Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 13, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 4

The Closing Of The Muslim Mind

Bab 4

KEMENANGAN ASH'ARISME

diterjemahkan oleh lara

Meski radikal, paham Ash’arisme menyebar ke seluruh dunia Sunni dan diterima hampir semua ulama, kecuali oleh mazhab Hanbali yang sangat literalis/harafiah. Dibanding dgn kaum rasionalis Mu’tazilla yang dianggap sesat dan kaum Hanbali yang literalis, ajaran Ash’arit dikenal sebagai “jalan tengah.” Persepsi ini timbul karena Hanbali lebih ekstrim akan penolakannya thp akal dan bahkan sangat menolak digunakannya akal oleh Ash’ari untuk menjelaskan dogma agama.

Saat Hanbali berada di atas angin di bawah wazir al-Kundri di Baghdad, setiap khotbah Jum’at selalu menyertakan kutukan/azab thp Ash’arit. Tapi, sekitar tahun 1063, Nizam al-Mulk, wazir Sultan Seljuk, Alp-Arslan, menghentikan hal tsb. Menurut ahli Islam Inggris, W. Montgomery Watt, al-Mulk juga “mulai menerapkan kebijakan yang mendukung dan memperkuat kaum Asy'ariyah thp ajaran-ajaran hukum dan teologis lain.” Tahun 1067, al-Mulk membuka sebuah universitas di Bagdad, ‘Al-Nizamiyya,’ untuk mempromosikan ajaran Ash’arit, disusul sedikitnya 8 universitas serupa tersebar antara Mosul hingga Herat. “Jadi,” simpul Watt, “Teologi Ash’arit menjadi doktrin Islam yang didukung pemerintah.” Tahun 1077, al-Ghazali mulai belajar di universitas Nizamiyya, Nishapur, hingga 1085. Di kemudian hari, ia menjabat sebagai rektor universitas Nizamiyya, Bagdad.

Dengan bantuan negara, pengaruh ajaran Ash’arit tersebar menjadi ajaran yang paling berpengaruh di kalangan Arab Sunni. Kesuksesan ini membawa pemahaman betapa sesatnya ajaran Mu’tazilla. Dalam Dalam bukunya ‘El Khutat El Maqrizia (Rencana Maqrizian)’, sejarawan Muslim terkenal, al-Maqrizi (w. 1442) memberikan penjelasan bagaimana Ash'arism sampai bisa menang, yang menarik adanya peran penting tokoh terkenal Saladin, yang merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salibi:
Mazhab (ajaran) Abu’l-Hasan al-‘Ash’ari menyebar di Irak sekitar 380 AH dan dari sana menyebar ke Syam [Levant] (Lara: sebelah utara semenanjung Arab berbatasan Laut Mediterania). Ketika raja Salahudin Ysuf bin Ayyub mengambil alih Mesir, hakim utamanya sadrudin ‘Abdul Mallik bin ’Isa bin Darbas al-Marani dan ia sendiri menganut ajaran ini. Di Damaskus disebarkan di bawah kekuasaan Nuruddeen Mahmood bin Zinki. Salahudin hafal teks yang ditulis Qutbudin Abu‘l-Ma‘ali Mas‘ud bin Muhammad bin Mas’ud an’Naysaburi, dan teks (Ash’ari) ini selanjutnya juga dipelajari dan dihafal keturunan Salahudin. Hal-hal ini membuat ajaran Ash’ari menonjol dan dianut masyarakat di masa pemerintahan mereka. Ini terus berlangsung hingga ke penguasa-penguasa selanjutnya dari Bani Ayyub dan selama pemerintahan raja-raja Turki (Mamluk). Abu ‘Abdullah Muhammad bin Tumart, salah seorang penguasa Maroko (al-Marghrib), menyukai popularitas ajaran ini saat berkunjung ke Irak. Ia menganut ajaran Ash’ari melalui Abu Hamid al-Ghazali dan sepulangnya ke al-Maghrib ia memicu konflik dan mulai mengajarkan serta melembagakan ajaran Ash’ari di kalangan masyarakatnya.

Al-Ghazali dan Serangan pada Filsafat



Seiring menguatnya pengaruh Ash’ari yang menekan ajaran Mu’tazilla, al-Ghazali meneruskan kritik Ash’ari thp filsafat itu sendiri. Al-Ghazali adalah tokoh besar yang dianggap sbg tokoh kedua terpenting setelah Muhammad. Ia dijuluki “Hujjat al-Haq/Bukti Islam” dan dipandang sebagai seorang Mujaddid (penyadar atau pembaharu) yang dijanjikan Muhammad akan datang setiap seratus tahun untuk memperbaharui ajaran Islam. Al-Ghazali dipuja hingga kini. Sebagian besar karena pengaruhnyalah paham Ash’arism dikukuhkan sbg paham Sunni Ortodoks dan filsafat diakhiri secara telak. Al-Ghazali juga yang mengintegrasikan Sufisme--sisi mistis Islam yang selama ini dicurigai telah mengabaikan ke-Islaman dan cenderung ke panteisme--ke dalam dunia ortodoks Sunni.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghazali
Serangan pada filsafat, yang dipimpin oleh al-Ghazali, secara alami tumbuh dari keberatan kaum Ash’ari thp teologi dan etika rasional dalam filsafat, karena penolakan mereka thp peran akal. Diluar masalah umum tersebut, al-Ghazali memaparkan secara spesifik keberatannya thp filsafat untuk memastikan bahwa filsafat tak akan dipakai lagi dalam dunia Islam.

Secara filosofis al-Ghazali bermaksud menunjukkan bahwa pemikiran para filsuf (terutama pemikiran Avicenna [981-1037], filsuf sekaligus dokter terkemuka di jamannya) tidak dapat dibuktikan secara akal. Lebih jauh lagi, ia ingin memperlihatkan bahwa filsafat dan akal tidak mampu memberikan kepastian intelektual. Ia bersikeras, filsafat tidak memiliki kebenaran dalam dirinya sendiri untuk ditawarkan. Dalam ‘The Incoherence of the Philosophers' (Tahafut al-Falasifa) ia berkata,


“Apa…yang kami tegaskan adalah para filsuf tak mampu mengetahui hal-hal ini lewat pemaparan yang masuk akal. Kalaulah hal-hal ini benar, para nabi sudah mengetahuinya melalui inspirasi atau wahyu; tapi argumentasi rasional tak dapat membuktikan mereka.”
Sebab itu, ia nyatakan, “Saya menolak sistem filsafat.” Setelah menggeser filsafat, al-Ghazali beralih ke Sufisme, yang diyakinimya memberi kepastian yang ia cari dalam pengalaman mistis.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Sufism

Dalam otobiografinya, ‘Deliverance from Error,’ al-Ghazali pertama mengecam paham Materialis, yang menyangkali Sang Pencipta, kemudian Naturalist, yang walau mengakui Pencipta, tapi menyangkal keabadian jiwa. Keduanya dibantah oleh penganut Theis; Socrates dan Plato. Aristoteles menyempurnakan Socrates dan Plato, “tapi ia tak dapat menghilangkan dari doktrinnya noda ketidaktaatan dan bida’ah yang menodai ajaran pendahulunya. Oleh sebab itu kita harus mempertimbangkan mereka semua sebagai kafir, termasuk para filsuf Islam seperti Ibn Sina [Avicenna] dan Al Farabi yang mengadopsi paham mereka.” Menurut al-Ghazali, filsafat Aristoteles dapat dibagi dalam tiga bagian, “pertama berisikan perkara-perkara yang digolongkan tak beriman, kedua tercemar bid’ah, ketiga kita berkewajiban mutlak menolaknya.”

Validitas matematika, logika dan fisika dianggap al-Ghazali tidak membahayakan agama, tetapi metafisika dituduh paling berbahaya karena merupakan “wadah yang menyuburkan ide-ide salah para filsuf.” Kesalahan-kesalahan ini direduksi dalam, “dua puluh dalil: tiga diantaranya tidak beriman, tujuh belas, sesat.” Tiga dalil yang paling buruk: (1) “Tubuh tidak dibangkitkan; roh yang akan diberi pahala atau dihukum; hukuman berupa hukuman spiritual bukan fisik”; (2) “Tuhan mengambil tanggung jawab universal, bukan spesifik. Ini jelas tak beriman” dan (3) “Mereka berpendapat alam semesta abadi takkan pernah berakhir.” Ketiga dalil ini, katanya, langsung berkontradiksi dengan ajaran Islam ttg kebangkitan tubuh; penderitaan fisik di neraka dan kenikmatan surga; Tuhan Mahatahu; dan penciptaan ex nihilo. Untuk setiap argumen, al-Ghazali menunjukkan ketidakpastian setiap pendapat berdasarkan akal.

Bila para filsuf berpendapat hanya jiwa yang abadi, al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan dapat menciptakan tubuh saat kebangkitan, seperti semula—serupa atau sebangun. Tuhan dapat dengan mudah mencipta ulang apa yang sudah ditiadakanNya. Keberatan yang salah atas kemungkinan ini berasal dari mereka yang tak menerima Tuhan sebagai penyebab langsung segala sesuatu. Dalam metafisika Ash’arit, kebangkitan tubuh tidak jadi masalah.

Para filsuf berpendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui hal2 yang bersifat universal bukan khusus, karena pengetahuan akan hal-hal khusus berimplikasi pada perubahan dalam Tuhan, hal yg tak mungkin. Dia tak mengetahui yang khusus, yang tergantung kondisi waktu dan tempat, karena ini adalah objek pengalaman indrawi yang Tuhan sebagai roh tak dapat ambil bagian. Sanggahan al-Ghazali, Tuhan Mahatahu, Ia pasti tahu yang khusus juga. Al-Ghazali membela doktrin Qur’an bahwa “partikel terkecil di surga dan di bumi tak luput dari pengetahuan Tuhan. Perubahan dalam objek pengetahuan tak berarti perubahan di Yang Maha Mengetahui, yang mengetahui segalanya secara bersamaan dalam keabadian.

Bagi Islam ortodoks, batu sandungan utama dalam Aristoteles adalah keabadian materi, yang diterima hampir semua filsuf Islam, kecuali al-Kindy. Al Farabi dan Avicenna menganut pandangan surga itu abadi dan perlu dibuat Tuhan. Bukan hanya perlu, dunia yang abadi mengkompromikan penciptaan ex nihilo, tapi tak terelakkan mengarah ke panteisme.

Dalam hampir seperempat bagian isi bukunya, ‘The Incoherence of the Philosophers,’ al-Ghazali membahas masalah ini. Ia secara khusus berkeberatan dengan gagasan dunia yang selalu ada sebagai pancaran Tuhan, seperti sinar dari matahari. Pendapat para filsuf yang didorong pertimbangan jika penciptaan dunia oleh Tuhan ada di suatu momen tertentu akan berdampak adanya perubahan pula pada Tuhan, hal yang mustahil. Sesuatu yang sempurna tak dapat berubah. Sebab itu, dunia harus selalu eksis, pancaran abadi dari Tuhan.

Bagi al-Ghazali, pernyataan para filsuf tsb bertentangan dengan kebebasan Tuhan untuk menciptakan atau tidak menciptakan; dengan kata lain, keabadian dunia adalah penyangkalan kehendak bebas Tuhan. Pendapat para filsuf dianggapnya tidak konsisten, karena mereka tak dapat menyangkal kemungkinan penciptaan ex-nihilo. Argumen Aristoteles akan keberadaan Tuhan sebagai Penyebab Awal rangkaian sebab akibat (causa prima) tidaklah mungkin. Argumen ini berantakan, kata al-Ghazali, karena jika dunia abadi, tubuh abadi, mereka tak perlu penyebab sehingga rangkaian tak terbatas jadi tidak mungkin; tapi dalam kenyataan, keabadian dunia memerlukan rangkaian tak terbatas sebab akibat, ayah dan anak, datang dan pergi.

Lalu, di bagian mana pada rangkaian tsb Penyebab Awal disisipkan? Tanya al-Ghazali. Jelas tak mungkin. Karenanya, para filsuf yang menganut paham ini tak dapat menunjukkan keberadaan Tuhan sebagai Penyebab Awal. Lagipula, tak dapat dikatakan Pencipta semesta memancar abadi dari Sang Pencipta. Bagaimana bisa ada hubungan sebab akibat antar dua keberadaan yang abadi?

Dengan silogisme ini, al-Ghazali menyingkirkan masalah keabadian dunia: “Rangkaian tak terbatas yang sebenarnya tak dapat diselesaikan dengan penambahan berturut-turut. Rangkaian sementara kejadian di masa lalu telah selesai dengan penambahan berturut-turut. Rangkaian sementara kejadian di masa lalu bukanlah tak terbatas.

Untuk sementara ringkasan singkat ini tidak memadai menjelaskan argumen tsb, hanya menunjukkan poin umum penekanan al-Ghazali ttg tidak layaknya akal untuk sampai pada kepastian. Ia berharap dapat memperlihatkan bahwa pendapat para filsuf bukanlah berdasarkan akal, tapi suatu bentuk lain dari iman, yang bertentangan dengan iman Islam berdasar wahyu, karena para filsuf “menentang prinsip-prinsip agama.” Tidak seperti iman Islam, iman para filsuf tak berdasar.

Judul-judul bab dlm ‘The Incoherence of the Philosophers,’ menggambarkan tujuannya menolak kemampuan para filsuf untuk membuktikan apapun. Contoh:

Bab:

IV. Menunjukkan ketidakmampuan mereka membuktikan keberadaan pencipta dunia;
V. Ketidakmampuan mereka membuktikan lewat argument rasional bahwa Tuhan itu satu, dan tak mungkin menganggap perlu dua keberadaan yang sama-sama tak berpenyebab.
…….
IX. Ketidakmampuan mereka membuktikan lewat argument rasional, ada penyebab atau pencipta dunia;
……. . . .
XII. Menunjukkan ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa Tuhan juga mengenali diriNya sendiri;
…….
XIV. Menunjukkan ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa surga itu hidup, dan patuh pada Tuhan lewat gerak berputarnya; ……
XVIII. Ketidakmampuan mereka untuk memberikan gambaran rasional teori mereka bahwa jiwa manusia adalah substansi spiritual yang eksis dalam dirinya. (Lara: judul bab yg sangat bersemangat, mungkin tidak perlu baca isi lagi)

Terlepas apakah al-Ghazali benar-benar mengalahkan para filsuf mengenai hal-hal ini (Averroes pasti membantahnya). Yang jelas, melalui ‘The Incoherence of the Incoherence,’ al-Ghazali sudah habis-habisan mencurahkan energinya.


Kemenangan Skeptisisme: Ketidakpastian Pengetahuan

Setelah memukul mundur para filsuf, tersisa pertanyaan: Lantas dari apa manusia bisa yakin dan bagaimana ia tahu? Pertanyaan menarik al-Ghazali yang ditujukan pada dirinya sendiri ini, tercantum dlm otobiografinya ‘Deliverance from Error.’ Dengan berani ia menceritakan “pengalaman saya saat membebaskan kebenaran yang hilang di sejumlah sekte dan pemikiran yang menyimpang, dan bagaimana saya telah berani mendaki dari level rendah kepercayaan tradisional ke puncak teratas kepastian.” (Lara: pernah terlibat sekte sesat). Al-Ghazali dengan sombong mengklaim bahwa, sebagai persiapan untuk posisi penting, ia menguasai sejumlah pengetahuan yang relevan: “Tak ada filsuf yang pahamnya belum saya kuasai, atau seluk beluk teologia yang doktrinnya belum saya pahami. Sufisme tidak memiliki rahasia yang belum saya tembus.” Ia adalah master dalam segala hal.

Al-Ghazali menceritakan bahwa ia meninggalkan “belenggu tradisi dan membebaskan diri dari kepercayaan turun-temurun” di usia muda. Ia kemudian menetapkan “pokok-pokok untuk memastikan apa yang merupakan dasar kepastian.” Ia mendefinisikan kepastian dengan cara yang luarbiasa: “kepastian adalah pengetahuan yang jelas dan lengkap akan sesuatu, pengetahuan seperti itu tidak menyisakan ruang bagi keraguan atau kemungkinan kesalahan dan dugaan, sehingga tak ada ruang bagi kesalahan mendapat pintu masuk ke pikiran.” Kepastian ini harus sangat padat hingga mukjizatpun tak dapat menggoyahkannya. “Semua bentuk pengetahuan yang tak memenuhi kondisi ini [ada celah keraguan, etc.] tak layak dipercayai, karena masih dalam jangkauan keraguan, dan apa yang rentan thp keraguan bukanlah kepastian.” Standar ini kelihatnnya membawa bom waktu bagi dirinya sendiri; sudah kodratnya makhluk hidup tak mungkin mencapai pengetahuan spt itu.

Timbul pertanyaan, darimana al-Ghazali mendapatkan kriteria kepastian semacam itu? Bagaimana mungkin sesuatu bisa sepasti itu? Serasa terdengar gaung pernyataan kepastian serupa. Datangnya dari sebuah sumber nyata dari tempat dimana ia bekerja dan ke tempat ia kembali dengan kemenangan. Jawabannya di awal surah kedua Qur’an: “Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”(Qur’an 2:2). Tampaknya, sesuatu yang tidak diragukan lagi adalah Al Qur'an. Tapi bagaimana seseorang bisa sampai pada kesadaran ini? Apa sarana untuk mencapai kepastian ini? Kelihatannya seseorang harus “menyadari akan Allah.” Kita akan segera melihat bagaimana al-Ghazali mengejar kesadaran ini dan menggapai jenis kepastian yang ia perlukan untuk memenuhi keinginannya sesuai Surah 102:5; “ jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin….”

Pandangan al-Ghazali ini begitu kaku sampai ia tidak lagi menelaah bidang-bidang pengetahuan lain untuk menguji apakah
teorinya ini memang tahan banting. Ia merasa tidak perlu karena teorinya, baginya, sudah tidak lagi bisa diganggu gugat. Skeptisisme dogmatis al-Ghazali begitu korosif, tak ada yang tahan thp daya penghancurnya. Tapi skeptisisme dogmatis itu sendiri adalah sejenis dogma, tidak lebih meyakinkan dibanding dogma-dogma lain. Dan nyatanya justru dogmanya kurang meyakinkan, karena premisnya tak bertahan bila diterapkan pada dirinya sendiri. [...]

Al-Ghazali mulai mencatat berbagai hal yang dia merasa dia ketahui dgn baik. “Saya kemudian memeriksa pengetahuan yang saya miliki dan menemukan tak satupun diantaranya mengandung tingkat kepastian yang saya deskripsikan. Dengan sedih saya refleksikan sbb: “Kita tak dapat berharap menemukan kepastian kecuali dalam hal-hal yang mengandung bukti dalam dirinya sendiri—yakni, persepsi indra dan prinsip-prinsip yang perlu.” Tetapi, ia menemukan bahwa kepercayaannya pada persepsi indra salah tempat. Contoh, “mata melihat bintang dan percaya ukurannya sebesar sekeping emas, tapi kalkulasi matematika membuktikan sebaliknya, lebih besar dari bumi. Kesan ini dan semua kesan lain yang dinyatakan indra benar, ternyata terbukti salah dan palsu dengan cara yang tak terbantahkan akal.” Sebab itu, “kepercayaan saya pada persepsi indra goyah.”

Dia melanjutkan, “Lalu aku bercermin pada diriku: ‘Karena aku tak dapat mempercayai bukti dari indraku, aku harus bersandar pada konsep intelektual berdasar prinsip-prinsip fundamental, seperti aksioma berikut: sepuluh lebih dari tiga. Penegasan dan penyangkalan tak bisa hadir bersamaan; sesuatu tak bisa diciptakan sekaligus eksis secara abadi; hidup dan musnah bersamaan, mutlak perlu sekaligus mustahil.’”

Berikutnya, adalah kepercayaannya thp prinsip-prinsip mutlak, termasuk prinsip kontradiksi. Tapi keraguan sistemiknya melahirkan keberatan sbb: “Siapa yang dapat menjamin bahwa bukti akal lebih dapat dipercayai dibanding bukti indra? Anda percaya pada kesaksian kami sampai hal tsb dikontradiksi oleh akal anda, jika tidak, anda akan terus mempercayainya (kesaksian kami) hingga hari ini. Yah, mungkin di atas akal ada hakim yang jika hadir, akan memvonis kesalahan argumentasi akal. Dan jika pihak ketiga seperti itu tidak hadir, bukan berarti ia tidak ada.

Al-Ghazali bertanya-tanya, apakah ini tidak seperti ketika “saat tidur lelap anda mengira mimpi anda nyata? Setelah terjaga, anda sadar—itu cuma khayalan. Lantas, siapa yang bisa menjamin kebenaran gagasan yang diperoleh dari indra dan akal saat anda terjaga? Dalam keberadaan saat ini mungkin nyata; tapi mungkin juga anda masuk kedalam keberadaan lain dengan kondisi serupa saat tertidur. Dalam lingkungan baru tsb anda menyadari kesimpulan akal hanyalah khayalan.

Sudah tentu spekulasi semacam ini hanya mengarah pada omong kosong dan bikin macet pikiran. Setelah menyingkirkan keandalan indra dan membuang prinsip kontradikasi, semua wacana macet total. Tak mengherankan, hal ini berakibat kekacauan mental atau krisis psikologis pada al-Ghazali. “Keadaan tak menyenangkan ini berlangsung selama dua bulan, selama itu aku—tidak secara eksplisit atau secara profesi tapi secara moral dan esensi—menjadi skeptis total.” Lalu “Tuhan akhirnya berkenan menyembuhkanku dari penyakit mental ini; memulihkan kewarasan dan keseimbangan pikiranku [...]. Aku berhutang budi atas keselamatanku, bukan pada serangkaian bukti dan argumen, tapi pada cahaya Tuhan yang menembus hatiku—cahaya yang menerangi ambang berbagai pengetahuan.” Al-Ghazali menyatakan, ia tidak sembuh oleh akal tapi oleh kasih karunia.

Setelah kembali waras, ia mulai memeriksa berbagai pernyataan berturut-turut dari para pencari kebenaran. Pertama, teolog ortodoks. Mereka “menjaga kemurnian keyakinan ortodoks dari semua inovasi sesat,” tapi mereka memiliki keterbatasan. “Upaya utama mereka adalah mengekspos kontradiksi dalam lawannya dan membantah argumen lawan dengan premis-premis yang sudah mereka terima. Metode argumentasi ini bernilai kecil bagi orang yang hanya menerima kebenaran yang sudah terbukti. Teologi skolastik tak bisa memuaskanku atau menyembuhkan penyakit yang kuderita.”

Selanjutnya, para filsuf. Kita telah menyaksikan keberatan al-Ghazali thp para filsuf dalam ‘The Incoherence.’ “Mereka semua, tak peduli jenisnya, ditandai dengan cap ketidaksetiaan dan tak beragama.” Ia menyimpulkan, demi kelangsungan umat manusia, “pembacaan karya-karya filsafat yang penuh khayalan dan kesia-siaan seharusnya dilarang, seperti halnya pinggiran sungai yang licin seharusnya dilarang bagi orang yang tak bisa berenang.” Namun demikian, al-Ghazali telah menggabungkan logika silogisme Aristoteles ke dalam teologinya, yang punya efek kekal thp kalam.

Solusi Mistisisme Sufi


Terakhir, al-Ghazali mengambil aliran Sufi dan menjelaskan tujuan mereka: “Untuk membebaskan jiwa dari penindasan tirani hawa nafsu, menyelamatkannya dari kecenderungan yang salah dan naluri jahat. Untuk memurnikan hati, harus ada ruang bagi Tuhan dan seruan doa bagi namanya yang suci.” Tidak perlu banyak rasio untuk latihan spiritual. “Menjadi jelas bagi saya, tahap akhir tak dapat dicapai oleh instruksi semata, tapi dengan transportasi, ekstasi dan transformasi keberadaan moral.” Sebab itu, kata al-Ghazali, “Aku melihat sufisme lebih bersandar pada pengalaman daripada aturan-aturan, dan apa yang jadi kekuranganku masuk ke ranah ekstasi dan inisiasi, bukan ranah instruksi.

Mengetahui dan mengikuti jalan ini membuktikan dua hal yang berbeda, dan perbedaan antara keduanya lagi-lagi menimbulkan krisis spiritual berikutnya dalam kehidupan al-Ghazali. Meskipun ia “melihat bahwa satu-satunya syarat kesuksesan adalah mengorbankan kehormatan dan kekayaan serta memutuskan ikatan dan keterikatan duniawi,” ia tak bisa melakukannya. Ia bertekad meninggalkan jabatan mengajar bergengsi di Baghdad, tapi gagal. Akhirnya, “Tuhan menghalangiku merantai lidah dan berhenti mengajar. Sia-sia kuinginkan, bagi kepentingan murid-muridku, untuk terus mengajar, tapi lidahku jadi kelu. Keheningan yang kukutuk telah melemparku ke dalam keputusasaan yang amat sangat; perutku lemah; aku kehilangan semua selera; bahkan tak dapat menelan sepotong roti atau minum setetes air.”

Akhirnya ia pulih dari keadaan stress berat ini yang tidak mampu diobati dokter, hanya dengan “berlindung pada Allah sebagai pria di ujung dirinya sendiri tanpa sumber daya.” Ia kemudian mengundurkan diri dari Universitas Nizamiyya Baghdad, tahun 1095, meninggalkan perbekalan bagi keluarganya, menghibahkan yang lain dan hidup berkelana sebagai pertapa ke Syria, Palestina, dan akhirnya Mekkah. Ia melaporkan: “Sepuluh tahun berlalu dengan cara ini. Selama periode meditasi, disingkapkan padaku hal-hal yang mustahil diceritakan. Yang dapat kukatakan untuk mendidik pembaca yakni: Aku belajar dari sumber yang pasti bahwa para Sufi adalah pelopor yang benar dijalan Allah; tak ada yang lebih indah dari kehidupan mereka, atau patut lebih dipuji dari aturan yang mereka jalani, atau lebih murni dari moralitas mereka.” Tahun 1105, al-Ghazali kembali ke kota kelahirannya, Tus (Iran timur), dimana ia mendirikan asrama sufi. Tahun 1106, ia kembali mengajar, kali ini di universitas Nizamiyyah Nishapur, atas permintaan perdana mentri pangeran Seljuk, Khurasan. Tahun 1109, ia pensiun dan kembali ke Tus, dan meninggal tahun 1111.

Arogansi dalam karya-karya al-Ghazali, seperti klaim berlebihan dalam ‘Deliverance from Error’ (al-Munqidh min al-Dalal) sesungguhnya bagian dari strategi membela wahyu dan kekolotan (orthodoxy) Sunni. Dengan memperlihatkan bahwa tak satupun argumen rasional dalam isu-isu yang penting dapat dibuktikan, al-Ghazali terdorong memilih jalan wahyu sebagai satu-satunya otoritas yang tersisa, lalu memperkuatnya dengan mistisisme. Pengalamannya dgn aliran Sufi menyatakan bahwa melalui pengalaman paranormal/supra-rasional kepastian Qur’an dapat dikonfirmasi.

Menjelang akhir hidupnya, al-Ghazali menyelesaikan ‘Deliverance from Error’ dengan menuliskan doa spiritual indah yang membantu menjelaskan mengapa al-Ghazali mendapat penghormatan mendalam di dunia Islam hingga saat ini. Tertulis, “Aku berdoa pada Tuhan Yang Mahakuasa, agar menempatkan kita diantara orang-orang pilihanNya, orang-orang yang ditunjukkanNya jalan keselamatan, yang diberiNya semangat agar tidak melupakanNya, disucikan dari semua kenajisan, sehingga tak ada yang tertinggal dalam diri mereka kecuali Dia; ya, Dia tinggal selamanya dalam diri mereka, sehingga tiada lain yang mereka sembah hanya Dia.” Bahkan para pengkritiknya, seperti Ibn Taymiyya, tak meragukan ketulusannya.

Perjalanan al-Ghazali dalam tasawuf/sufisme (dari kata ‘Suf’ bahan wol kasar untuk pembuatan baju kaum Sufi) bukan tanpa bahaya. Ulama sufi ortodoks memandang tasawuf dengan curiga karena dikembangkan melangkahi tatacara yg diimani dalam pembersihan spiritual ke tatacara yg tidak lazim, diluar pemahaman biasa. Aturan-aturan kaku Islam Sunni dan penekanannya pada ibadah ritual wajib malah membuat orang tertarik pada ajaran Sufi. [...]

Tasawuf lahir sebagai reaksi atas penggambaran Tuhan yang steril secara spiritual. Menawarkan sosok Tuhan yang lebih personal/akrab dan penuh kasih. Dalam tasawuf, umat mencari dan mengaku menemukan Tuhan yang penyayang dan penuh kasih, yang mengenal mereka dan denganNya mereka memiliki pengalaman pribadi—bahkan ada yang berani bilang, mereka mencapai 'kesatuan' (dengan Tuhan). (NAH LOH! KOK JADI MIRIP KRISTEN???  ali5196)

Al-Ghazali menuliskan pemahaman Tuhan yang penuh kasih dan Tuhan yang steril menurut ulama Sunni:
“Kasih akan Tuhan adalah jangkauan terjauh dari segala perhentian, puncak semua pencapaian tertinggi, dan tak ada perhentian lain selain kasih, kecuali buah kasih dan konsekuensinya….tak ada perhentian yang tak didahului kasih, seperti penyesalan, panjang sabar dan penyangkalan diri…. Beberapa ulama menolak kemungkinan Tuhan yang kasih, dan bilang kalau hal tsb tak berarti apa-apa selain ketaatan pada Tuhan, dan mengagungkanNya, sementara Tuhan yang kasih sebenarnya tidak ada, hanya metafora atau di situasi yang sangat tak lazim. Dan karena mereka menolak Tuhan yang kasih, mereka juga menolak segala bentuk kedekatan denganNya, kerinduan padaNya, atau sukacita karena percaya padaNya dan segala konsekuensi lain dari kasih. Oleh karena itu kami harus menyebutkan dalam buku ini, bukti Hukum (suci alias Quran--ali5196) terhadap kasih, serta mengajukan realita dan bentuknya.”
Perlu diperhatikan, al-Ghazali hanya berbicara ttg kasih manusia pada Tuhan, bukan kasih Tuhan pada manusia.
Kasih adalah atribut problematis bagi Allah, karena menempatkan Dia dalam situasi saling tergantung. Bagaimana mungkin Keberadaan Yang Mahatinggi mengasihi makhluk jauh di bawahNya? BagaimanaTuhan bisa mengasihi? Tradisi sufi—diluar batas yang diijinkan Sunni orthodoks—mengungkapkan dengan indah kerinduan Tuhan pada manusia: “Akulah harta tersembunyi, tak diketahui. Aku ingin diketahui. Dan kuciptakan berbagai makhluk serta membuat diriKu dikenali mereka; olehKu mereka mengenaliKu.” NAAAAAhhhh ... sisi tasawuf ini TIDAK diijinkan al-Ghazali.

“Kalau ada kasih,” kata al-Ghazali, “dalam diri kekasih pasti ada rasa ketidaklengkapan, sebuah pengakuan bahwa seseorang yang dicintainya itu diperlukan sebagai realisasi kelengkapan diri.” Bagi Tuhan ini mustahil, karena Ia lengkap dalam diriNya. “Kasih Tuhan berarti Ia melepaskan tirai yang menyelubungi hati manusia; bahwa Tuhan menghendaki dan telah menghendaki, dari keabadian bahwa manusia harus mengenal Dia, dan bahwa Tuhan yang menyebabkan manusia mengenalNya. Tuhan tak menjangkau manusia. Ia hanya menyebabkan manusia berbalik menghampiriNya; tak ada perubahan pada Tuhan; tak ada perkembangan di diriNya; tak ada yang kekurangan yang perlu dilengkapi di diriNya. Ia hanya menyebabkan manusia datang padaNya.''

Meskipun banyak kutipan dalam Qur’an ttg kasih Tuhan bagi hamba yang taat, ini harus dipahami sebagai pilihan Tuhan, ungkapan kehendakNya. Ia mungkin lebih memilih manusia yang taat padaNya, tapi bukan mengasihinya. Gagasan kasih, agape umat Kristiani, kasih Ilahi yang melimpah tak bersyarat pada umat manusia, sama sekali asing bagi versi Islam al-Ghazali—tapi tidak bagi sufisme/tasawuf.

Ada dua masalah lain yang tampaknya menempatkan mistisisme sufi diluar batas sunni ortodoks.

Pertama, paham monisme, dimana penganut Sufi melebur dan menjadi satu dengan Tuhan. Ini adalah penghujatan. Manusia bukan Ilahi dan tak dapat menjadi Ilahi dan menyatu dengan Tuhan. Kedua, pengetahuan otoritatif yang di klaim sufi berasal dari pengalaman unik mereka, dan mereka menempatkannya di atas syariah. Klaim-klaim ini mencapai puncak keekstrimannya dalam diri tokoh seperti Abu Yazid al-Bistami(w.875)http://en.wikipedia.org/wiki/Bayazid_Bastami, ialah yang pertama kali mewujudkan bahaya melalui pernyataannya: “Lalu Ia mengeluarkanku dari kepribadianku masuk ke dalam diriNya ....Dan aku berkata dengan lidah kemuliaanNya, ‘ada apa denganku Tuhan?’ Ia berkata: ‘Aku milikMu melalui Engkau; tidak ada Tuhan selain Engkau.’” Waktu al-Bistami mengklaim peniadaan diri dalam pertemuan penuh suka cita dengan Tuhan, ia juga menyiratkan identifikasi diri dengan sang Ilahi dalam seruannya: “Kemuliaan bagiku, betapa mengagumkam diriku,” dan “Dalam jubah ini tiada yang lain selain Allah.” Mansur al-Hallaj (c.858-922) dalam salah satu trance-nya malah mengigau: “Akulah kebenaran,” sebuah klaim mengejutkan, saat disadari bahwa “kebenaran/al haqq’ adalah salah satu dari 99 nama Allah. Tidak seperti Sufi lain yang bertaqqiya/berpura-pura gila untuk menghindari kecaman Sunni, al-Hallaj bersikeras ia sadar sepenuhnya. Ia juga bicara terbuka di depan umum: sebentuk esoterisme (ajaran misterius yang dipahami hanya segelintir orang) bagi publik. Pengadilan luarbiasa di Baghdad menganggap pernyataannya sebagai sebuah klaim menjadi Tuhan, dan akhirnya ia mengalami eksekusi paling mengerikan karena dinyatakan sbg penghujat.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj


----------------------Catatan tambahan dari http://www.muslimhope.com/Sufis.htm
Sufism is an outgrowth of Islam, but they have a higher regard for the teachings of Jesus than most Muslims. At one extreme, a book by the Sufi master Javad Nurkhbhsh of the Nihmatullahi order called Jesus in the Eyes of the Sufis, says that Sufis look to Jesus much more than to Mohammed for inspiration, guidance and as their example! Most Sufis would not say this though, and all Sufis do not recognize that Jesus is any more divine than anyone else can be.

TERJEMAHANNNYA: Sufisme adalah sempalan Islam yang, dibandingkan dgn sebagian besar Muslim, lebih menaruh hormat kepada ajaran Yesus. Contoh ekstrim, seorang tokoh Sufi, Javad Nurkhbhsh dari Ordo Nihmatullahi menyebut Yesus = Mata Sufi, dan mengatakan bahwa untuk mencari inspirasi, kaum Sufi lebih suka menggali Yesus, sebagai petunjuk dan contoh mereka, daripada Muhammad. Kebanyakan Sufi tidak akan mengatakan ini dan semua pengikut Sufi-pun lucunya tidak mengakui bahwa Yesus lebih ilahi dari siapapun.

OK, demikian selingan pesan sponsor!  --------------------

Masalah pengetahuan khusus atau esoterik Sufi diwujudkan dalam sebuah pernyataan al-Tustari (w.896): “Ke-Tuhanan memiliki rahasia yang, jika diwujudkan, akan menghancurkan kenabian; kenabian memiliki rahasia yang, jika diungkapkan, akan meniadakan pengetahuan; dan pengetahuan memiliki rahasia yang, jika diwujudkan Tuhan, akan menjadikan hukum tak berarti.” Menjadikan hukum tak berarti, persis itulah yang ditakuti ulama—penghapusan hukum Ilahi, hukum yang mendasari terbentuknya umat Islam, dimana ada sesuatu yang diklaim lebih superior. Apa lagi yang lebih berbahaya? Para ulama mengamati, beberapa Sufi tertentu melepaskan diri dari tata cara ibadat Islam dengan alasan mereka telah melampaui ritual semacam itu. Bahkan beberapa mengklaim bahwa kebenaran (al haqq) yang telah mereka capai, melampaui perbedaan keyakinan: “Aku bukanlah Kristen, Yahudi atau Islam.” Lebih buruk lagi, “Sampai orang percaya dan orang tak percaya jadi serupa, tak seorangpun akan jadi Islam sejati.”

Juga, penekanan sufi pada pencarian akan Tuhan secara pribadi melalui kontemplasi tidak sejalan dengan ide ummat (komunitas orang percaya) Islam sebagai tatanan politik/agama/sosial untuk kemaslahatan (kepentingan) ummat. Keselamatan pribadi tidak boleh diutamakan untuk mewujudkan proyek Islam yang universal.


Intuisi Menggantikan Akal


Walau demikian, al-Ghazali mengambil resiko terjun ke dalam mistisisme Sufi karena kelihatannya tidak ada wacana rasional yang tersisa baginya. Tak heran ia berbalik ke arah batin dan menganut mistik, walau orang dapat saja bilang ia tak sepenuhnya melarikan diri ke mistisisme dalam arti mengurung diri di dalamnya.

Karena akal bukanlah jalur terpercaya untuk sampai pada realitas atau Tuhan, bagaimana mengetahui kebenaran wahyu? Apa yang dimiliki al-Ghazali setelah menghancurkan para filsuf dan memblokir jalan akal ke realitas? Meskipun skeptisismenya kadangkala terlihat sebagai suatu bentuk skeptisisme David Hume (filsuf Scotland, 1711-1776), agnotisme moral al-Ghazali tidak mencakup Tuhan dan wahyu. Bagi al-Ghazali, menurut Fazlur Rahman, “hanya pengetahuan yang secara langsung berguna untuk kehidupan di akhirat, layak menyandang makna kebenaran. Pengetahuan ini sepenuhnya esoterik (hanya dipahami segelintir orang) dan mengeksplorasi kedalaman pertemuan Sufi dengan Tuhan.” Sebuah kesimpulan dari sebagian ayat Qur’an 102:5 : “jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin…” yang ditafsirkan menjadi “kamu tak akan dipalingkan/dibingungkan dari persiapan untuk kehidupan di akhirat.”

Setelah mendapatkan kepastian pengetahuan tsb, pikiran al-Ghazali sekarang tetap. *

Bukan hal yang aneh, seseorang yang berpikir bahwa penciptaan Tuhan tidak dimediasi oleh penyebab sekunder—tiap momen hidup karena tindakan langsung Tuhan—akhirnya berkesimpulan bahwa pengetahuan yang pasti datang dari pengalaman, tanpa perantaraan kecerdasan. Tuhan menciptakan tanpa perantara, jadi semua pengalaman akan Dia pasti langsung. Intuisi menggantikan akal. Yang dapat dilakukan akal hanyalah membawa pada kenyataan ini. Yang dapat diketahui akal hanyalah keterbatasan akal itu sendiri. “Seseorang perlu mengetahui bahwa ia telah mencapai suatu titik di luar kecerdasan,” tulis al-Ghazali, “dan dari sana terbuka baginya penglihatan yang menyingkapkan segala yang tak terlihat dan hanya segelintir yang mencapai pemahaman ini.”


Dan apa yang disingkapkan?

“Mereka melihat dalam keadaan sadar, malaikat dan jiwa para nabi; mendengar suara dan nasihat bijaksana mereka. Melalui kontemplasi bentuk dan gambaran surgawi ini, derajat mereka naik ke ketinggian yang tak tergapai bahasa manusia, yang bahkan tak bisa ditunjukkan (tanpa kata) tanpa jatuh ke dalam kesalahan besar dan tak terelakkan. Tingkat kedekatan Ilahi yang mereka capai, ada yang dianggap sementara orang sebagai percampuran keberadaan (haloul), ada yang dianggap sebagai identifikasi (ittihad), ada pula yang dianggap sebagai penyatuan intim (wasl). Tapi semua ekspresi ini salah, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam tulisan berjudul ‘The Chief Aim.’ (Tujuan Utama), Barangsiapa yang telah mencapai tingkat tsb seharusnya membatasi diri mengulangi ayat—Apa yang saya alami, seharusnya tidak saya coba katakan; Katakanlah saya bahagia, tapi jangan tanyakan hal lainnya. Singkatnya, dia yang tidak sampai pada intuisi kebenaran ini dengan ekstasi hanya mengenal nama inspirasi…. Kondisi ini yang mungkin disebut para Sufi sebagai ‘ekstasi’ (hal), keadaan dimana seseorang terserap ke dalam dirinya dan berhentinya persepsi indra. Mereka memiliki visi jauh diluar jangkauan intelektual."

“Di luar jangkauan intelektual” dalam arti “tak tergapai bahasa manusia “ adalah kuncinya. Pengetahuan yang pasti adalah supra-rasional. Dalam ‘Deliverance from Error,’ al-Ghazali menjelaskan, inspirasi atau penyingkapan ini “milik kategori cabang pengetahuan yang tak bisa dicapai akal,” dan “persepsi atas segala hal yang tak bisa dicapai akal hanya salah satu ciri khas inspirasi.” Manusia harus mencapai taraf yang lebih tinggi dari realitas “agar ia dapat merasakan sesuatu yang tak terlihat, rahasia masa depan serta konsep-konsep lain yang tak dapat diakses akal; sebagaimana konsep akal tak akan bisa diakses dengan pemilahan dan apa yang dirasakan oleh pemilahan indra.

Lantas, apa titik pertemuan hubungan “di luar intelektual” antara manusia dengan Tuhan? Seperti yang kita lihat, al-Ghazali berulangkali menekankan bahwa itu bukan akal. Tak ada Logos disini, atau disana. Jika bukan akal yang merupakan wadah bagi pesan Tuhan, lalu apa? Bagaimana manusia bisa mengenal Tuhan yang jauh melampaui manusia? Jika manusia dapat mengenal Tuhan, pasti ada sesuatu yang menghubungkan dengan ke-IlahianNya. Dalam ajaran Judaisme dan Kristen, ini bukan masalah, karena dalam Kitab Kejadian dinyatakan bahwa manusia diciptakan “serupa dan segambar dengan Allah” (Kej.1:26) dan dalam Kitab Kebijaksanaan (‘The Book of the Wisdom of Solomon’) dinyatakan bahwa, “Tuhan membentuk manusia menjadi abadi; gambaran keberadaanNya sendiri Ia membuatnya” (Wisdom 1:13-15). Tapi hal ini dianggap penghujatan oleh Islam Sunni ortodoks. Doktrin tanzih, dengan tepat menyatakan bahwa tidak ada hubungan (Tuhan dan manusia). Ada sebuah hadist yang tampaknya menggemakan isi Kitab Kejadian: “God created man in His image.” Tapi Bapa Samir Khalil Samir menunjukkan “Kenyataannya, makna ‘his’ dalam Islam adalah ‘in the image of man’ (dalam gambaran manusia).” Jadi, bila dibaca secara lengkap, “Tuhan menciptakan manusia menurut gambaran manusia.” Bagaimana manusia dapat berhubungan dengan Tuhan jika tak ada kesamaan diantara mereka?

Kemenangan Kehendak

Jelas, sumber hubungan bukanlah akal, karena akal tidak ada dalam Tuhan dan suatu kemampuan tingkat rendah dalam manusia. Tidak mengejutkan bahwa Ash’arit, yang telah mereduksi Tuhan ke kehendak murni, menemukan kehendak sebagai satu-satunya titik hubungan antara Tuhan dan manusia. Bagi al-Ghazali, menurut ilmuan Arab, De Lacy O’Leary, “Elemen penting dari jiwa [manusia] bukanlah intelegensi yang berkaitan dengan rangka tubuh, tetapi kehendak: seperti halnya Tuhan, tidak dikenal sebagai pikiran atau intelegensi, tetapi sebagai kemauan/kehendak yang merupakan penyebab penciptaan.”

Duncan MacDonald memberikan dasar analisis yang sama: “konsep utama al-Ghazali adalah volo ergo sum [Saya berkehendak; itulah saya]. Bukan pikiran yang mengesankan dia, tapi kemauan. Dari pemikiran ia tak bisa mengembangkan apapun; dari kehendak dapat hadir seluruh semesta. Jika Tuhan, Sang Pencipta, adalah Kehendak, demikian pula jiwa manusia. Karena ada kesamaan, sebab itulah manusia dapat mengetahui dan mengakui Tuhan.”

Inilah bentuk hubungan yang dapat ditemukan di tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam pengalaman Sufi. Dalam ‘Gem of the Qur’an,’ al-Ghazali menyatakan bahwa tingkat yang lebih tinggi mengungkapkan “sesungguhnya, tak ada yang eksis, kecuali Tuhan dan tindakanNya, untuk tujuan apapun selain Dia dan tindakanNya.” Kehendak murni menghasilkan tindakan murni. Dalam ‘The Niche for Lights,’ al-Ghazali menulis bahwa mistik/kebatinan “dapat melihat bahwa tidak ada kehidupan di dunia selain Tuhan dan ‘Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah’ (Qur’an 28:88), bukan berarti akan binasa di suatu waktu tertentu, tapi lebih ke binasa secara kekal dan selamanya, dan tak dapat dipahami sebaliknya. Sesungguhnya segala sesuatu, selain Dia, dalam keberadaannya tak ada yang benar-benar eksis…..Sebab itu, tiada yang lain kecuali Tuhan Yang Mahakuasa.” Paul Valery (1871-1945) menyindir pernyataan ini, “Tuhan menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, tapi ketiadaan itu terus berlangsung.”

Terkait dengan dirinya sendiri, tak ada yang benar-benar eksis. Ini bukan hanya akibat doktrin penciptaan ex nihilo Islam tapi juga akibat paham monisme teologi Islam.

Al-Ghazali mungkin sedikit nyerempet pada panteisme, dimana Sufi telah jatuh dan terus terbenam, tapi memang mengherankan betapa halus/tipisnya batas antara mengatakan bahwa ‘tiada yang eksis kecuali Tuhan’ dengan mengatakan ‘segala yang eksis adalah Tuhan.’ G.B. MacDonald mengamati, “hal itu adalah bagian dari ironi sejarah teologi Islam yakni penekanan yang sangat pada kesatuan transendental hingga mengarah pada panteisme.” W.H.T. Gairdner menyebut Islam, “sebuah panteisme kekuatan murni.” Penekanan berlebihan pada ‘God is One’ (Tuhan itu satu) dengan mudah berubah menjadi ‘God as the only One’ (Tuhanlah satu-satunya), yang lantas selalu memasukkan segala sesuatu ke dalam ‘the only One,’ tidak ada yang di luar Dia. Yang tersisa adalah keduanya, baik monisme atau panteisme.


Hilangnya Realitas
diterjemahkan oleh lara, diperiksa oleh ali5196

Gairdner menjelaskan logika di balik dilemma ini: “Pada kenyataannya, dalam sejarah pemikiran Islam, orang yang mengalami tanzih mutlak [transenden murni], secara positif membenarkan bahwa hanya Allah yang eksis, dan eksistensi lainnya hanyalah ilusi. Karena pemikiran ini Tuhan diberi nama Al Haqq m yaitu satu-satunya yang Nyata. Maksudnya, yang lain tidak nyata atau tidak eksis. TAPPIIIIII lucunya, disadari atau tidak, pemikiran ini justru berbau panteisme, keyakinan yang mirip filsafat panteisme India dimana semua yang terlihat adalah maya [ilusi]. Jadi, dengan mudah tanzih murni terjebak ke sisi ekstrim yang berlawanan. Jadi, tauhid bukan hanya bermakna ‘God the One’ (Tuhan yang Satu), tapi juga ‘the Only One’ (satu-satunya)—yang berarti menolak realitas atau bahkan eksistensi fenomena apapun.” Dalil metafisika yang berlaku yaitu, sesuatu itu nyata apabila ia menjadi penyebab keberadaannya sendiri. Karena hanya Tuhan yang menjadi penyebab keberadaanNya sendiri, hanya Dia yang eksis, dan ... ciptaanNya hanyalah ... ilusi.

[...] Pengaruh panteisme ini akhirnya menyusup kedalam doktrin tanzih Islam, walau sebenarnya dilarang Qur’an. Sungguh ironis, al-Ghazali--dalam upayanya mengenyahkan filsafat (Aristoteles) dari Islam Sunni karena dianggap menganut panteisme---justru melahirkan panteisme!!

Pendekatan tasawuf al-Ghazali penting bagi topik ini karena ketiadaan realitas dalam tasawuf membuat akal jadi tidak penting, yang diutamakan hanyalah hal-hal di luar akal—Al Haqq. Selain itu, hal diluar akal itu tak dapat dikomunikasikan. Tak dapat diajarkan. Di luar bahasa (manusia-lara). Pengalaman spiritual al-Ghazali tidak terlukiskan dan sifatnya pribadi.

Hans Jonas, ahli Gnostisisme Jerman, mendiagnosa ajaran al-Ghazali ini sebagai Gnostik: “Gnostik erat kaitannya dengan pengalaman penerimaan wahyu melalui iluminasi batin yang kemudian menggantikan argumen dan teori rasional.” Jadi walau al-Ghazali mencerca Gnostisisme, patut dicurigai apakah ia sendiri tidak terlibat didalamnya. Dalam ’The Niche for Lights,’ ia bicara ttg ‘keadaan’ mistik al-Hallaj dan ‘keadaan tak sadar’ lain, serta ekspresi yang mereka pancarkan dalam keadaan taksadar—“di balik kebenaran tsb,” kata al-Ghazali, “juga terletak rahasia yang terlarang untuk dimasuki.” Nah, jangan-jangan al-Ghazali telah melintasi wilayah terlarang ini?

Dalam ‘The Niche for Lights,’ al-Ghazali menyatakan bahwa akhir pencarian kebenaran adalah “sebentuk Eksistensi yang melampaui SEMUA pemahaman manusiawi….transenden dan terpisah dari setiap karakter yang telah ada.”

W.H.T. Gairdner, memberikan ulasan tajam ttg al-Ghazali: “Dalam diri Ghazali, bertemu bentuk paling ekstrim Agnotisme dan Gnostisisme; sebab, seperti yang ia katakan, ‘segala sesuatu yang keluar dari suatu bentuk ke-ekstriman beranjak pindah ke bentuk ke-ekstriman lain yang berlawanan.’ Baginya ‘Creed because Incredible’ (Percaya karena sesuatu yang tak dapat dipercayai) serupa dengan ‘menjadi seorang Gnosis karena Agnostic.’ [...] Ghazali percaya akan Tuhan karena pengalaman mistiknya, mi’raj pribadinya. Mungkin ini tidak rasional, tapi itulah pengalamannya.

[...]

Dengan mengasimilasi tasawuf ke dalam Sunni ortodoks, Ghazali dianggap telah me-revitalisasi Islam. Meskipun al-Ghazali telah nyrempet kedalam Gnostisisme, alasannya memasukkan tasawuf dalam Islam Sunni adalah: “Sufisme tidak memiliki muatan atau tujuan kognitif (pemikiran), hanya kebenaran iman.” [...] Meskipun demikian, para ulama tetap mencurigai Sufisme, apalagi karena penganut Sufi paling terkenal, Ibn al-Arabi (w.1240) menyebarkan ajaran yang sepenuhnya monistik dan panteistik.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Arabi


Melampaui Akal

Poin utama disini adalah, penggabungan Sufisme tidak meningkatkan status akal dalam Islam Sunni, karena pencapaian ke Tuhan adalah lewat jalan diluar akal/pengalaman mistis. “Camkan di hati kalian, bahwa pengetahuan Nabi (Muhammad didapatkan) tanpa buku, tanpa guru, tanpa instruktur,” kata Jalal al-Din Rumi, penyair besar Sufi Persia abad ke-13. [...] Nah, lengkaplah pembentukan Islam Sunni: ketergantungan absolut Ash’arit pada kehendak Tuhan kini dicampur dengan kecenderungan Sufi yang tidak mementingkan hal2 duniawi. Akibatnya, terbentuklah sifat ketidakpedulian/kepasifan thp urusan duniawi.

Jadi akal yang tadinya dibunuh oleh kaum Asharit, kini semakin di-injak² oleh Sufisme. Sudah dbunuh, di-injak2 pula! [...] Akibatnya, manusia dibiarkan tanpa sarana untuk mengemukakan pertanyaan yang lebih mendasar, sebagaimana yang Mu’tazila coba lakukan: Apakah wahyu itu sendiri masuk akal? Al-Ghazali menghancurkan standar ini dengan menetapkan suatu jawaban atas pertanyaan vital ini.

Dalam ‘Deliverance from Error’, al-Ghazali menyatakan: “Satu-satunya fungsi akal adalah untuk mengajarkan fakta itu [bahwa para nabi adalah dokter luka batin], bersaksi ttg kebenaran nubuat dan menyadari ketidakmampuannya untuk memahami nubuat; nubuat membimbing kita seperti orang buta dituntun temannya dan seorang pasien bingung dibawa ke dokter yang pengasih. Sejauh itulah peranan kecerdasan, diluar itu tidak diperkenankan.” Sudah jelas, al-Ghazali menolak pendapat Mu’tazilla bahwa tidak ada iman tanpa akal, atau iman memerlukan persetujuan rasional, karena bagi al-Ghazali akal itu ‘buta.’

Selanjutnya, al-Ghazali memuji ibadah haji—kewajiban ibadah ke Mekah—justru karena ibadah tsb diluar akal. Ia menyoroti irasionalitas ibadah haji untuk memperkuat kemandirian wahyu sebagai pembenarannya. Dalam ‘The Revival of the Religious Sciences’, ia menulis, [b]“Ibadah haji adalah hal paling TIDAK rasional dalam Islam. Kita melakukan gerakan-gerakan dan ritual yang benar-benar irasional. Karena itu, ibadah haji adalah kesempatan paling baik untuk menunjukkan keimanan kita. Akal sama sekali tidak dapat memahaminya, hanya iman yang membuat kita melakukan tindakan tersebut. Kepatuhan buta pada Allah adalah bukti terbaik Islam.”[/b]

Jadi, menurut Al Ghazali, semakin tidak rasional, semakin Islami!!!

Menurut al-Ghazali [...], sisi rasionalitas (ibadah) terletak pada ketidakrasionalannya. Tuhan menunjukkan kesenjangan yang amat besar antara Dia dan kita, dengan cara memerintahkan pekerjaan yang tidak masuk akal dan sulit bagi kita. Aturan-aturan yang irrasional lebih manjur untuk membawa manusia ke dalam penyerahan (total) pada Tuhan, demikian al-Ghazali.

Yehuda ha-Levi, seorang pengikut Yahudi al-Ghazali, menulis sebuah serangan thp filsafat, berjudul ‘Kuzari.’ Ia menyimpulkan bahwa manusia harus mendekati wahyu Tuhan justru dengan meniadakan kecerdasan:
“Saya menganggap dia (al-Ghazali) telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi, meyakini kebenaran agama tanpa mencermati atau mempertanyakannya.” Bagi al-Ghazali, gagasan Tuhan sebagai kehendak murni selalu membawa pemahaman akan hal-hal tidak dimengerti sebagai suatu kebaikan. Seperti yang dijelaskan Remi Brague dalam bukunya ‘The Law of God,’ “Beberapa penulis [Islam] bahkan merinci ‘perbudakan’ (kepada Tuhan) secara formal berarti meniadakan pencarian akal dibalik perintah-perintahNya (ta’lil).” Akal tidak diperlukan untuk kepatuhan mutlak, malah jadi penghambat.
Dr. Tawfik Hamid mengambil cerita abad 20 dalam bukunya berjudul ‘The Development of a Jihadist’s Mind.’ (Perkembangan Pikiran Jihadis). Ini ceritanya:

Hamid adalah seorang mahasiswa kedokteran di Kairo. Ia didekati Muchtar Muchtar, anggota Jamaah Islamiyah, kelompok teroris terkemuka di Mesir. Hamid bercerita: “Dalam perjalanan (ke mesjid), Muchtar menekankan arti penting konsep al-fikr kufr dalam Islam, yakni, tindakan berpikir mendalam (fikr) menjadikan seseorang kafir (kufr). Ia bilang padaku, ‘Otakmu seumpama seekor keledai yang membawamu hanya sampai pelataran istana raja (Allah). Untuk memasuki istana sesampainya di pelataran, kau harus meninggalkan keledaimu (pikiran rendahmu) di luar.’ Dengan perumpamaan ini, Muchtar mengartikan penganut Islam sejati tidak lagi menggunakan otaknya tapi secara otomatis patuh pada ajaran Islam.”
Dalam kisah Muchtar ini, akal—keledai—tak punya hubungan dengan Tuhan, sang raja yang berkuasa. INi merupakan reductio ad absurdum , mengurangi Tuhan sebagai kehendak semata yang tidak memiliki akal. Antipati Muslim terhadap akal nampak pada poster-poster yang ditempel polisi agama Taliban: “Buang akal--yang penuh kesesatan- ke anjing2.” Dalam Islam, anjing dianggap hewan najis dan karena itu pantas menerima akal yang sesat.

Image
http://prophetmuhammadillustrated.com/m ... ainab.html




Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money