Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 15, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 8

The Closing Muslim Mind

BAB 8 SUMBER-SUMBER ISLAMISME

diterjemahkan oleh lara, diperiksa ali5196

Jawaban lain atas pertanyaan al-Afghani tentang merosotnya peradaban Islam tidak ada kaitannya dengan hilangnya ilmu pengetahuan atau kebutuhan untuk mengejar ketinggalan dengan Barat. Krisis dianggap sbg teguran Allah karena umat Islam tidak patuh pada jalanNya. Jika sukses adalah bukti keimanan, maka kegagalan adalah teguran pribadi, sesuai janjiNya, “Kau akan ditinggikan kalau kau percaya” (Q 3:139)? Jadi, kalau kau gagal, pasti karena tak percaya/kafir. Secara teologis, kekalahan/ketertinggalan umat Islam harus dipahami sebagai penghakiman Allah karena umat Islam telah meyimpang dari jalanNya yang mustaqim. Pandangan ini yang dimanfaatkan para Islamis.

Runtuhya kekaisaran Ottoman di akhir Perang Dunia I dan penghapusan kekhalifahan oleh Kemal Ataturk, Turki-1924, menimbulkan penyesalan dan semacam keinginan untuk memulihkan sistem itu lagi, terutama di kalangan Islamis, seperti organisasi Muslim Brotherhood/Ikhwanul Muslimin yang memang didirikan untuk maksud itu. Hancurnya kekhalifahan bak skenario Vatikan meninggalkan otoritasnya utk mewakili Gereja. Mayoritas Muslim
tidak terlalu peduli dng kembalinya sistem kekhalifahan yang mereka anggap mitos dan memang tak berlanjut secara kontinu sejak era Muhammad, tapi mereka perlu penjelasan atas merosotnya peradaban mereka.

[...]

Kaum Islamis berupaya membangkitkan kembali sistem kekhalifahan sebagai jawaban atas penderitaan dan penghinaan yang menimpa umat Islam secara
bertubi2. Mereka menganggap bahwa kemerosotan peradaban dianggap karena kurang iman. Solusinya, tidak dengan meniru Barat, tapi memulihkan bahkan memurnikan kepercayaan umat Islam. (Spt juga dijaman Hitler, Stalin, Mao tse Tung, Pol Pot dsb--penerj) Mereka juga mencari musuh internal dan musuh eksternal. Wakil Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri, mendeskripsikan, “Musuh dari dalam adalah murtadin, musuh dari luar Yahudi-Salibi.” NAHHH disinilah, di jantung upaya memulihkan peradaban inilah, terletak penyebab keruntuhan itu.

Apakah para Islamis saat ini suatu fenomena baru atau sesuatu yang bangkit dari masa lalu? Berapa banyak yang Islam dan berapa banyak yang Islamis? Apakah Islamis merupakan deformasi/perubahan bentuk Islam? Jika ya, bagaimana dan darimana datangnya? Dan mengapa Islam rentan terhadap deformasi jenis ini?

Hilaire Belloc dalam ‘The Great Heresies,’ terbit 1938, memprediksikan kebangkitan Islam sbb:
“ Karena agama merupakan akar dari semua gerakan dan perubahan politik, dan karena yang ada saat ini adalah sebuah agama besar yang lumpuh secara fisik tapi hidup secara moral, maka kita saat ini berada dalam keseimbangan yang tidak stabil dan tak mungkin selamanya tidak stabil.” Kemudian dlm beberapa halaman berikutnya, “Budaya [Islam] telah jatuh secara material; tapi tidak ada alasan mengapa ia tidak belajar agar menjadi setara dalam hal –hal yang saat ini menjadikan kita unggul.”
Belloc melihat kebangkitan Islam dalam konteks sejarah Islam dari abad ke-7 sampai abad ke-17 yang diakhiri kekalahan Turki (Ottoman) yang kedua dan terakhir kalinya di luar gerbang Vienna. Kebangkitan Islam, katanya, tampaknya kurang lebih sama. Namun sekarang dilengkapi teknologi modern, Islam akan sangat berbahaya (mematikan) bagi Barat yang semakin diperlemah dgn menurunnya agama dan meningkatnya atheisme. (Bayangkan! Ini ditulis di tn 1938!)

[...]

Image
Sayyid Qutb

Para penulis Islamis tak dapat dipahami hanya dengan kacamata Islam, tapi harus dengan perspektif ideologi Barat abad ke-20 yang mengasimilasi mereka, khususnya ideology Nietzsche dan Marx (sebentar lagi kita akan lihat hubungannya). Pemikir Islam berpengaruh, seperti Sayyid Qutb dari Mesir sangat fasih dalam filsafat dan sastra Barat. Qutb sempat tinggal di Amerika, ikut program master selama dua tahun (1949-50). Ia menolak apa yang ia lihat sbg dianggapnya budaya materialis. Misalnya, cara masyarakat Amerika merawat rumput halaman rumah mereka dianggapnya sbg materialistis, juga tari-tarian Amrik dianggap sbg kemerosotan sexual. Keterbukaannya pada Barat justru mempertajam kebenciannya. Solusi thp masalah yang dianggapnya dapat menyelamatkan Barat adalah Islam.

Qutb bilang, umat Islam harus meniru perilaku sahabat Nabi sbg persiapan perjuangan ke depan. Tapi ia menggunakan cara-cara Lenin untuk mewujudkan garda depan pelopor pemulihan kekhalifahan. (Bahkan, walau membenci Marxisme, Qutb adalah penghubung Ikhwanul Muslimin dengan Partai Komunis Mesir dan Komunis Internasional.) Karena oposisinya thp pemerintah Mesir ia dihukum gantung oleh Nasser tahun 1966. Dikatakan, ia pergi ke tiang gantungan sambil tersenyum guna menginspirasi pengikutnya hingga kini.

Dunia Islam kontemporer yang sangat heterogen membentang sepanjang Atlantik hingga Pasifik, dari Maroko hingga Filipina selatan. Dari 44 negara mayoritas Islam, 24 diantaranya tidak menggunakan hukum Islam sebagai sumber hukum utama mereka. Umat Islam dimana-mana mengamalkan 5 rukun Islam, namun secara budaya sangat berbeda, misalnya saja Indonesia dan negara-negara Arab. Tetapi, karakter heterogen ini berada dalam bahaya diseragamkan/homogen. Mesin penyeragaman ini adalah ideologi Islam Qutb, yang telah memperlihatkan kemampuan luarbiasanya merangkul lintas budaya. Tulisan-tulisan Qutb, bersama penulis Pakistan, Maulana Maududidan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan al-Banna merupakan karya yang relatif baru. Ajaran Qutb merupakan pondasi pendirian beberapa organisasi Islam, misalnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia yang tergolong cepat pertumbuhannya (walau akhir-akhir ini mengalami kemunduran) dan organisasi garis keras, Jamaah Islamiyah.

Hizb ut-Tahrir, organisasi yang dilarang di banyak negara Islam tapi cukup berdampak di Asia Tengah dan Eropa Barat, juga berdasarkan ideologi Sayyid Qutb. Orang-orang yang direkrut Hizb ut-Tahrir adalah kaum berpendidikan dan menengah ke atas. Mereka tidak secara eksplisit mendukung kekerasan dan terorisme, tapi mempersiapkan landasan intelektual yang mendukung aksi-aksi sejenis berdasarkan ideologi Qutb. Al-Qaeda, yang secara eksplisit menganjurkan kekerasan di sekitar 50 negara juga lahir karena ideology Qutb. Saudara laki-laki Qutb, Muhammad, adalah dosen Osama bin Laden di Universitas Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia. Islamic Jihad, yang mendukung kekerasan di Palestina, juga bentukan ideologi Qutb. Pimpinan tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menerjemahkan beberapa bagian penting tulisan Qutb ke dalam bahasa Persia. INi menunjukkan betapa ideologi Qutb melintasi jurang perbedaan Sunni-Syi’ah. Dengan kata lain, ini bukan fenomena lokal. Ini merefleksikan krisis yang kian parah dalam Islam itu sendiri. Bentuk paling parah, ada di dunia Arab, tapi potensinya ada di seluruh dunia atau umat Islam.

Mengapa Qutb begitu populer dan berpengaruh? Ada dua jawaban:

Pertama,
rasa dizolimi-melulu dan rasa terhina yang tak kunjung padam di kalangan umat Islam, membuat ideologi Qutb mudah diterima. Islam selalu mengambil model keberhasilan para sahabat Nabi yang merintis jalan kekuasaan dan kemuliaan Islam. Jadi, menurut Qutb, umat Islam harus menghapus abad-abad suram setelahnya, kembali ke model awal jaman para sahabat dan bersiap melakukan apa yang dilakukan para sahabat Nabi, mengambil alih dunia dan membangun kembali kekhalifahan. Instrumennya, tergantung jenis Islam yang dianut, bisa kombinasi tradisional yaitu persuasif (dakwah) dan jihad, atau hanya jihad (alias HAJAR BLEH! penerj)

Qutb menuduh orang-orang Yahudi di Istambul telah bersekongkol, menyebabkan keruntuhan kekhalifahan (“Yahudi selalu menjadi penggerak utama di front perang untuk menentang kebangkitan Islam di seluruh dunia’). Para murtadin diberi label musuh internal yang harus ditaklukkan sehingga kafir Barat dapat diatasi dan dikalahkan.

Kedua,
yah itu tuh ... berakar pada prinsip kekuasaan vs akal, yang menjadi pokok bahasan buku ini. Sebagaimana yang kita saksikan, hasilnya sangat berpengaruh thp karakter dunia Islam, menciptakan masyarakat (dengan kepatuhan buta.lara) yang siap menerima ideology Qutb. Pengaruh pemikiran ideologis Barat dari Nietzsche dan Marx yang totaliter tidak menarik bagi Islamisme kecuali dipadukan dengan tradisi teologi dan filsafat Islam sendiri. Persamaannya adalah keutamaan kehendak.

Koneksi Totaliter

Demosi/Penurunan akal oleh Ash’arit dihubungkan dengan ideologi sekuler (Barat) yang juga melecehkan akal, dibumbui dgn penggunaan kekuasaan. Ideologi Barat modern menekankan unsur pokok realitas, yi kehendak. Ini adalah jantung ajaran Nietzsche yang disertai analisisnya thp filsafat Socrates dan Yunani. Filsafat semata-mata adalah rasionalisasi kehendak: kehendak mendominasi, kehendak berkuasa. Nietzche membangun proyek metafisika yang mengubah segala sesuatu sebagai objek kehendak. Kehendak murni memiliki instrumen, yi kekuasaan. Realisasi proyek ini adalah Partai Nazi. (Hans Friedrich Blunk, pimpinan Chamber Literature (Kamar Literatur) Nazi th 1933-35, berkata: “Pemerintah ini lahir sebagai oposisi thp rasionalisme.”)

Demosi akal serupa terjadi dlm Marxsisme-Leninisme. Dalam ideologi Jerman, Marx berkata bahwa akal semacam tumor kekuasaan. Tak punya legitimasi. Merubah pemikiran orang tidak dilakukan dengan argumentasi atau persuasi, tapi dengan kekuatan kekuasaan/paksaan. Utk merubah manusia, kuasailah sumber2 ekonominya, rubahlah sumber2 ekonomi tsb dan rubahlah cara berpikir orang lewat kekerasan.

Jika kehendak dan kekuasaan jadi unsur pokok maka ini akan berakhir pada rejim totaliter. Tidak ada kemungkinan lain. Tidak peduli apakah paham kehendak murni tsb berasal dari teologi bengkok (macam Islam) atau ideologi sekuler seperti Hegel atau Hobbes, konsekuensi politiknya tetap sama. Seperti dinyatakanFr James Schall, gagasan kehendak murni sebagai dasar realitas berakibat pada pemerintahan tirani. Kehendak yang tak terkekang akal sehat akan membawa masalah politik.

Saat menghadapi Barat, Muslim mengimitasi barat. Tapi mengapa oh mengapa ... dari sekian banyak pilihan, mereka justru memilih yang terburuk dari Barat, yi fasisme dan komunisme? Mengapa tidak memilih tatanan demokrasi konstitusional? Bernard Lewis berkata hal tsb disebabkan terutama karena “ideologi dan strategi sosial (fasisme dan komunisme) dalam banyak hal lebih mendekati realita dan tradisi umat Islam.”

David Pryce-Jones, lebih mendekati dengan menyatakan, “Paham Nazi dan kekuasaan Arab memiliki kepercayaan yang sama, yi bahwa hidup adalah pertempuran tiada akhir dimana sang pemenang mempertahankan posisinya dengan memaksakan nilai yang dia anut terhadap pihak yang kalah.” Dengan kata lain, mereka secara alami tertarik pada fasisme dan komunisme karena lebih kompatibel dengan apa yang sudah mereka percayai. Kedua model ini sama-sama mengutamakan kehendak dan merendahkan akal. Tatanan politik yang mengutamakan akal tidak menarik. Ini menjelaskan mengapa tokoh2 nasionalis sayap kiri dan komunis terkenal mudah minggat ke Islamisme, seperti penulis terkemuka Mesir, Dr. Mustafa Mahmud, dan penulis Syi’ah, Samih Atef El-Zein.

Islamisme sebagai Ideologi

Komunisme maupun fasisme memang tidak diterapkan di Arab, tapi para Islamis sudah menyerap program totaliternya dicampur interpretasi ala Ash’arit. Itulah sebabnya beberapa fitur ideologi dan bahasa yang mereka gunakan hampir persis. Dikatakan Maulana Maududi:
“Islam adalah program dan ideologi revolusioner yang berusaha mengubah tatanan sosial dunia dan membangunnya lagi sesuai ajaran dan cita-cita Islam. ‘Muslim’ adalah istilah/nama yang diberikan untuk Partai Revolusioner Internasional, dan ‘Jihad’ mengacu pada perjuangan revolusioner partai untuk mencapai tujuannya.”
Hanya dengan merubah kata2, ‘Islam’ dan ‘Muslim,’ dengan ‘Nazisme’ atau ‘Komunisme,’ dalam kalimat diatas, anda akan terlihat persamaannya.
Baca lagi pernyataan Maududi:
“Islam ingin menghancurkan semua negara dan pemerintahan di muka bumi yang menentang ideologi dan program Islam, apapun bentuk negara dan bangsanya. Tujuan Islam mendirikan negara berdasar ideologi dan program sendiri.”
Pernyataan seperti ini tak terbayangkan tanpa pengaruh totalitarianisme Barat. (??? Penerj tidak setuju!)

Hal ini terbukti dalam deskripsi Qutb ttg Islam sebagai sebuah "gerakan emansipasi'' dan "sebuah kredo revolusioner yang aktif." Islamisme tidak bisa dibendung, karena seperti Komunisme, ''itu gelombang sejarah," kata Hasan al-Turabi dari Sudan, retorika yang akrab--bukan dengan Islam---tapi dengan retorika komunis.

Islamisme pasti memiliki unsur baru didalamnya. Gerakan Islam radikal dan gerakan totaliter Barat abad ke-20 tidak hanya mirip, tapi bergerak sejajar satu sama lain, mengambil keuntungan dari serbuk silang ideologi, bahkan memiliki koneksi nyata. Selain berita hubungan Nazisme dan mufti Hitler, Amin al-Husayni, ada juga hubungan serupa di Uni Soviet, yang diuraikan dalam buku Laurent Murawiec ‘The Mind of Jihad.’ Qutb sendiri mengatakan bahwa semua gerakan pembebasan diterima dalam revolusinya: “Doktrin Islam menerima semua perjuangan pembebasan dan mendukung mereka disetiap tempat.”

LIHAT:

Image
Hitler & Mufti Yerusalem = ISLAMOFASISME post190706.html#p190706
hitler-haji-amin-al-huseini-islamofasisme-t14924/
koneksi-nazi-dgn-terorisme-islam-foto2-ngeri-t29369/


Image

Islamisme bukan cuma agama tapi juga ideologi. Sebagian besar agama, terutama monoteistik memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, dimana manusia di dunia ini diharapkan mematuhi kode moral dalam wahyu Tuhan agar mencapai kehidupan abadi di surga. Keadilan yang sempurna hanya ada di kehidupan kelak. Ada perbedaan antara kehidupan bumi dan transenden—the city of man and the city of God. Tujuan akhir manusia adalah kehidupan transenden.

Tapi Islamisme juga sebuah ideologi yang bersikeras akan sebuah ‘realitas alternatif’ di bumi yang meruntuhkan batas alam keilahian dan duniawi. Selayaknya sebuah ideologi, Islam menggunakan politik untuk mengontrol setiap aspek kehidupan. Dan berupaya mencapai keadilan sempurna dengan menerapkan hukum Ilahi pada ‘realitas alternatif’ di bumi ini. Seperti yang dikatakan Qutb, “menghapus semua ketidakadilan di bumi.'' Pengikutnya mungkin terlihat hidup dan bergerak di dunia nyata, tapi sesungguhnya mereka telah dialihkan ke realitas kedua yang palsu. Berperilaku sesuai hukumNya—seperti membantai orang tak bersalah tanpa penyesalan.

[Penerj: Penulis buku ini mencoba membedakan Islam dengan Islamisme. Islam adalah versi yang 'damai' dan Islamisme yg mengandung unsur2 kekerasan. Ini sering dilakukan penulis Barat untuk menghindari kecaman Muslim atau memang malas mengulas kitab2 Islam sendiri spt Quran, hadis dan aturan syariah.]

Jessica Stern, penulis ‘Terror in the Name of God,’ menulis, “Aku melihat kekerasan apokaliptik yang bertujuan ‘membersihkan’ dunia dari ‘kotoran’ untuk menciptakan negara transenden. Semua kelompok teroris yang dikaji dalam buku ini percaya bahwa mereka sedang menciptakan dunia yang lebih sempurna. Dalam pandangan mereka, mereka sedang membersihkan dunia dari ketidakadilan, kekejaman dan semua yang tidak humanis. Ketika aku memulai proyek ini, aku tak dapat mengerti mengapa para pembunuh yang saya temui itu seperti mabuk rohani. Sekarang aku mengerti. Memang begitulah adanya mereka.” Komisaris bersama polisi Mumbai, Rakesh Maria, berkata tentang tahanan teroris Muhammad Ajmal Kasab, satu-satunya pelaku pembunuhan massal di Mumbai, India, 2008, yang masih hidup, “Ia dibuat percaya bahwa ia melakukan sesuatu yang kudus.”

Abdelwahab Meddeb, reformis Tunisia, berkata tentang teroris Islam, “Tak ada tindakan kriminal yang lebih hina daripada orang yang bukan hanya tak merasa bersalah setelah melakukan kejahatan, tapi juga melabuhkan ilusi bahwa kejahatan ini akan membuatnya mendapat pahala Ilahi. Pengalihan dari buruk jadi baik tidak hanya membebaskan dari rasa bersalah, tapi juga mengubah seorang yang tak bahagia menjadi jiwa yang bahagia.”

Terorisme bukan hanya beberapa orang melakukan hal-hal yang mengerikan karena dorongan sesaat. Ini adalah jenis pembunuhan yang naik ke tataran moral, dilembagakan dalam organisasi—sel, partai, atau negara—sebagai prinsip yang menjiwai mereka. Ini adalah rasionalisasi yang mengijinkan “perubahan jahat jadi baik,” kata Meddeb. Dalam beraksi, teroris sebelumnya harus yakin/percaya bahwa kekerasan yang mereka lakukan itu bermoral atau “suci,” membawa ke kebaikan yang lebih tinggi. Sebab itu, hal pertama yang harus dipahami adalah ideologi di balik organisasi teroris; sumber legitimasi moral mereka. Tanpa ideologi itu, organisasi mereka takkan eksis. Dalam kasus Islamis radikal, trinitas di balik ideologi tsb adalah Sayyid Qutb, Hassan al-Banna dan Maulana Maududi. (Bukan Allah, Muhammad dan Syaiton? penerj)

Sarana untuk transformasi realitas ke realitas alternatif yaitu kontrol total berdasarkan kekuasaan absolut. Dilakukan untuk memusnahkan tatanan lama. Qutb mengatakan, “hanya transformasi radikal dengan kehancuran total dari sistem lama bisa menjamin berkembangnya masyarakat ideal di bawah kekuasaan Allah.” Maududi menyatakan bahwa ''Islam (lihat tuh! BUKAN IslamISME atapi Islam, spt dikatakan sendiri oleh Muslim. Knp penulis masih keukeuh juga bahwa ini adalah IslamISME???) adalah sebuah sistem yang lengkap, yang akan menggantikan semua sistem tirani dan kejahatan di dunia, dan melaksanakan program reformasinya sendiri yang dianggap terbaik untuk kesejahteraan umat manusia.”

Islamisme menganut ideologi klasik yang menggabungkan langit dan bumi dalam satu realitas. Persis dikatakan Qutb, “Islam (TUH KHAN! ISLAM, bukan IslamISME---penerj) memilih menyatukan langit dan bumi dalam satu sistem.” Ini berarti, “tujuan utama menerapkan hukum Allah di bumi ini bukan semata tindakan untuk mendapat pahala di kehidupan nanti, tapi kehidupan dunia ini dan dunia berikutnya merupakan dua tahap yang saling melengkapi….Harmonisasi hukum Ilahi bukan berarti kebahagiaan manusia ditunda di kehidupan berikutnya, melainkan membuatnya nyata dan dapat diraih dalam dua tahap.” Dengan kata lain, tujuan kedua transenden diraih dalam tahap pertama duniawi, seperti kata Qutb, “untuk membangun kerajaan Allah di bumi” atau “untuk menciptakan dunia baru.” Jelas ini bukan tujuan politik lagi, tapi sudah metafisik. Diperkirakan Qutb, hasilnya akan menciptakan suatu kondisi—yang terdengar menakutkan mirip dengan konsep masyarakat tanpa kelas Marx--: “Penerapan secara universal hukum Ilahi secara otomatis berarti pembebasan manusia sepenuhnya dari segala bentuk perbudakan.” Dan untuk mencapai tujuan ini, Maududi menyerukan, “Islam (TUH! ISLAM bukan IslamISME) menginginkan seluruh bumi dan tak puas kalau hanya sebagian. Islam menuntut seluruh dunia yang berpenghuni.”

Manifestasi politik “single system” Qutb mencontoh dari rejim totaliter ideologi sekuler abad ke-20 serta ide ‘proto-totalitarian city’ Socrates yang tercantum dalam buku Plato “The Republic.’ Socrates memperlihatkan keterbatasan politik dengan cara mengajak kita membayangkan sebuah negara imajiner. Jiwa kita di transpose menjadi bagian tatanan politik imajiner tsb. Socrates memperlihatkan akibat yang ditimbulkan: Jika kita coba wujudkan sebuah negara yang sempurna secara politis sesuai bayangan kita, apa yang kita dapatkan? Jawabannya: negara garnisun/tentara, hancurnya kehidupan berkeluarga, disiplin kaku, peniadaan privasi, eugenics/kontrol ketat populasi, pendidikan negara, etc. Dengan kata lain, politik tidak dapat memuaskan kebutuhan tertinggi manusia, memenuhi hasrat manusia, karena tak mungkin mencapai keadilan sempurna; kalaupun dibuat wadah/pelaksana untuk itu, akan berujung sebentuk tirani yang mengerikan. Inilah kesalahan mendalam dimana totaliter Barat (Nazi dan fasisme) dan Islam telah jatuh ke dalamnya.

Jadi, logis “dalam negara seperti itu,” kata teman se-ideologi Qutb, Maulana Maududi, “tak ada yang bisa menganggap satupun urusannya sebagai urusan pribadi atau personal. Mempertimbangkan aspek ini, negara Islam (!!) memiliki kemiripan dengan negara Fascis dan komunis.” Hal ini, katanya, “antithesis dari demokrasi sekuler Barat.” Mencari pembenaran se-nada Robespiere, Qutb berkata bahwa suatu, “kediktatoran yang adil” akan “memberikan kebebasan politik pada kebaikan itu sendiri.” Hassan al-Banna, selain membaca karya al-Ghazali, juga menganggap Uni Soviet di bawah Stalin sebagai model sistem satu partai yang sukses.

Selama dunia terus menghindar untuk menangani revolusi Islamis, konflik akan terus berlanjut—dengan adanya darul harb (wilayah perang)—persis revolusi abadi yang dicanangkan Marxist sampai tatanan borjuis disingkirkan sepenuhnya; atau oleh Nazi, hingga semua ras rendah dimusnahkan atau diperbudak.
Utopia kerajaan Tuhan di bumi bagi para Islamis, Pemerintahan Seribu Tahun Hitler, atau masyarakat tanpa kelas Marxist yang memerlukan kontrol total dalam semua aspek takkan pernah terwujud. Untuk itu dicari kambing hitamnya: ''kafir telah lolos dari genggaman kita, Yahudi telah melarikan diri,'' atau ''kapitalis berhasil menghindar.'' Dengan demikian, surga dunia akan selamanya tertunda dan perang merupakan sebuah revolusi abadi. Qutb menyatakan, “Perjuangan ini bukanlah fase sementara melainkan perang yang abadi dan permanen.” Ditambahkan Hassan al-Banna, “Yang saya maksud dengan Jihad adalah kewajiban yang akan berlangsung hingga Hari Kebangkitan.”

Dasar-dasar Kebencian

Bahan bakar perang abadi Islamis sama dengan Marxism-Leninism dan Nazisme, yakni kebencian. Hanya sasarannya saja yang berbeda. Mulai dari kebencian ras di Nazism, kebencian kelas di komunisme, hingga kebencian kafir di Islam radikal, termasuk juga kebencian pada muslim lain yang tak sesuai dengan versi Islam yang dianut. “Kita harus membenci,” ujar Lenin; “kebencian adalah dasar komunisme.” Doktrin senada Bin Laden sama tegasnya, “Mengenai hubungan antara muslim dan kafir, dinyatakan oleh Allah: ‘Sesungguhnya kami [umat Islam] berlepas diri daripada kamu [bukan Islam] dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya antara kita sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Q 60:4). Jadi ada permusuhan, permusuhan sengit dari hati….. Jika kebencian suatu saat dipadamkan dari hati, itu berarti murtad!.... Pertempuran, permusuhan dan kebencian—dari muslim pada kafir—adalah pondasi ajaran kita.”

Megafon paling sukses untuk menyampaikan pesan ini adalah internet, yang digunakan Islamis radikal untuk menciptakan, apa yang disebut Dr. Jerrold M. Post, professor bidang psikiatri, psikologi politik dan hubungan internasional di George Washington University sebut sebagai, “komunitas virtual kebencian.”

Kejahatan Demokrasi

Telah diisyaratkan Maududi, demokrasi adalah antithesis proyek Islamis, seperti halnya keutamaan akal adalah antithesis keutamaan kekuasaan/kehendak. Pandangan antirasional bukan hanya menganggap demokrasi sbg tatanan konstitusi tak berguna, tapi juga bertentangan dengan Islamis dan dianggap sebagai bentuk penghujatan, suatu hal yang paling mereka takutkan. Penulis al-Qaeda, Yussuf al-Ayyeri (tewas dalam kontak senjata di Riyadh, Juni 2001) menulis di buku terakhirnya ‘The Future of Iraq and the Arabian Peninsula after the Fall of Baghdad’ : Bukan mesin perang Amerika yang seharusnya jadi perhatian penuh umat Islam. Yang mengancam masa depan Islam adalah Demokrasi Amerika.” Karena demokrasi mendasarkan tatanan politik akal dan kehendak bebas, jadi masih terus berargumentasi, sementara bagi Islamis segalanya sudah lengkap, selesai lewat wahyu. Islamis radikal menganggap demokrasi sebagai musuh alami dan fatal mereka. Hukum buatan manusia adalah suatu bentuk kesyirikan karena otorita manusia bersinggungan dengan hukum ilahi yang telah ditentukan bagi setiap situasi. Demokrasi menempatkan hukum manusia pada level Tuhan. INi mempertuhankan manusia dan ini tidak nampak sbg tatanan politik tapi sbg agama palsu. Itulah sebabnya Sayyid Qutb menyatakan dalam ‘Milestones,’ “Siapapun yang mengatakan Undang-Undang adalah hak rakyat, bukan orang Islam.”

Abu Muhammad al-Maqdisi, teolog Palestina-Yordania, dalam bukunya ‘Democracy: A Religion!’ menegaskan pandangan Qutb, bahwa “demokrasi adalah sebuah agama, tapi bukan agama Allah.” Jadi, sudah kewajiban agama, umat Islam harus, “menghancurkan orang-orang yang menganut demokrasi, dan kita harus memusuhi pengikut mereka—membenci mereka dan mengobarkan jihad besar terhadap mereka.”

Image
Ulama Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir, yang dibebaskan dari penjara July 2006, setelah dituduh terlibat dalam serangan terror di Bali, 2002, menggemakan kembali Qutb: “Tidak ada demokrasi dalam Islam, jadi jangan coba menginterpretasi Qur’an dan mengubah Islam menjadi demokrasi sesuai kebutuhanmu. Hukum Tuhan duluan ada. Bukan terserah kepada rakyat untuk memutuskan apa yang benar dan bagaimana cara hidup. Tapi kehendak rakyatlah yang harus disesuaikan dengan kehendak Allah. Bukan demokrasi yang kita inginkan, tapi Allah-cracy! Prinsip-prinsip Islam tidak bisa diubah, dan tidak ada demokrasi dalam Islam atau omong kosong seperti ‘demokrasi Islam’ ….Demokrasi adalah sirik[penghujatan] dan haram [terlarang].”

Jurubicara al-Qaeda, Suleiman Abu Gheith berkata, “Amerika adalah kepala bid’ah di dunia modern dan memimpin sebuah rejim demokrasi kafir yang memisahkan antar agama dan negara serta memerintah rakyat oleh rakyat melalui undang-undang legislative yang bertentangan dengan jalan Allah, dan mengizinkan apa yang dilarang Allah.” Bagi Islamis radikal, demokrasi itu sendiri adalah tindakan menghujat yang berdosa dan harus dimusnahkan.

Karena itu, Sheik Omar Abdel Rahman (sheik buta) mendesak, “Umat Islam dimanapun harus memecah bangsa Amerika, merobek mereka, merusak perekonomiannya, memprovokasi perusahaan mereka, menghancurkan kedutaan mereka, menyerang kepentingan mereka, menenggelamkan kapal mereka, …menembak jatuh pesawat-pesawat mereka, [dan] membunuh mereka di darat, di laut, dan di udara. Bunuh mereka dimanapun kau temukan mereka.”
(HAYOOOO .. masih ingat ayat brp yg menyebutkan ini? Q9:5 bukan? ''Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka ...'')

Penting untuk dipahami bahwa keinginan Islamis radikal untuk menghancurkan Amerika, sebagai pemimpin demokrasi Barat, bukan semata tujuan politik tapi juga persyaratan metafisik untuk transformasi realitas. Amerika harus dihancurkan karena, “Amerika jahat dalam esensinya (Amreeka sharrun mutlaq),” kata Sheikh Muhammad Hussein Fadlallah dari Hezbollah. “Kami tidak berperang untuk suatu penawaran,” Hussein Massawi, mantan pimpinan Hezbolah memperingatkan, “Kami berperang untuk memusnahkanmu.” Pemimpin Taliban, Mullah Muhammad Omar, mengatakan, “Masalah nyata adalah kepunahan Amerika. Dan, Insya Allah, Amerika akan hancur.”

Dalam Islamisme, penghancuran ini penting secara metafisik, sepenting penghapusan kaum borjuis oleh Marxis dan ras rendah oleh Nazi, demi proyek millennium bergengsi mereka. Sebagaimana rejim totaliter Nazi dan Marxis, Islamis, dalam rangka membangun realitas alternatif mereka, menghapus sebagian besar sisi humanis, membenarkan pembantaian—dalam kasus ini disebut kafir, kasus serupa disebut non-Aryan atau kaum borjuis.

Dalam hal ini, Islam radikal adalah sebentuk neo-barbarism. Bila peradaban didefinisikan sebagai tindakan mengakui orang lain sebagai manusia, maka barbarism adalah seseorang yang tak dapat melakukan tindakan ini—seringkali karena ia berasal dari atau memilih dunia yang tak memiliki istilah manusiawi. Sulit membayangkan besarnya bencana yang timbul akibat ketidakmampuan atau penolakan akan istilah manusiawi ini. Jika seseorang tidak mampu mengakui orang lain sebagai manusia, ia takkan tahu perbedaan manusia dan hewan, atau manusia dan ilahi. Kebingungan ini mengarah pada perbudakan, pengorbanan manusia, kanibalisme, genosida, dan berbagai kengerian lainnya. Melalui Islamisme, seperti komunisme atau Nazisme, seseorang kehilangan kemampuannya mengakui orang lain sebagai manusia. Ketiga paham tersebut merupakan mesin dehumanisasi—mengubah orang lain jadi hewan atau lebih rendah lagi. Atas nama kegelapan, dewa suatu suku, seseorang menjadi barbar.

Perlunya Kekuatan Bersenjata: Terorisme sebagai Kewajiban Moral

Seperti komunis dan Nazi, Islamis juga memandang perlu kekuatan bersenjata bagi transformasi yang mereka harapkan. Akal tak berguna; jadi, kekuatanlah satu-satunya alat untuk perubahan fundamental. Tuhan tanpa akal menjadi dasar teologis bagi kekerasan. Ada sejumlah contoh doktrin kekerasan ini. Pembimbing spiritual Bin Laden, Abdullah ‘Azzam, berkata bahwa, “mereka yang beranggapan dapat mengubah realitas, atau mengubah masyarakat tanpa pengorbanan darah dan luka….tidak mengerti esensi agama kita.” Harganya mahal: “Kemuliaan tidak membangun puncak keagungannya kecuali dengan tengkorak….Kehormatan dan penghargaan tak dapat dibangun kecuali atas pondasi orang cacat/terluka dan mayat-mayat.” TangisNya: “Jihad dan senjata semata, tidak negosiasi, tidak konferensi, dan tidak dialog.” Wakil Bin Laden,Ayman al-Zawahiri, menyerukan, “Demi Allah, reformasi hanya berlangsung lewat Jihad, dan yang tidak melalui jihad ditakdirkan mati dan gagal. Kita harus paham sifat pertempuran dan konflik.”

Mantan pimpinan al-Jihad Mesir yang ditahan, Kamal el-Said Habib, mengkritik perilaku jihadis Mesir, “kekerasan menggantikan politik sebagai alat berinteraksi.” Ia tak menyadari bahwa kekerasan semacam itu akibat logis dari teologi yang dianut jihadis.

Dalam sebuah wawancara, th 1998, Muhammad Khan—amir/pimpinan Lashkar-e Taiba, sebuah kelompok terkenal yang mensponsori serangan teroris di Mumbai, India—menyatakan perlunya kekerasan: “Ketika perubahan datang, itulah saatnya orang-orang yang menentang Islam akan hancur.” “Dengan kekuatan?” tanya pewawancara. “Ya,” jawab sang amir, “itu pasti.” Islamis Indonesia, Abu Bakar Ba’ashir, berkata, “Perjuangan bagi Islam hanya terwujud lewat krisis dan konfrontasi…..Ingatlah, jihad yang membawa Islam ke kekuasaan dan membangun masyarakat kita. Tak ada Islam tanpa jihad.”

30 November 2005, dari rekaman al-Qaeda, ada pertanyaan retorik, “Bagaimana kita dapat memaksakan agama ini? Bisakah lewat perdamaian? Logika? Atau lewat ceramah dan pemungutan suara?” Lalu ada suara menjawab: “Satu-satunya jalan lewat pedang.” Sumber lain al-Qaeda memperlihatkan silsilah al-Qaeda hingga ke kaum anti-rasionalis abad pertengahan, menyerukan kekerasan sebagai oposisi langsung thp filsafat: “Jenis perlawanan yang diperlukan untuk kaum murtadin bukanlah debat Socrates, idealisme Plato, atau diplomasi Aristoteles. Tapi dialog peluru, idealisme pembunuhan, pemboman dan penghancuran serta diplomasi meriam dan senapan mesin.”

Pandangan ini bukan eksklusif milik Sunni. Ayatollah Khomeini berkata: “Apapun yang baik, ada berkat pedang dan bayangan pedang. Orang tidak bisa dibuat taat kecuali dengan pedang. Pedang adalah kunci menuju surga.” Dalam pidatonya, Desember 2004, ia berbicara ttg manfaat membunuh kafir sebagai bentuk jasa untuk para kafir itu sendiri. Katanya, “Perang adalah berkat bagi dunia dan bagi setiap bangsa. Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk mengobarkan perang dan membunuh.” Dan ulama Morteza Muthhari berkata, “Faktor kekerasan diperlukan…. Tidak ada halangan untuk menggunakan kekerasan.”

Islamis radikal menerjemahkan kemahakuasaan Tuhan versi mereka menjadi suatu politik kekuasaan tak terbatas. Sebagai instrumen Tuhan, mereka adalah saluran untuk kekuatan ini. “Garda depan” Tuhan mengambil posisi Tuhan, sebagaimana garda depan kaum proletar mengambil posisi kaum proletar dlm Marxism-Leninism, dan menghasilkan apa yang kemudian dikatakan Kardinal Joseph Ratzinger, sbg ''bentuk totalitarianisme yang mempraktekkan sejenis pemujaan ateistik yg siap mengorbankan kemanusiaan pada Tuhan Palsu.”

Dalam fatwanya tahun 1998, Osama bin Laden memberikan contoh tepat pemindahan otoritas Ilahi waktu memerintahkan “membunuh orang Amerika dan sekutu-sekutunya—sipil dan militer” dengan mengklaim itu adalah “perintah Allah untuk membunuh orang Amerika.” Sekali keutamaan kekuatan dikemukakan, terorisme jadi langkah logis berikutnya ke kekuasaan, sebagaimana Nazism dan Marxisme-Leninisme. Inilah yang mendorong Osama bin Laden meresapi pernyataan mengejutkan dari wali rohaninya, Abdullah ‘Azzam, yang dikutip Osama dalam video bulan November 2001, dirilis setelah peristiwa 9/11: “Terorisme adalah keharusan dari agama Allah.” Ini boleh jadi benar—kekerasan dalam menyebarkan kepercayaan adalah keharusan—jika Tuhan tanpa akal, maka bertindak tidak masuk akal tidak bertentangan dengan sifatNya.

Pernyataan Azzam ini mengagetkan sebagian Muslim yang beranggapan bahwa terorisme secara moral menjijikan dan asing dengan ajaran inti Islam, terutama yang berkaitan dengan suicide bombing terhadap warga sipil. Islamisme dalam Islam mungkin analogi yang kasar dengan pengembangan teologi pembebasan (liberation theology) dalam agama Kristen. Khususnya di negara Amerika Latin, Katolik terinfeksi ideologi Marxisme dengan preferensinya ke kalangan miskin. Menurut teologi pembebasan, tak cukup menolong kaum miskin lewat abdan amal. Kita harus membasmi lembaga yang konon menyebabkan kemiskinan. Termasuk properti dan aspek2 lain dari kapitalisme. Dalam ajaran ini, paham Kekristenan dimasuki paham Marxis yg mempromosi ttg perlunya kekerasan. Para pendeta melempar rosario mereka, mengambil senapan mesin dan granat, bergabung dengan revolusi. TAPI Kristen punya seorang paus yang bisa menDELEGITIMASI gerakan KristenISME itu. Dan dalam perjuangan thp paham totaliter ini, Paus Johannes Paulus II menang. Muhammad Navab-Safavi juga menyerukan kpd sesama umat Islam: “Buang tasbihmu dan belilah senjata. Karena tasbih membuatmu berdiam diri, sementara senjata mendiamkan musuh-musuh Islam.” Islam tak punya figur otoritas seperti Paus yang secara definitif dapat mendelegitimasi IslamISME. Kalaupun ada, tak pasti ia akan melakukannya, karena Islamisme sudah punya klaim legitimasi (yaitu Islam sendiri! penerj).

Masalahnya saat ini adalah, sisi nalar dalam Islam telah hilang, akibatnya antibodi alami thp infeksi totaliter jadi lemah. Yang kita saksikan saat ini adalah konsekuensi puncak dari penolakan thp akal manusia dan hilangnya kausalitas, sebagaimana yang terjadi di seluruh dunia Islam, dalam budaya disfungsional yang mereka lahirkan. Bukan berarti sisi akal sudah tidak ada disana. Fatima Mernissi mengatakan dengan pedihnya, “Fakta bahwa kaum rasionalis, tradisi humanistik ditolak politisi lalim, bukan berarti mereka sudah tidak ada. Memiliki lengan yang diamputasi tidak sama dengan lahir tanpa lengan. Kajian thp orang yang di-amputasi memperlihatkan bahwa bagian tubuh yang diamputasi tetap hadir di pikirannya. Semakin sisi rasional kita ditekan, semakin kita menginginkannya.”

Ada beberapa kaum terpelajar Muslim yang sangat cerdas yang menginginkan sesuatu semacam gerakan neo-Mu’tazila dalam Islam, pemulihan keutamaan akal, sehingga mereka dapan membuka kembali gerbang ijtihad serta mengembangkan sejenis dasar hukum alami untuk kemanusiaan, politik, dan aturan konstitusional. Nyatanya, ilmuan Indonesia, Harun Nasution (1919-1998) ingin memakai label neo-Mu’tazila secara terbuka meskipun label ini dikutuk sbg bid’ah. Ia secara eksplisit menyerukan pengakuan hukum alam serta menentang paham occasionalism dan determinisme Ash’arit yang dianggapnya bertentangan dengan kemajuan sosial, ekonomi dan kemajuan politik. Ia mempertahankan kehendak bebas manusia dan konsekuensinya. Pemikir reformist kelahiran Tunisia, Latif Lakhdar, menyerukan kebangkitan “Mu’tazilla dan pemikiran filsafat thp tulisan-tulisan suci, dimana ajaran agama diinterpretasikan akal manusia.” Ia merekomendasikan “membuka rasionalisme agama—tulisan religius sbg subjek penelitian dan kajian rasional—harus menjadi inti pendidikan agama di wilayah Islam Arab, karena absurd untuk percaya tulisan suci dan menyangkal realitas.”

Tetapi, di tempat2 lain di dunia Islam, jika seseorang berani menyatakan keberadaan Qur’an tidak abadi bersama Allah, ia sebaiknya dijaga ketat, 24/7. Di Mesir, Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, asisten professor bahasa Arab Universitas Kairo, memancing keributan karena menyatakan Qur’an adalah produk manusia karena bahasa adalah konvensi manusia. Mengenai Mu’tazila, ia berkata, “Mu’tazilla mengasumsi dari text Qur’an bahwa Qur'an adalah sebuah penciptaan (manusia) dan bukan kata-kata Tuhan yang kekal. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dan yg diajak bicara/pembaca ada hanya karena konvensi manusia; tak ada keilahian dalam hubungan ini. Mereka berupaya membangun jembatan antara firman ilahi dan akal manusia.[...] Mereka bersikeras bahwa bahasa adalah produk manusia dan firman ilahi mengikuti aturan dan bentuk-bentuk bahasa manusia.”

Karena keberaniannia itu, ia diseret ke pengadilan dgn tuduhan murtad. 14 Juni 1995, Pengadilan Banding Tingkat Dua di Mesir memutuskan Dr. Abu Zaid sbg kafir. Akibatnya, ia dipaksa bercerai dengan istrinya. Wanita muslim tak diizinkan menikah dengan pria non-muslim. Tapi Dr. Abu Zayd dan istrinya melarikan diri ke Eropa. Aman di pengasingan, ia baru-baru ini menyatakan bahwa “reformasi Islam dimulai dini di awal abad ke-19 dan sebenarnya memiliki akar yang lebih awal. Satu ajaran penting dari kaum Mu’tazilla, 1000 tahun lalu, adalah bahwa Qur’an tak perlu diinterpretasi secara literal, dan bahkan kaum terpelajar Iran saat ini sangat terbuka thp kritik keilmuan dan interpretasi.”

Namun nasib ilmuwan muda Iran, Abdolkarim Soroush juga berakhir di pengasingan. Fr Samir Khalil Samir berkata, “Seorang pemuda muslim Iran, dengan gelar di bidang kajian Islam, suatu hari berkata padaku: ‘Kita tak dapat lagi berpikir bahwa Qur’an didikte secara langsung oleh Tuhan pada Muhammad melalui malaikat Jibril. Qur’an harus diinterpretasi lagi. Sayangnya, di dunia Islam saat ini tidak banyak kebebasan: beberapa dekade lalu, salah seorang intelektual kita, Abdolkarim Soroush dikeluarkan dari universitas karena mengajarkan hal tersebut. [Soroush dlm beberapa kesempatan diserang secara fisik.] Akhirnya, agar dapat tetap hidup dan mengekspresikan diri, ia harus pindah ke Eropa.’” Banyak neo-Mu’tazila yang ingin membangkitkan lagi tradisi teologi dan filsafat rasional Islam, berakhir di Barat juga.

Sayangnya, seperti yang diperingatkan Bassim Tibi, “Mereka, para intelektual Islam yang….masih berharap menggunakan akal untuk mereformasi Islam, lebih baik melakukannya dalam pengasingan di Barat, baik itu Paris, London atau Washington. Ide-ide mereka dibahas di Skandinavia, tapi tidak di dunia Islam.” Bahkan di Eropa, muslim seperti mereka menghadapi bahaya dicap murtad. Selama beberapa tahun di Jerman, Tibi sendiri, perlu pengawal bersenjata yang disediakan pemerintah Jerman untuk melindunginya dari pembunuhan. Taj Hargey, seorang imam Inggris, menyesalkan bahwa, “para pemikir iconoclastic, liberal, dan nonconformist yang berani menantang otoritas religius Islam dengan memberikan interpretasi rasional atau alternatif thp agama mereka selalu dicap murtad, bid’ah, dan kafir.


* Islamisme mengacu pada ideologi totaliter Islam.





Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money