Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 13, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Introduksi

The Closing Of The Muslim Mind

Introduction: INTELLECTUAL SUICIDE

Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) ...
—Qur’an 2:105

Filosofi adalah sebuah kebohongan
—Abu Sa’id ibn-Dust (d. 1040)

Kemanapun saya pergi dalam dunia Islam, masalahnya selalu sama: cause and effect; cause and effect.
—Fouad Ajami, 2005

Buku ini berbicara tentang drama-drama intelektual terbesar dalam sejarah manusia (the greatest intellectual dramas in human history). Lapangannya adalah otak Muslim. Ini adalah cerita bagaimana Islam berseteru dengan akal manusia setelah wilayah jajahannya mengeksposenya kepada pemikiran Yunani dan bagaimana pemikiran Yunani ini akhirnya kalah dalam sebuah duel yang sangat mematikan.

Muslim Brain
Tentu tidak semua Muslim otaknya mandeq. Tapi bagian besar dari Islam Sunni mainstream/ mayoritas telah menutup pintu kepada realita, khususnya aliran teologi Ash‘arit, yang mendominasi TImur Tengah Arab dan sangat terasa di kawasan seperti Pakistan, Afghanistan dan sekitarnya.

Ilmuwan Muslim kondang abad 20, Fazlur Rahman, mengatakan, “Bangsa yang menanggalkan filosofi akan meng-ekspos diri pada kelaparan akan ide2 segar—bangsa macam ini melakukan bunuh diri secara intelektual (intellectual suicide).” Dalam pidato September 2006 di Regensburg, Paus Benedict XVI juga mengatakan hal yang mirip. Ia berbicara tentang De-Hellenisasi atau De-Yunanisasi—yang berarti hilangnya logika/pemikiran, warisan bangsa Yunani—sebagai salah satu problema utama Barat. Yang tidak diketahui umum adalah bahwa De-Hellenisasi ini juga mempengaruhi Islam—yang mendegrasi dan menceraikan akal.

Dehellenisasi Islam ini tidak terlalu diketahui karena dampaknya memang sangat mendalam dan efektif sampai bahkan tidak ada yang menyadari adanya proses hellenisasi dini terhadap Islam—khususnya di abad-abad 9 & 10. Itu merupakan perioda menentukan bagi Islam dan dunia. Seperti dikatakan almarhum Raja Hussein dari Yordania dalam wawancara terakhirnya: inilah saatnya, dunia Muslim mengambil jalan ke arah yang SALAH.

Dehellenisasi Islam ini berakar dari ajaran abad 9 bahwa Tuhan sudah mengambil bentuk definitif, walau sebelumnya Islam juga sudah menyandang pemikiran itu. Siapa dan apa Tuhan mengabikatkan ajang diskusi sengit antara dua pihak. Masing2 pihak merasa tahu pasti siapa dan apa Tuhan dengan cara tafsiran masing2 yang saling berbeda dari satu buku, Qur'an. Yang satu meninggikan kemauan dan kekuasaan Tuhan dan yang lain meninggikan keadilan dan rasionalitasNya.

Argumen menjadi semakin hebat dengan adanya perkenalan dengan filosofi Yunani, tentang bagaimana akal/logika bisa dihadapkan pada wahyu Tuhan.

Pertanyaan mereka adalah: sejauh mana urusan akal dengan pertemuan manusia dengan Tuhan? Apa hubungan akal dan wahyu? Apakah akal memiliki cukup kredibilitas untuk menilai wahyu Illahi ? Dan apakah akal bisa mengenal kebenaran?

Muhammad bukan seorang teolog, sehingga tugas untuk mengetahui siapa Tuhan baik secara eksplisit ataupun implisit dari Qur'an dibebankan pada pengikutnya. Mereka harus melakukannya karena harus menyelesaikan berbagai sengketa yang timbul dalam Islam saat Islam dihadapkan pada ide dan agama dari budaya jajahannya.

Setiap agama monotheis menghadapi tantangan yang sama dalam bidang teologi, filosofi, metafisik dan epistemologi, seperti yang juga harus dihadapi  Islam. Nah, buku ini mencoba menjelaskan mengapa Islam mandeq dalam mengatasi pemikiran2 yang sudah dilakukan pendahulunya.

Dua cara penting yang mengakibatkan mandeqnya otak. Pertama, menolak kemampuan akal untuk mengetahui apapun. Kedua, menganggap realita sbg sulit diketahui. Akal manusia tidak bisa TAHU, malah tidak ada yang perlu diketahui. Kedua pendekatan ini menganggap realita sebagai tidak relevan. Dalam Islam

Sunni, kedua elemen diterapkan pada aliran Ash‘arit. Akibatnya, terjadi diskoneksi fatal antara sang Pencipta dan otak manusia ciptaanNya yang akhirnya menciptakan mandeqnya otak Muslim, yang akhirnya menciptakan ideologi Islamis radikal.

[...]

Islamis radikal ini menganggap pemikiran mereka sebagai Islami. Tapi seberapa Islamikah aliran Islamis ini? Kalau tidak, mengapa Islam begitu rawan atas deformasi macam ini?

[...]

Banyak Muslim sudah mengakui problema ini. Dalam bukunya, “Reinventing the Muslim Mind,” seorang pemikir Islam reformis dari India, Rashid Shaz, megnatakan: “Untuk menciptakan permulaan baru kami harus sebelumnya menerima bahwa pemikiran lama/tradisional tidak akan membawa
kami kemana2. Paling minimum diperlukan sebuah pemikiran baru. Tanpa me-reakitivisasi otak2 kami, kami tidak mampu menyadari seberapa besarnya kegagalan dan kemunduran kita.”

Oleh karena itu, buku ini mencoba mengerti perjalanan yang diambil Islam Sunni yang akhirnya berakhir di jalan mati/mandeq. Mungkin ini satu2nya cara untuk kembali menelusuri jalan itu, mencari jalan yang terbuka.

* Buku ini tidak mencakup Islam Syiah karena berbeda dengan Islam Sunni dan diperlukan buku lain. Hubungan Islam Syiah dgn filosofi sangat berbeda. Ini bisa dilihat dalam Bab 2.




0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money