Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 13, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 2

The Closing Of The Muslim Mind

BAB 2 KEJATUHAN MU’TAZILLA:

MULAINYA KEMEROSOTAN (PEMIKIRAN ISLAM)


Walau Mu’tazilla menikmati supremasi di bawah pemerintahan beberapa Kalif, hal tersebut tak berlangsung lama.

Pada tahun kedua pemerintahan Kalif Ja’afar al-Mutawakkil (847-861), situasi berbalik. Mihnah dibubarkan dan hakim-hakim Mu’tazilla yang bertanggung jawab atas inkuisisi dikutuk di mimbar-mimbar khotbah. Menganut paham Mu’tazilla dianggap kejahatan dengan hukuman mati. Pengikut Mu’tazilla diusir dari mahkamah, disingkirkan dari semua posisi pemerintahan, dan karya-karya mereka sebagian besar dihancurkan. Al-Mutawakkil membebaskan Ibn Hanbal yang sudah tua dari penjara serta melarang “mendiskusikan tetek bengek berkaitan dengan apa yang diciptakan dan tidak diciptakan dalam salinan atau kutipan lisan Qur’an.” Ia juga menutup Rumah Kebijaksanaan al-Ma’mun (walau dikemudian hari ia dipuji karena mengoperasikannya lagi serta mendukung kegiatan penerjemahan dan kajian ilmiah). Al-Mutawakkil mengambil alih perpustakaan al-Kindi, dan filsuf berusia 60 tahun itu dihukum 60 cambukan dihadapan public, kemudian diusir dari Baghdad.

Keadaan semakin memburuk. Sejarawan Abu Jafar Muhammad ibn Jarir al-Tabari (838–923) menceritakan, dari April 892 hingga Maret 893 tahun itu, “pedagang buku disumpah untuk tidak menjual buku-buku teologi (kalam), perdebatan dialektis (gadal) atau filsafat (falsafa). Dan “Tahun 885, semua penyalin professional di Baghdad disumpah untuk tidak menyalin buku-buku filsafat dalam kegiatan professional mereka.” Juga “berakibat pada kebijakan pendidikan, karena kaum tradisionalis akhirnya yang menyusun kurikulum pendidikan resmi di masyarakat Islam. Di dalamnya, selain (sudah tentu) tidak mencantumkan subjek teologi filsafat dan perdebatan dialektis, juga ilmu-ilmu lain yang sudah diterjemahkan (fisika, dsb.).” Kalam (teologi) dilarang di perguruan tinggi hukum dan semua institusi pendidikan berbasis amal, atau waqf.

Penindasan tersebut tidak serta merta mengakhiri ajaran Mu’tazilla. Juga tidak dapat mencegah tumbuhnya pengikut mereka, filsuf-filsuf yang dipengaruhi ajaran Yunani, seperti Alfarabi, Avicenna, dan Averroes. Beberapa Mu’tazilla melarikan diri ke wilayah Syiah yang lebih ramah di bawah penguasa Buwayhid di timur Persia. Dikatakan Wadi Kayani, “Periode Buwayhid memberi ruang bagi ajaran Mu’tazilla untuk lebih berkembang, menyebar dan memperbaiki diri sebagaimana ditunjukkan dalam karya Qadi ‘Abd al-Jabbar, menyusul kemudian peristiwa ketika Imam ke-12 Syiah terlibat okultisme sehingga kaum Syiah tidak lagi memiliki pemimpin rohani; suatu hal yang membuat terjalinnya ikatan intelektual antar Syiah dan mutakallimun Mu’tazilla. Ketiadaan imam untuk membimbing kaum Syiah diisi oleh Mu’tazilla. Bahkan, tulis sejarawan Albert Hourani, “ajaran Syiah yang paling banyak diterima, mengandung unsur-unsur ajaran Mu’tazilla.”

Bagaimanapun, proses panjang kemerosotan (dehellenization) dan kekakuan cara berpikir telah dimulai. Ilmuwan berdarah Inggris-Libanon, George Hourani, mengatakan, “titik balik proses proses penindasan faham Mu’tazilla terjadi di abad kesebelas dengan adanya janji iman (creedal proclamation) oleh Kalif Qadir awal 1017, diikuti demonstrasi pengikut Hanbali di Bagdad tahun 1060-an , serta dukungan penuh sultan Seljuq dan wazir Nizam al-Mulk pada kaum Ash’arite.” “Berakhir sudah’” tulis fisikawan Pakistan Pervez Hoodbhoy, “upaya paling serius untuk memadukan akal dan wahyu dalam Islam. Di abad ke-12, ajaran pemikiran antirasionalis konservatif hampir sepenuhnya menghancurkan pengaruh Mu’tazilla. Begitu kerasnya reaksi ini, sampai-sampai al-Ash’ari dianggap relatif moderat dibanding Ibn Hanbal, dan diikuti kaum Wahhabi yang sama sekali tak mengizinkan berbagai bentuk pemikiran spekulatif.” Ilmuwan pengkaji Islam, Richard Martin, menambahkan komentar kematian ini, “Mu’tazilism, dengan berakhirnya era Abbasid di abad ke-13, bukan lagi kekuatan intelektual di Dar al-Islam [wilayah Islam]. Hanya bertahan di tempat-tempat terpencil di wilayah Kaspia serta madrasah dan perpustakaan Zaydi di Yaman utara.”

Di abad ke-14, kecenderungan antirasionalis ini mencapai tahap yang mengundang komentar Arnold Toynbee yang menggambarkan keberadaan Ibn Khaldun, pemikir terbesar Islam saat itu sbb: “kesendirian bintang Ibn Khaldun begitu menyolok kecemerlangannya.” Ironisnya, Ibn Khaldun justru seorang Ash’arite. Bahkan di karyanya 'Muqaddimah' (Pengantar), kerusakan begitu nyata dengan ditiadakannya subjek fisika: “Kita harus menahan diri mempelajari hal ini [di kelas umum] karena pengendalian diri merupakan kewajiban umat muslim untuk tidak melakukan yang bukan urusannya. Masalah-masalah fisika tidak penting dalam kehidupan keagamaan atau mata pencaharian kita. Sebab itu biarkan saja.”

Simbol paling tepat untuk menggambarkan ketegangan antara akal dan wahyu dalam Islam adalah perpustakaan Cordoba yang terkenal. Salah satu lambang kemuliaan peradaban Moor. Di abad ke-10, perpustakaan tersebut memiliki koleksi sekitar 400.000 volume – lebih banyak dibanding perpustakaan Perancis dan bahkan mungkin dibanding seluruh Eropa barat masa itu – dengan sekitar 500 (pustakawan dan pegawainya). Tapi, muslim bukan hanya membangun, mereka juga menghancurkannya, walaupun menurut sejarawan Arab Ibn Said (1214-1286) ini dilakukan kaum Barbar,bukan Arab, tahun 1013.

Baca : Bagaimana Islam membentuk dunia Eropa Abad Pertengahan

Adadeh:
Penolakan Islam dan seluruh dunia Islam terhadap sains dan akal sehat nampak dalam sejumlah kejadian penting, misalnya pembakaran yang dilakukan oleh El Mansur (Kalifah Cordoba, akhir abad ke 10, awal abad ke 11) dengan tangannya sendiri terhadap “karya² materialis dan filosofi perpustakaan yang berhubungan dengan Hakam II,” (Bertrand, loc cit. hal. 58)
Menurut kisah apokrif yang berhubungan dengan Hegel dan ‘Philosophy of History’nya, dinyatakan bahwa Kalif Omar memerintahkan penghancuran apa yang tersisa dari perpustakaan Alexandria tahun 638. Kisah ini tidak valid (karena gedung perpustakaan--secara fisik -- tersebut sudah tidak ada saat itu), tapi --terkait buku-buku koleksi-- Omar berkata, “Buku-buku ini jika mereka mengandung hal-hal yang ada di Qur'an atau hal-hal lain maka tidak ada gunanya.” Mungkin seperti ungkapan, menurut Ibn Khaldun, Omar menulis pada jendralnya di Persia memerintahkan untuk memusnahkan buku-buku yang ada. Saat ini, Taliban meniru dengan memerintahkan penghancuran semua buku di Afghanistan kecuali Qur’an

Lara: Ada 3 gedung yang difungsikan sebagai perpustakaan saat itu: Perp. Alexandria (Royal Library) serta Perp. Kuil Serapeum dan Perp. Kuil Cesarion (Public Library). Setelah Perp. Alexandria runtuh, koleksinya dipindah ke Serapeum. Koleksi berharga inilah yang dibakar pasukan Arab:
Baca juga : Bagaimana Tentara Muslim menghancurkan perpustakaan besar Alexandria

Ali5196:
Dlm bukunya, 'History of the Wise Men', sejarawan Muslim, Al Qifti, menyebut ttg pembakaran buku2 ini yg berlangsung sampai ENAM BULAN, dan buku2 yg diselamatkan hanya buku2 Aristotel, Euclid -sang pakar matematika dan Ptolemy-sang geografer.

Cerita pembakaran perpustakaan Serapeum di tangan Muslim juga didukung oleh kesaksian sejarawan Muslim dan Arab spt bapak sejarawan Mesir, Al Makrizi, dlm 'Sermons and Lessons in the Mention of Plans and Monuments', 'The Index'-nya Ibn Al Nadim, dan buku Georgy Zeidan, 'History of Islamic Urbanization'.

Dlm bukunya, 'Prolegomena', sejarawan Muslim Ibn Khaldun mendukung cerita pembakaran Bibliotheca Alexandrina oleh Muslim mengingat sikap Arab jaman itu terhadap buku2 pada umumnya, spt membuang buku2 Persia dlm air dna api oleh pemimpin Arab, Saad Ibn Abi Waqqas, lagi2 menyusul perintah Kalif Umar yg mengatakan kpd Ibn Abi Waqqas dlm sebuah surat : “Jika [buku2 ini] mencakup pengarahan, [ketahuilah bahwa] Allah memberikan kami pengarahan yg lebih baik. Dan kalau mereka mengandung pembelokan, maka semoga Allah melindungi kami.”

Oposisi kaum tradisional

Pihak yang paling menderita oleh Mu’tazilla adalah ulama-ulama tradisional dan para pengikut Ahmad ibn Hanbal yang dipenjara dan dicambuk karena menolak doktrin penciptaan Qur’an. Ajaran Hanbali adalah ajaran fiqh paling literal. Masih berlangsung hingga kini, terutama di Saudi Arabia.

Ada empat ajaran resmi Sunni, atau madhabs, yang memegang peranan. Dinamai sesuai nama pendirinya: Al-Shafi‘i (767–820), Abu Hanifa (c. 699–767), Ahmad ibn Hanbal (780–855), and Malik ibn Anas (c. 715–796). Muslim Sunni dapat memilih diantaranya, dijamin ortodoks. Interpretasi (ijtihad) Qur’an dan Sunnah, sejauh itu diperlukan, telah selesai dibukukan oleh keempat iman tersebut awal abad ke-9. Di abad ke-12, dianggap sudah tidak diperlukan kajian atau interpretasi lebih lanjut, tinggal penerapannya saja; pintu ijtihad (otoritas individual ulama untuk menginterpretasi kitab suci berdasar pandangan pribadi, atau ra’y) ditutup. Setelah penetapan hukum tsb, taqlid (lawan ijtihad), atau peniruan hukum yang diakui menjadi norma. Inilah sebabnya, menurut ilmuwan Montgomery Watt, “disiplin ilmu utama dalam pendidikan Islam bukanlah teologi melainkan fiqh.” Pola yang benar sudah ditetapkan. Di dalamnya, semua tindakan manusia digolongkan sbb: kewajiban, “wajib” (fard); “dianjurkan” (mandub); sah, “diijinkan” (mubah); tercela, “tidak dianjurkan” (makruh); dan “dilarang” (haram). Semua tindakan sudah ada petunjuknya. Umat hanya perlu mengikuti apa yang sudah dituliskan ulama. Tak perlu mencari diluar buku suci. Kondisi yang sudah tentu sangat tidak kondusif bagi filsafat, etika atau teologi alam. Nyatanya,subjek filsafat ditiadakan dari kurikulum universitas Al-Azhar, di Kairo dan barulah di akhir abad ke-19, diadakan lagi atas desakan tokoh pembaharu Mesir Muhammad ‘Abduh.

Pintu ijtihad tertutup begitu rapat hingga berbagai usaha untuk membukanya di awal abad 19 ditegur keras. Ketika Muhammad Ali as-Sanusi, dikenal sebagai Sabusi Agung (1787-1859) berusaha membuka kembali gerbang ijtihad, ia ditegur keras lewat sebuah fatwa mufti Kairo, “Tak seorangpun menyangkal kenyataan bahwa martabat ijtihad sudah lama hilang dan saat ini tak ada yang mencapai tingkat pembelajaran ini. Barangsiapa menganggap dirinya mujtahid [ulama yang memenuhi syarat melakukan ijtihad] pasti berada di bawah pengaruh halusinasinya atau setan.” 

Walau keempat ajaran resmi tersebut sangat kritis terhadap kalam (teologi spekulatif), tapi Hanbalilah yang benar-benar menolak pemikiran filosofis terhadap Qur’an dan bahkan memprotes Ash’arite kala menggunakan logika Aristoteles untuk menyerang Mu’tazilla, musuh bersama mereka. Menurut mazhab Hanbali, seseorang seharusnya tidak terkontaminasi dengan menggunakan senjata musuh. Dalam Istihsan al-Khaud (usaha mempertahankan ilmu Kalam), al-Ash’arite menggambarkan keberatan ajaran ortodoks terhadap penggunaan akal dalam hal iman, sbb:

Sebagian orang [kaum Zahirite dan ortodoks] …. cenderung mengikut dan beriman buta (taqlid). Mereka mengutuk orang yang mencoba merasionalisasikan prinsip-prinsip agama sebagai “pembaharu.”…. Mereka bilang kalau diskusi semacam itu benar, pastilah Nabi dan para sahabat juga melakukannya; selanjutnya mereka menunjukkan bahwa Nabi, sebelum kematiannya, telah membahas dan menerangkan semua hal yang diperlukan dari sudut pandang agama, tak menyisakan satupun untuk dibahas pengikutnya; dan karena ia tidak membahas masalah-masalah tersebut, pembahasan akan hal itu dianggap sebagai pembaharuan.

Pembaharuan (bid’ah atau bida’ah) adalah pelanggaran berat di Islam. Dalam sebuah Hadist, Muhammad telah memperingatkan, “Setiap pembaharuan adalah Bida’ah dan setiap Bida’ah adalah kesesatan (Dalalah) dan setiap kesesatan masuk neraka.”

Dalam pemikiran Hanbali agama lebih baik tanpa teologi. Karena Tuhan telah berbicara pada manusia (wahyu), manusia tidak perlu lagi berpikir kritis. Wahyu menggantikan akal. Dalam Qur’an dan Sunnah, Tuhan sudah menyatakan apa yang perlu diketahui manusia; tak perlu lagi pertimbangan lain. Ibn Hanbali menyatakan:
Agama adalah: buku Tuhan, athar [ucapan dan tindakan orang saleh], sunah [standar praktek], dan cerita lisan dari tradisi lisan terpercaya [akhbar] saling menegaskan satu sama lain …..diakhiri dengan kedatangan Utusan Tuhan dan para sahabat dan pengikut dan pengikut dari pengikut, dan setelah itu imam-imam yang diakui sebagai contoh, yang berpegang pada sunna dan athar, yang tak mengakui bid’ah dan tak dituduh dusta atau bertentangan [satu sama lain]. Mereka bukan penegak qiyas [penalaran analogis] dan ra’y [pendapat pribadi], karena qiyas tak berguna dalam agama, dan ra’y bahkan lebih buruk. Penegak ra’y dan qiyas adalah sesat.
Karena Qur’an tak mengijinkan kalam, hal tsb tak diperlukan. Ibn Hanbal menyatakan, “Siapapun yang melibatkan diri dalam retorika teologis tidak termasuk dalam Ahlul Sunnah, walau menguasai Sunnah, sampai ia meninggalkan debat dan takluk pada teks.” Penggunaan argument rasional menghina iman. Iman bukan untuk dinalar. Cukup menerima bila kayfa (tanpa bertanya bagaimana). Sebagaimana dikatakan Ibn Hanbal, “Setiap diskusi mengenai suatu hal yang tidak (pernah) didiskusikan Nabi adalah kesalahan.” Ibn Hanbal pernah diceritakan tidak makan semangka karena Muhammad tidak pernah melakukannya.

Peniruan/mencontoh (taqlid) adalah jalannya dan tak bisa dikritik. Ibn Hanbal menyatakan: “Orang yang beranggapan bahwa taqlid [mengikut otoritas tanpa kritik] tidak sah dan beragama tidak untuk mengikuti siapapun … hanya ingin membatalkan athar serta melemahkan pengetahuan dan Sunna. Mereka terisolir ke dalam ra’y, Kalam, bid’ah dan perbedaan [dari yang lain].” Pengajaran Ibn Hanbal digaungkan di jalan-jalan. Ia menjadi popular hingga saat pemakamannya, sekitar 150.000 orang memenuhi jalan-jalan di Baghdad.

Kaum tradisionalis yang dikenal dengan ahl al-Hadith, orang yang berpegang pada tradisi, pemegang otoritas Hadist (Hadists adalah tradisi melaporkan berbagai perkataan dan tindakan Muhammad yang disampaikan secara lisan sebelum akhirnya ditulis dalam sejumlah koleksi, enam diantaranya dianggap sahih). Ungkapan Hanbali yang masih terus diikuti adalah: “Singkirkan perdebatan dan takluk pada text.” Mengungkapkan tuntutan untuk menyangkal intelektualitas, jadilah bila kayfa.

Baca juga:
Jaman Keemasan Islam VS Sejarah Sains




Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money