.”

Father James Schall menunjukkan makna penting pandangan ini:
Makhluk rasional hanya bisa "berpartisipasi" dalam hukum abadi Tuhan jika hukum tersebut berdasar Logos (akal). Bila hanya didasarkan pada kehendak Tuhan, sebagaimana berbagai teologi dan filsafat coba pertahankan, takkan ada “partisipasi” sesungguhnya manusia dalam hukum abadi tersebut. Mengapa? Karena partisipasi hanya bisa didasarkan atas kemauan yang didasarkan atas pemikiran.
JADI dari tulisan al-Jabbar ini jelaslah bahwa kaum Mu'tazilah melihat manusia sebagai partisipan penuh dalam hukum abadi, yang jelas bertentangan dengan pemikiran kaum tradisional.

Kewajiban Moral: Mengenali Kebaikan

Partisipasi manusia dalam hukum abadi berarti bahwa, di luar wahyu, manusia punya kemampuan moral untuk memutuskan apa yang baik dan jahat, adil atau tidak. Akal dapat membedakannya karena ada standar objektif karakter moral yang bersifat hakiki. Al-Shahrastani, dari kaum Ash‘arite menilai keharusan penalaran moral kaum Mu’tazilla ini sbb: “Pengikut keadilan (kaum Mu’tazilla) berkata: semua objek pengetahuan takluk di bawah kendali akal dan menerima wewenangnya berdasar pandangan rasional. Akibatnya, kewajiban bersyukur atas karunia ilahi mendahului perintah hukum ilahi; sifat keindahan maupun keburukan hanya dibatasi pada definisi indah dan buruk semata.” Karena baik dan buruk adalah sifat hakiki semua tindakan, manusia dapat mengetahui karakter moral berdasarkan akalnya semata. Bagi Mu’tazilla, etika rasional murni dimungkinkan, sebagaimana pandangan Yunani di buku Aristoteles ‘The Ethics’.

Kemampuan manusia mengenali hal tersebut mendorong kehidupan moral yang baik. Keberadaan akal sebagai kunci yang mendukung kehendak bebas tak berguna bila tak dapat membedakan baik dan buruk, adil dan tidak adil. Sesuai pendahulunya (kaum Qadarite), Mu’tazilla berpendapat, kehendak bebas manusia pada gilirannya diperlukan untuk meneguhkan keadilan Tuhan. Manusia bertangungjawab atas kebebasannya. Tuhan takkan dipersalahkan atas pahala atau hukumanNya pada manusia. Atas klaim Tuhan yang yang menciptakan perbuatan manusia, ‘Abd al-Jabbar menjawab, “Kalau demikian apa gunanya Tuhan memerintahan untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, memuji dan memberi pahala atas kebaikan serta mengutuk dan menghukum pelanggaran? Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan perilaku buruk dalam diri manusia dan kemudian menghukumnya, serta berkata: ‘Mengapa kamu ingkar?’ Seperti orang yang memerintahkan budaknya melakukan sesuatu, kemudian menghukum perbuatannya? Jelas itu salah.”

Kebaikan dan Keadilan Tuhan


Kalimat terakhir menyiratkan keyakinan Mu'tazilah bahwa Tuhan adalah subjek dari hukumNya sendiri. Ia tak mungkin bertindak di luar itu. Ia takkan salah. Dengan kata lain, Tuhan memiliki tanggungjawab atas segala hal yang diwajibkanNya. Mu’tazilah satu-satunya ajaran yang menggunakan istilah wajib (kewajiban) yang mengacu pada Tuhan. Gagasan bahwa Tuhan punya kewajiban haram hukumnya bagi kaum tradisionalis dan kaum Asyariyah. Bagi mereka, Tuhan tidak terikat oleh apapun. Tak ada yang wajib bagiNya. Kewajiban merupakan pembatasan kemahakuasaanNya. Ditanggapi Mu'tazilah: Pembatasan kekuasaan itu tidak ada karena kekonsistenan Tuhan itu sendirilah yang mendefinisikan siapa Dia.

Bagi Mu’tazilah, Tuhan itu baik dan tidak bisa melakukan kejahatan. Seorang Mu’tazilat, Al-Nazzam (w. 848) menyatakan bahwa tidak mungkin bagi Tuhan untuk bertindak tidak adil. Neo-Mu'tazilah, Harun Nasution (1919-1998) menyatakan bahwa "karena kesempurnaanNya, Tuhan tidak dapat melakukan apa yang tidak baik." Seperti muslim lainnya, Mu'tazilah tidak memiliki gagasan “dosa asal,” mereka bersikeras bahwa kejahatan merupakan konsekuensi dari tindakan manusia, Tuhan tidak akan melakukan kejahatan, sekalipun Ia mahakuasa. Kata Abd al-Jabbar, “Segala kejahatan di bumi adalah akibat perbuatan manusia, karena Tuhan itu suci. Tuhan menjauhkan diri dari hal semacam itu, sesuai ayat: “Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.” (40:31) dan “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (10:44).

Bagaimana dengan sakit penyakit? ‘Abd al-Jabbar mengajukan gagasan pemeliharaan: “Sesungguhnya, jika Ia menyebabkan penyakit. Ia akan membalasnya dengan kesenangan berlipat di surga. Secara etika tidak mungkin Tuhan menyebabkan sakit pada anak-anak dan hewan, seperti halnya tidak etis bagi kita mempekerjakan orang hingga kelelahan tanpa memberikan upahnya.” Ditegaskan ‘Abd al-Jabbar, Tuhan tidak berada di luar gagasan keadilan, konsep yang dianugrahkanNya pada manusia. “Jadi jika Tuhan melakukan ketidakadilan Ia pasti tidak adil, dan jika Ia bertindak adil Ia pasti adil, yang mengatakan sebaliknya adalah kafir.”

Menurut al-Jabbar, dengan keadilanNya Tuhan berkewajiban memelihara dan memberitahukan firmanNya pada manusia. “Kita tidak percaya bahwa firmanNya suatu kebohongan dan perintah yang dapat dibatalkan, karena jika demikian kita takkan percaya janji dan ancamanNya. Tak mungkin Ia mengirim para nabi ke neraka dan musuh serta orang kafir ke surga. Tuhan seperti itu takkan menuntut kepatuhan umat padaNya, karena bagaimanapun kita tidak akan lolos dari murkaNya, dan mematuhiNya akan menyebabkan kekacauan.” Sebab itu Ia takkan mengingkari firmanNya, atau bertindak bertentangan dengan janji dan ancamanNya, ataupun berbohong.

Dirangkum Majid Fakhry dalam ‘A History of Islamic Philosophy’: "Tuhan takkan memerintahkan apa yang bertentangan dengan akal atau melakukan tindakan yang mengabaikan kesejahteraan ciptaanNya, karena hal ini tidak sesuai dengan keadilan dan kebijaksanaanNya. Berbeda dengan kaum tradisionalis, kaum rasionalis etis tak bisa menerima konsep keMahakuasaan Tuhan yang secara total melanggar semua ajaran keadilan dan kebenaran, menyiksa yang tak berdosa dan menuntut hal yang mustahil semata-mata karena Ia Tuhan.”

Seperti yang dikatakan ‘Abd al-Jabbar, “Tuhan terlepas dari segala kesalahan moral dan semua tindakanNya baik secara moral.” Dan “Dia tidak melampaui batas aturanNya …. Dia melakukan yang terbaik untuk semua makhlukNya.” Dengan sifat-Nya, Tuhan harus melakukan yang terbaik bagi manusia. Tuhan tak mungkin tak setia pada manusia. Pandangan ini dianggap haram kaum tradisionalis dan Ash’arite, yang memandang hal tersebut sebagai pemaksaan kewajiban pada keMahakuasaan Tuhan dan membatasi kebebasanNya.

Keesaan Tuhan


Mu’tazilla menjuluki diri mereka sebagai penegak “keesaan dan keadilan ilahi.” Ke-esaan mengacu pada tauhid, ke-esaan Tuhan, doktrin utama Islam. Monoteisme Mu’tazilla merupakan tantangan bagi pihak ortodoks yang berpendapat bahwa sifat keTuhanan yang disebut dalam 99 nama Allah, dimiliki Allah sebagai atribut: (tujuh yang utama: living, knowing, omnipotence, willing, seeing, hearing, and speaking.** . Lainnya: maha penyayang, maha pengasih ---ada di awal hampir 114 surah, kecuali satu-- maha pengampun, dan maha bijaksana). Perdebatan mereka menyangkut status ontologis berbagai atribut tersebut. Kaum tradisionalis berpendapat atribut tersebut terpisah dari esensi Tuhan, tapi bagimanapun juga jadi bagian dari keabadianNya.

Keberatan Mu’tazilla, jika Tuhan itu satu bagaimana mungkin Ia memiliki sejumlah atribut yang bersamaan hadir secara terpisah dengan-Nya? Dengan cara bagaimana mereka hadir bersamaan? Jika mereka bukan bagian dari hakikat Allah, apa mereka? Dugaan Mu’tazilah, mereka adalah personifikasi dewa lain yang hidup abadi berdampingan dengan Allah, dengan kata lain, suatu bentuk politeisme, pelanggaran terburuk dalam Islam. Washil bin 'Ata, salah satu Mu'tazilah pertama, menyatakan: "Orang yang mengiakan sifat yang kekal selain Allah, mengiakan adanya dua dewa." Hakikat Tuhan, tegas Mu’tazilla adalah dengan menanggalkan sejumlah besar atribut tersebut. Duncan MacDonald mengutip Abu Hudhayl “sifat keTuhanan tidak terpisah dari hakikatNya, melainkan sehakikat denganNya. Contoh, Tuhan mengetahui lewat hakikat keMahakuasaanNya, bukan melalui atribut yang terpisah denganNya. Demikian pula Tuhan pada hakikatNya berkuasa, dan seterusnya. Karena pendapat mereka ini kaum Mu’tazilla disebut lawannya al-mu’atillah, orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah.

Kaum orthodox dan Ash’arites tak punya jawaban atas dilema kesatuan Allah dan atributNya. Namun mereka bersikeras atribut Allah bukan esensiNya, tapi tak sepenuhnya terpisah dari Dia. Menanggapi pertanyaan bagaimana hal tersebut bisa terjadi, mereka jawab hal tersebut harus diterima apa adanya, bila kayfa (tanpa bertanya mengapa). “Kedua,” menurut pengamatan M.M. Sharif, “mereka berargumen bila semua atribut Allah identik dengan esensiNya, hakikat keilahian pastilah kombinasi homogen dari sifat-sifat yang bertentangan. Misal, Tuhan yang pengasih (rahim) sekaligus pembalas (qahhar); kedua sifat tersebut membentuk hakikatNya yang satu, unik dan tak terbagi (ahad), sesuatu yang absurd.”

Hal ini merupakan pertikaian yang sangat mendasar dalam memahami keberadaanNya. Bagi Mu’tazilla, Tuhan itu Dia, tak ada yang lainnya. Terasa aneh mengatakan bahwa Dia terikat pada keberadaanNya. Ia tak dapat bertindak bertentangan atau menyangkali sifatnya sendiri. Misal, Tuhan tak memiliki akal. Dia adalah akal. Karena itu Ia tak dapat melakukan apapun yang tidak masuk akal. Ini bukan pembatasan tapi suatu kebebasan. Justru kemampuan untuk menyangkali apa dan siapa bukanlah kebebasan, melainkan suatu penolakan total (nihilism). Tetapi bagi Ash’arites Tuhan adalah kehendak murni yang tak terikat apapun, termasuk diriNya sendiri. KekuasaanNya absolut. Ia tak punya ‘sifat’ untuk disangkali. Dia memiliki akal, tapi Dia bukan akal. Dengan kata lain, Ash’arites melepaskan atribut dari hakikatNya, menjadikan atribut tersebut sebagai produk kehendak Tuhan. Misal, Tuhan itu pengasih, tapi bisa jadi tak pengasih bila Ia menghendaki. Juga tak ada halangan bagiNya untuk bertindak tidak masuk akal saat Ia menghendakinya.

Melepaskan hakikat keTuhanan dari kehendakNya serta menjadikan berbagai sifatNya sebagai produk dari kehendakNya akan menjamin kebebasan dan kekuasaan mutlakNya. Dengan demikian tidak ada keharusan bagiNya untuk “penyayang” (karena sifat lainnya adalah “pendendam”). Ia dapat memilih jadi “pembenci” tanpa berkontradiksi dengan diriNya sendiri. Kehendak murni tidak dapat bertentangan. Bagi Mu’tazilla hal ini menjijikan. Tuhan harus melakukan yang baik, bila terjadi sebaliknya, akan bertentangan dengan keberadaanNya sendiri yang baik.

Di surah 5, Qur’an mencela orang Yahudi yang mengatakan, “Tangan Allah terbelenggu.” Tertulis di Qur’an, “Orang-orang Yahudi berkata: 'Tangan Allah terbelenggu', sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.” (5:64). Tak ada yang memaksa atau mengikat tangan Allah. Al Fakhr al-Razi, salah seorang Ash’arite di akhir abad keduabelas, menggunakan ayat yang sama untuk menyerang Mu’tazilla yang membelengu tangan Tuhan dengan mengatakan Allah harus berlaku menurut cara tertentu dan tidak dengan cara lain. Tak ada yang lebih merendahkan atau menghina Mu’tazilla selain menyamakan mereka dengan Yahudi, yang di surah yang sama dituduh telah merubah firman Tuhan dan melanggar perjanjian mereka dengan Allah.

Penciptaan Al-Qur’an dan kehendak bebas manusia

Perdebatan tentang kehendak bebas menyertakan debat tentang keberadaan Qur’an. Apakah Qur’an dibuat atau abadi bersama Allah? Doktrin ajaran tradisional beranggapan Qur’an tidak dibuat; selamanya Qur’an ada bersama Allah, tertulis dalam bahasa Arab di dalam sebuat tablet di surga, sama dengan yang ada sekarang. Qur’an berada di luar jangkauan sejarah. Al-Ash’ari, mendukung tradisionalis dengan mengatakan:

“Qur’an terpelihara dalam tablet di surga ………Secara ril ditulis di buku; secara ril dihafal dan secara ril juga didengar umat ….Kesemuanya ini identik dengan Qur’an yang abadi dalam tablet di surga. Ini bukan makna kiasan, dalam pengertian kesemuanya salinan, kutipan atau bentuk komunikasi dari Qur’an asli. Tidak. Semuanya identik dengan yang ada di surga; apa yang tercantum di surga, tercantum pula di Qur’an yang hadir dalam batas ruang dan waktu melalui perantaraan manusia.”

Walau abadi bersama Tuhan, Qur’an juga seperti atributNya yang lain, berbeda dari hakikat keTuhanan. Masalah besar mengenai ke-esaan seperti yang dikemukakan Mu’tazilla, ditepis kolektor Hadist al-Bukhari (d.933), yang berkata, “Qur’an adalah firman Tuhan yang tidak diciptakan, tindakan manusia diciptakan, pertanyaan mengenai hal ini adalah bid’ah.”

Tidak menghiraukan kaum tradisionalis, Mu’tazilla justru mempertanyakan hal tersebut sehingga perselisihan mereka menjadi semakin sengit. Mu’tazilla berpendapat Qur’an pastilah diciptakan, jika tidak, peristiwa sejarah penting di dalamnya pasti sudah ditentukan sebelumnya. Menurut Joseph Kenny dalam buku “Theological Themes Common to Islam and Christianity”, doktrin penciptaan Qur’an, Khalq al-Quran, berarti bahwa, “peristiwa-peristiwa historis yang tercantum dalam Qur’an tidak ditentukan sebelumnya dan ada ruang untuk kehendak bebas manusia.” Ilmuwan Islam Neal Robinson mengatakan, bagi Mu’tazilla adalah tidak masuk akal “perintah-perintahNya mendahului penciptaan makhluk pada siapa perintah tersebut diberikan.”

Mu’tazila benar saat mendeteksi masalah teologis mendalam yang disajikan doktrin Qur’an tidak diciptakan, logika yang mau tak mau mendekatkan Qur’an pada konsep Firman dalam Kekristenan. Seperti yang kemudian diajarkan Thomas Aquinas dalam ‘Reasons for the Faith against Muslim Objections', “Firman Allah..….kekal bersama Allah.” Dampak yang timbul akibat kekuatan argumen Aquinas, dengan tepat mengungkap keberatan Mu’tazilla pada status sebagaimana Kristus,
Qur’an tidak diciptakan; mengarah pada Pribadi lain dalam keTuhanan; kesimpulan yang bertentangan dengan Tauhid

Seperti Mu’tazilla, Aquinas berpendapat “Pengertian Tuhan tidak terlepas dari keberadaanNya.” Dengan kata lain pengertianNya bukan atribut terpisah dari hakikatNya. Sebab itu Firman yang tidak diciptakan adalah sama dan sehakekat denganNya. Dikatakan Aquinas;

Firman Ilahi setara dengan kuasa Tuhan, karena dengan esensi-Nya Ia memahami diriNya sendiri dan segala sesuatu. Jadi Firman yang terkandung dalam esensi-Nya, saat Dia memahami diriNya sendiri dan segala hal lain, sama besarnya dengan hakikat Tuhan itu sendiri. Sempurna, sederhana dan setara dengan Tuhan. Firman Tuhan ini disebut Anak, karena memiliki sifat sama dengan Bapa, dan ia abadi bersama Bapa, hanya Ia diperanakkan dan tak bercela.

Muktazilah, merasakan kekuatan tak terhindarkan dari logika ini (bahkan sebelum dirumuskan Aquinas). Menyamakan doktrin Qur’an tidak diciptakan dengan politeisme, pelanggaran berat terhadap doktrin Tauhid. “Jika Qur’an tidak diciptakan pastilah ada Tuhan lain, bentuk pelanggaran terhadap ke-esaan Tuhan.

** Menurut sebuah hadis terkenal (Sahih Muslim), Muhammad berkata, "Sesungguhnya, ada sembilan puluh sembilan nama Allah, seratus dikurangi satu. Barang siapa yang menyebutkannya akan masuk surga. " Nama-nama ini disebut dalam Qur'an dan Hadis, meskipun tidak ada daftar yang disepakati

Kemenangan Sementara kaum Mu'tazilah

Tahun 827, Mu’tazila berada di atas angin dengan diterapkannya doktrin Qur’an diciptakan (Khalq al-Quran) sebagai doktrin negara oleh Khalif al-Ma’mun. Al-Ma’mun adalah pendukung terbesar pemikiran Yunani dalam sejarah Islam dan pendiri Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) yang terkenal. Perpustakaan besar yang juga menjadi pusat penterjemahan, dibuka tahun 830.

Menurut ahli sejarah Arab Ibn al-Nadim, Aristoteles pernah muncul dalam mimpi al-Ma’mun. Saat ditanya mengenai sifat kebaikan, Aristotle menjawab, sebelumnya diketahui dulu “apa yang baik secara rasional.” Jawaban tersebut dianut Mu’tazilah serta filsuf pertama Arab yang juga disponsori al-Ma’mun, yi. al-Kindi. Salah satu filsuf cemerlang di masa al-Mamun adalah penganut Nestorian, Hunayn ibn Ishaq (d.873), putra Ishaq (w.911) yang berasal dari Hirah, Iraq. Ia bertanggung jawab atas penerjemahan buku Aristoteles, 'Nicomachean Ethics' ke bahasa Arab.

Di mahkamah istana al-Mamun, pemeluk Kristen seperti Theodore Abu Qurrah, uskup Harran dan murid Santo Yohanes dari Damaskus, biasa hadir sebelum Kalif, mereka berdebat dengan para teolog muslim mengenai kebenaran ajaran mereka. Beberapa dialog debat masih ada manuskripnya. Diantaranya terdapat suatu perdebatan menarik antara sepupu Kalif yang beragama Islam dengan pemeluk Kristen yang mempelajari Arab, al-Kindi (bukan filsuf al-Kindi, namanya kebetulan sama.) Debat lewat surat menyurat ini terangkum dalam buku, ‘The Apology of Al-Kindi', atau “The Epistle of Abdallah ibn Ismaîl the Hâshimite to Abd al Masîh ibn Ishâc al Kindy, inviting him to embrace Islam; and the reply of Abd al Masîh, refuting the same, and inviting the Hâshimite to embrace the Christian Faith.” (Surat undangan Abdallah ibn Ismail Hashimite pada Abd al Masih ibn Ishak al Kindy untuk memeluk agama Islam; jawaban penolakan Abd al Masih, dan undangan pada Hashimite untuk memeluk agama Kristen.) Al-Ma’mun sangat tertarik dengan perdebatan ini dan meminta agar surat menyurat tersebut senantiasa dibacakan untuknya.

Dalam pembukaan yang ditujukan pada lawan debat Kristianinya, Ibnu Ismail mengungkap panjang lebar tentang semangat kehendak bebas di mahkamah istana al-Ma’mun serta penghargaan yang tinggi akan penalaran di masa itu. Juga referensi jelas ajaran Mu’tazilla ttg kehendak bebas dan tanggung jawab.
‘Kemukakanlah argumenmu, katakan apa saja yang kau kehendaki atau pikirkan. Dengan jaminan keamanan dan kebebasan itu, tunjuklah beberapa arbiter/penengah untuk memutuskan dengan adil dan hanya bersandar pada kebenaran semata, bebas dari kepentingan penguasa. Arbiter hendaknya berakal, sesuatu yang dikaruniakan Tuhan agar kita bertanggung jawab atas pahala dan hukuman kita sendiri. Dengan ini saya berurusan secara adil denganmu, memberi jaminan keamanan penuh dan siap menerima apapun keputusan akan yang mendukung atau menentang saya’
Sementara setiap Muslim masuk Kristen akan dieksekusi karena murtad, fakta bahwa diskusi semacam ini bisa diadakan secara terbuka di istana Khalif sangat luar biasa, hal ini tidak lagi terjadi dengan berakhirnya masa Khalif Mu’tazilla. Surat al-Kindy dilarang. Kemurahan hati al-Ma’mun yang memungkinkan adu argumentasi semacam itu haruslah dihargai dalam perspektif panjang penguasa-penguasa berikutnya yang melarang keras hal semacam itu. Bahkan di suatu ketika, hukum di Mesir memerintahkan setiap rumah yang didapati menyimpan buku ‘The Apology of Al Kindy’ harus diratakan dengan tanah, bersama empat puluh rumah di sekitarnya.

Masa pemerintahan al-Mamun (813-833) sering disebut sebagai masa keemasan Islam karena keterbukaan dan kekayaan intelektualnya yang luarbiasa. Penulis sains Frances Luttikhuizen menulis di ‘Christianity dan Science’ bahwa “al-Mamun, yang sangat dipengaruhi gerakan Mu’tazilla, adalah pelindung terbesar filsafat dan sains dalam sejarah Islam.” Menurut standar apapun, al-Ma'mun dan mahkamahnya di Baghdad adalah salah satu peristiwa paling bergengsi dalam sejarah.

Di bawah perlindungan al-Mamun jualah, muncul filsuf muslim Arab pertama Abu Ya'qub al-Kindi (801-873). Pandangan Al-Kindy merefleksikan orientasi rasional yang sama: “Tak ada yang lebih berharga bagi pencari kebenaran selain kebenaran itu sendiri.” Terkait sumber-sumber studi di luar Islam, ia menyatakan, “Kita seharusnya tidak merasa malu untuk menghargai kebenaran dan memperolehnya dari manapun asalnya, bahkan bila itu berasal dari ras dan bangsa yang berbeda dengan kita. Bagi pencari kebenaran tak ada yang lebih utama dari kebenaran, dan tidak boleh ada penghinaan pada kebenaran serta meremehkan orang yang bicara atau menyampaikan kebenaran. Tak seorangpun dikurangi harkat martabatnya oleh kebenaran justru kebenaran meninggikan harkat martabat semua orang.” Kalif menunjuk al-Kindy mengelola Rumah Kebijaksanaan dan menjadikannya guru bagi sang pangeran, saudaranya, yang di kemudian hari menggantikan al-Ma’mun di singgasananya, dan kembali menunjuk al-Kindy sebagi guru bagi putranya.

Dalam ‘On First Philosophy,’ al-Kindy menulis, “Filsafat adalah ilmu tentang realitas yang terjangkau pikiran manusia, karena tujuan filsuf dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh kebenaran serta bertindak sesuai kebenaran itu dalam pengetahuan praktis.”

Terhadap penentangnya dari kaum tradisionalis, al-Kindi berkata, “Siapapun yang bertindak diluar agama berarti tidak beragama, dan seharusnya dikucilkan dari ranah agama karena menentang hasrat mengenal kebenaran serta menyebut hasrat ini sebagai kafir.” Di penghujung senja filsafat dunia Islam, Averroes, atau Ibn Rushd (1126-1198) menggemakan kembali pemikiran Al-Kindi dalam bukunya ‘The Decisive Treatise.’ Ia menulis, karena “maksud dan tujuan mereka [filsuf masa lalu] dalam buku-buku mereka merupakan maksud terdalam sebagaimana yang diperintahkan Hukum (Tuhan) pada kita …… maka siapapun yang melarang kajian atas pemikiran-pemikiran tersebut…..sudah pasti menghalangi orang dari pintu kebenaran Hukum (Tuhan) untuk mengenalNya.” Dalam buku ‘Exposition of Religious Arguments,’ ia menulis bahwa “agama menyerukan untuk belajar filsafat.”

Di kala terdapat pertentangan dengan iman Islamnya, Al-Kindi mengasimilasi pemikiran Aristoteles. W. Montgomery Watt, penulis ‘A Study of Al-Ghazali,’ menyatakan, “Yang menakjubkan dari Al-Kindy ialah ketiadaan nuansa konflik atau ketegangan antar filsafat dan ilmu-ilmu Islam (Fiqh).” Al-Kindi berpendapat, walaupun posisi nubuatan mengungguli filsafat dalam beberapa hal, isi keduanya sama. Sebagai seorang Mu’tazila, Al-Kindi mencapai keharmonisan antara akal dan wahyu dengan memberi makna allegoris terhadap ayat-ayat Qur’an yang bertentangan dengan akal. Pada saat yang sama, ia membela doktrin Islam mengenai penciptaan dunia dari ketiadaan (ex-nihilo) dan kebangkitan tubuh. Hal yang tidak didukung oleh kebanyakan filsuf muslim setelahnya. Hampir tanpa kecuali mereka adalah pendukung neo-Platonis dengan gagasan emanationism (segala sesuatu mengalir dari Sumber Utama: Tuhan), panteisme materialistik, keabadian semesta, dan keabadian jiwa – bukan tubuh. Dikala mengkaji pemikiran al-Ghazali, kita akan melihat lebih spesifik apa yang menjadi keberatannya dalam filsafat dan mengapa hal itu ditolak.

Doktrin penciptaan Qur’an yang dijadikan Al-Ma’mun sebagai doktrin negara bukannya tanpa perlawanan. Kalif memerintahkan para hakim agama bersumpah bahwa Qur’an diciptakan. Sejenis inkuisisi, mihnah (pengujian) dilembagakan untuk menegakkan ini (dari 833-848). Hukuman terberat, mati, dijatuhkan bagi yang menolak diambil sumpahnya. Hanya yang bersumpah bahwa Qur’an diciptakanlah yang dapat diangkat menjadi hakim resmi. Bagi yang meyakini Qur’an tidak diciptakan dihukum atau dipenjara karena meninggalkan doktrin tauhid. Mihnah kemudian diperluas mencakup doktrin kehendak bebas dan semacamnya.

Salah satu tahanan yang paling terkenal adalah Ahmad bin Hanbal (w. 855), pendiri ajaran fiqh Islam paling literal Ia dicambuk, tapi bertahan hidup. Selama inkuisisi, ia menjawab semua pertanyaan dengan mengutip dari Qur’an dan Hadist. Bila tak bisa menjawab dengan cara ini, ia berdiam diri. Ibn Hanbal menjadi pahlawan kaum tradisionalis. Slogan pendukungnya: “tak ada yang dari Allah yang diciptakan dan Qur’an berasal dari Allah.” (Kekerasan mengatasnamakan Mu’tazila kadangkala digunakan untuk mendiskreditkan mereka. Tapi timbul argumen bahwa penggunaan kekerasan untuk membela rasionalitas itu sendiri tidaklah rasional – nyatanya ini diperlukan dalam situasi tertentu. Jelaslah, musuh akal tak dapat dilawan dengan akal saja.)

Setelah al-Ma’mun, doktrin Mu’tazilla diterapkan oleh dua Kalif berikutnya, al-Mu’tasim (833-842) dan Harun al-Wathiq (842-847), walau tak seantusias masa al-Ma’mun.





Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money