Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 13, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 3

The Closing Of The Muslim Mind

BAB 3 METAFISIKA KEHENDAK

Al-Ash‘ari (dari aliran Islam ortodox) menggunakan metafisika untuk mendukung teori voluntaristik (kehendak sbg prinsip dasar) mereka. Metafisika ini memiliki implikasi luas terhadap kausalitas, epistemology dan kebebasan manusia.

Filsafat atomistik Yunani kuno dipakai Ash’ari untuk menegaskan bahwa realitas terdiri atas atom-atom. Bila orang Yunani dan Roma (Lucretius) menggunakan atomisme sebagai pondasi filsafat materialistik, Al-Ash’ari justru memanfaatkannya secara berlawanan. Melalui atomisme, Lucretius ingin menunjukkan tak ada intervensi Ilahi di dunia dan segala sesuatu tidak bergerak dalam ‘skema kemajuan ilahi,’ tapi secara acak. Ash’ari ingin menunjukkan sebaliknya: bahwa segala sesuatu secara langsung tergantung pada intervensi Tuhan. Lucretius percaya materi itu abadi, semetnara Ash’ari----sebagaimana Islam ortodoks lainnya--- meyakini materi tercipta dari ketiadaan (ex nihilo).

Konfigurasi atom-atom yang diciptakan Tuhan pada momen-momen tertentu yang menjadikan segala sesuatu seperti adanya. Analis Inggris, Malise Ruthven, menjelaskan, di dalam Islam, “Kemahakuasaan Tuhan dirasionalisasikan kaum Ash’arit dalam suatu teori atomistic penciptaan. Dunia ini terdiri dari titik-titik diskret (berdiri sendiri) dalam ruang dan waktu, dan penghubung titik-titik tersebut adalah kehendak Tuhan, yang menciptakan titik-titik baru setiap saat.” Contoh, ada sekumpulan atom pada tumbuhan. Apakah tumbuhan tersebut tetap berupa tumbuhan saat kau membaca baris huruf ini karena memang begitulah sifat tumbuhan, atau karena Tuhan yang menghendakinya tetap berupa tumbuhan saat ini dan seterusnya? Ash’arit berpendapat tumbuhan hanya berupa tumbuhan pada suatu momen tertentu. Apakah selanjutnya akan tetap berupa tumbuhan atau tidak tergantung kehendak Allah (lara: bisa jadi berupa kelinci sekejap, lalu lampu, lalu tumbuhan lagi).

Jika ada yang berpendapat bahwa tumbuhan tersebut tetap berupa tumbuhan karena itulah sifat alaminya, ini disebut syirik—penghujatan (sejenis politeisme atau “mengasosiasikan sesuatu dengan Allah”).

Untuk memahami betapa radikalnya metafisika Ash’arit, contoh-contoh berikut akan memperjelas ketidakstabilan skema metafisika Ash’arite:
Dalam buku ‘Islam and Science’, Pervez Hoodbhoy, fisikawan di Universitas Islamabad, menulis ttg teori Ash’arit;

“Bahkan anak panah yang sedang meluncur cepat bisa mencapai sasaran bisa juga tidak karena di setiap momen lintasannya Tuhan memusnahkan (semua atom) dunia dan kemudian menciptakan lagi yang baru di momen berikutnya. Taruhlah anak panah tersebut berada di titik tertentu di momen sebelumnya, dan dimana anak panah tersebut berada di momen berikutnya tidak bisa diprediksi, karena Tuhan sendiri yang tahu bagaimana dunia dicipta ulang.”
Gerakan sebenarnya hanya ilusi. Segala sesuatu tak berubah dengan sendirinya. Tubuh kelihatannya saja bergerak. Yang terjadi sebenarnya adalah atom-atom tubuh di satu posisi dimusnahkan, diganti sepenuhnya dengan atom-atom baru sejenis di lokasi berikutnya, seterusnya hingga gerakan terlihat sebagai rangkaian berkelanjutan dari penghancuran dan penciptaan. Sesungguhnya tidak ada masa lalu maupun masa depan. Segala sesuatu hanya ada saat ini saja.

Rangkaian pemusnahan penciptaan seketika ini juga berlaku untuk objek tak bergerak beserta pelengkapnya, seperti warna. Dideskripsikan filsuf Kanada, Floy E. Doull dalam ‘Peace with Islam,’ :
“Sebagai contoh, kita tidak benar-benar mewarnai gaun dengan warna merah ketika kita yakin telah memberi warna merah pada gaun tsb; melainkan saat itu juga Tuhanlah yang memberi warna merah sebagai pelengkap gaun, berupa rangkaian penciptaan seketika warna merah.”
Duncan Macdonald meringkas sbb:
Atom waktu, jika istilah ini diperbolehkan, keberadaannya hanya sejenak, dan ada kehampaan -–waktu—absolute diantaranya. Sebagaimana ruang merupakan serangkaian atom, demikian juga waktu hanyalah momen tak tersentuh melintas dari satu kehampaan ke kehampaan lain seperti sentakan jarum jam. Waktu, dalam pandangan ini, berada dalam bulir-bulir yang dapat eksis dalam hubungannya dengan perubahan. Berbeda dengan teori monads-nya Leibniz, yi. atom yang memiliki karakter dalam dirinya sendiri, monads (atom) Islam tidak memiliki kemungkinan perkembangan dalam lintasan tertentu. Semua perubahan dan tindakan di dunia terjadi oleh pemusnahan penciptaan monads (atom) Islam, bukan karena perkembangan dalam dirinya sendiri.
(Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, 136.)
Lebih jauh dijelaskan Majid Fakhry:
Dunia, yang didefinisikan sebagai segala sesuatu selain Tuhan, terdiri atas atom-atom dan berbagai kejadian seketika. Berbagai kejadian seketika (sing: ‘arad) yang Ash’arit kemukakan, tak dapat bertahan dalam dua waktu seketika, tapi secara terus menerus dimusnahkan dan diciptakan atas kehendak Tuhan. Al-Baqilani (w.1013) yang kelihatannya memihak Ash’ari dalam masalah ini, menjabarkan kejadian seketika tersebut sebagai entitas (kesatuan yang lahir) dalam “jangka waktu yang mustahil…….dan kemudian berhenti eksis secepat kemunculannya.“ Dengan cara yang sama, atom-atom (sing. al-juz’) dalam kejadian seketika tsb diciptakan secara terus menerus oleh Tuhan dan bertahan semata karena kejadian seketika dari durasi (baqa’) yang Tuhan ciptakan dalam atom-atom tsb. Baik kejadian seketika dalam durasi atom maupun kejadian seketika lainnya tidak ada yang bertahan, terus menerus mengalami pergantian dan perubahan.
Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 71.

Bagi pengikut Ash’ari, Abu Bakr al-Baqilani (wafat 1013), diskontinuitas atomistik benda ciptaan itu sendiri membuktikan transendensi dan kekuasaan mutlak Tuhan sebagai agen tunggal. Jika ciptaan tsb berupa sekelompok atom yang melayang bebas dalam ruang dan waktu, maka secara ipso facto hanya Tuhan yang dapat menjadikan mereka seperti itu dengan cara dan waktu tertentu. Al-Baqilani melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa konsep atomisme ini “sama pentingnya” dengnan text Qur’an. Begitu berpengaruhnya pemikiran al-Baqilani sehingga Ibn Taymiyya, pemikir abad ke-13 yang dikagumi masy. Islam, menghormati al_Baqilani sebagai “mutakallimun Ash’ari terbaik, tak tertandingi baik oleh pendahulu maupun penerusnya.”

Hilangnya Kasualitas

Bencana yang timbul akibat pandangan ini adalah penolakan terhadap hubungan sebab akibat dalam tatanan alam. Dalam ‘The Incoherence of the Philosophers,’ al-Ghazali, dengan keras menolak Plato dan Aristoteles, baginya Tuhan tidak terikat keteraturan apapun, dengan demikian tidak ada urutan sebab akibat secara ‘alami’, seperti kertas terbakar api, atau contoh yang lebih berwarna, “penggunaan obat pencahar dan pengurasan isi perut.” Peristiwa tsb bukannya dianggap sebagai ikatan hubungan sebab akibat yang jelas, melainkan semata-mata sebagai jajaran peristiwa terpisah seolah-olah api membakar kertas, padahal Tuhan yang melakukannya (doktrin ini dikenal sebagai occasionalism.) Dengan kata lain, tiada kesinambungan sebab akibat yang mengikat momen peristiwa dalam suatu cara yang dapat dipahami.

Penyangkalan al-Ghazali thp kasualitas harus dibahas panjang lebar untuk memahami sifatnya yang radikal dan komprehensif. Dalam ‘Incoherence of the Philosophers,’ ia menyatakan:
Hubungan antara apa yang biasannya diyakini sebagai penyebab dengan apa yang biasanya diyakini sebagai akibat, menurut kami tidak penting. Sebagai contoh, tidak ada hubungan sebab akibat antara pemuasan rasa haus dengan minum, pemuasan rasa lapar dengan makan, pembakaran dan kontak dengan api. Cahaya dengan terbitnya matahari, kematian dengan pemancungan, penyembuhan dengan minum obat, pembersihan isi perut dan penggunaan obat pencahar, dan seterusnya termasuk segala bentuk keterkaitan yang diteliti di bidang kedokteran, astronomi, seni dan ketrampilan. Hubungan mereka semata-mata berdasar ketetapan Allah sebelumnya, yang menciptakan mereka berdampingan, bukan karena kebutuhan dari dirinya sendiri yang tak terpisahkan.

Sebaliknya, ada kuasa ilahi yang dapat menciptakan rasa kenyang tanpa lapar, membuat kematian tanpa pemancungan, terus hidup setelah pemancungan dan seterusnya untuk semua bentuk hubungan……..Lawan kita mengatakan bahwa penyebab kebakaran hanyalah api; sesuatu yang alamiah, bukan agen bebas, dan sudah sifat alami (api) tak dapat berdiam saja saat terjadi kontak dengan receptive substratum. Kita menyangkalnya dengan mengatakan: penyebab kebakaran adalah Allah, lewat penciptaan hitam pada kapas dan penguraian bagian-bagian kapas, Allah yang membuat kapas terbakar termasuk debunya melalui perantaraan malaikat ataupun tanpa perantara. Api adalah benda mati yang tak bisa melakukan apa-apa, dan apa buktinya api penyebabnya? Sesungguhnya, para filsuf tidak memiliki bukti selain observasi peristiwa pembakaran, saat kontak dengan api, tapi observasi tersebut hanya membuktikan kejadian simultan, bukan sebab akibat, dan dalam realitas tak ada penyebab lain……….hanya Allah.
Menarik untuk mengkontraskan padangan ini dengan pandangan Thomas Aquinas dalam ‘Summa Contra Gentiles,’ dimana dikatakannya,
“siapapun yang menjawab pertanyaan, 'kayu panas karena Allah yang menghendaki,' menjawab dengan tepat jika ia bermaksud menelusur balik pertanyaan tsb hingga ke prima causa; tapi tidak tepat, jika ia bermaksud meniadakan semua penyebab lain.”
Aquinas mengatakan bahwa kepercayaan bahwa segala sesuatu terjadi akibat kehendak murni Tuhan tanpa perlunya sebuah pemikiran rasional, adalah sebuah kesalahan. Ini kesalahan para eksponen Hukum Moor (Moor=Muslim), seperti yang dikatakan Rabbi Moses ben-Maimon (Maimonides, filsuf dan tabib terkemuka. w.1204): menurut mereka (Muslim), tak ada bedanya apakah api panas atau dingin, kecuali Tuhan [langsung] berkehendak demikian. 

TAPIIIII tanpa kasualitas dalam tatanan alam, segala sesuatu dapat muncul dari segala sesuatu, tak perlu adanya keterkaitan. Bagaimana, dalam keadaan seperti itu, manusia dapat hidup dalam kehidupan praktis sehari-hari tanpa tahu apa akan berakibat apa? Seperti yang dikatakan al-Ghazali, “Karena Tuhan mampu melakukan segalanya, tidak penting bagi kuda diciptakan dari sperma atau pohon dari benih pohon – sebenarnya tidak perlu bagi keduanya diciptakan dari apapun.” 

Lantas bagaimana peternak atau ahli perkebunan melakukan pekerjaannya? Jika api tidak membakar kapas bagaimana koki menyalakan api untuk memasak? Al-Ghazali menjawab bahwa,
“Tuhan telah menciptakan pemahaman dalam diri kita bahwa Ia takkan membuat segala sesuatu yang pasti. Ada kemungkinan yang dapat atau tidak dapat terjadi. Tetapi kebiasaan terus menerus dari kejadian yang berulang kali, kejadian satu menyusul yang lain, hingga tertanam kokoh dalam pikiran kita, keyakinan terjadinya kejadian tersebut berdasar kebiasaan sebelumnya.”
Itu saja – keyakinan akan suatu kebiasaan, tidak lebih. Makna utamanya adalah, “tak ada kesatuan di dunia, moral atau fisik atau metafisika; semua tergantung pada kehendak individual Allah.” 

Tapi Averroes mengungkap konsekuensi dari posisi ini dengan menyatakan:
“Sekali dinyatakan bahwa tidak ada perantara antara awal dan hasil akhir, imana keberadaan hasil akhir tersebut bergantung, takkan ada tatanan atau keteraturan [di dunia ini]. Bila tak ada tatanan atau keteraturan, berarti tak ada indikasi bahwa berbagai entitas (kejadian seketika) yang ada dikarenakan penyebab yang memiliki kehendak dan pengetahuan. Tatanan, keteraturan, dan terjadinya sebab akibat merupakan petunjuk bahwa [entitas yang ada] dihasilkan oleh pengetahuan dan kebijaksanaan.”
Ini tepatnya titik perselisihan tersebut: bagi Averroes dan Aquinas sumber penciptaan adalah pengetahuan dan kebijaksanaan; bagi al-Ghazali, kehendak dan kekuasaan. Pengetahuan dan kebijaksanaan memiliki sifat keteraturan; kehendak dan kekuasaan tidak.

ImageAl-Ghazali tampaknya terdorong menganut pandangan ini karena ia, seperti al-Ash’ari, berpikir bahwa penerimaan sebab akibat dalam tatanan alam akan berarti Tuhan bertindak karena kebutuhan bukannya kehendak bebas. Ini berarti dunia diciptakan karena kebutuhan, bukan secara bebas dari ketiadaan. Jika “x” menyebabkan “y” dalam tatanan alam sehingga “y harus mengikuti x,” maka urutan tetap sebab akibat yang dibutuhkan dapat ditelusur rangkaian keberadaannya kepada Tuhan sendiri. Tuhan jadi tak mampu mengadakan mukjizat, pembelaan yang tampaknya paling dirisaukan al-Ghazali. Juga, ide kejadian otonom dan semi otonom dalam sebab akibat alami akan melemahkan kemahakuasaan Tuhan dan berimplikasi politeisme, karena ada penyebab lain selain Tuhan. Jika bukan Dia satu-satunya penyebab, maka Ia bukan Tuhan, yang tak punya penyebab lain sebelum Dia.

Pengaruh ajaran Ash’ari dan al-Ghazali, khususnya penyangkalan hubungan sebab akibat sekunder, tertanam dalam benak pengikut Sunni ortodoks. Ini diulangi lagi oleh ahli hukum mazhab Hanafi Mesir, Ahmad ibn Naqib al-Misri (d.1368) dalam buku ‘Reliance of the Traveller: A Classic Manual of Sacred Islamic Law.’ Al-Misri menulis, “ilmu kaum materialis bersandar pada keyakinan bahwa segala sesuatu, di dalam dirinya sendiri atau oleh sifat alaminya punya pengaruh sebab akibat, terlepas dari kehendak Allah. Mempercayai kemusyrikan ini membuat seseorang berada diluar batas ke-Islaman.”

fiqih-shafi-i-umdat-al-salik-reliance-of-the-traveller-t2037/

Muhammad Yusuf Sanusi yang membawa ajaran ini ke abad-15 menggunakan beberapa contoh al-Ghazali. Ia menulis:
“Kau akan menyadari mustahil segala sesuatu di dunia menimbulkan efek apapun, karena hal tersebut berarti memindahkan efek tersebut dari kekuasaan dan kehendak dari Pelindung kita yang agung dan perkasa…… Sebab itu, makanan tak punya efek mengenyangkan, juga air tidak punya efek melembabkan tanah……juga api tidak punya efek membakar…… Pahami bahwa semuanya berawal dari Allah, tanpa keikutsertaan sesuatu sebagai perantara atau punya efek, tidak juga oleh sifat alaminya, ataupun sifat khusus yang diberikan Tuhan di dalamnya, sebagaimana anggapan orang-orang bodoh……….Siapapun yang percaya sesuatu menghasilkan efek karena sifat alaminya, adalah kafir.” Apa yang tampak sebagai penyebab, “Tuhan telah menciptakannya sebagai tanda dan petunjuk akan segala sesuatu yang Ia ingin ciptakan tanpa ada koneksi logis diantaranya, dan merekalah petunjuknya. Jadi Tuhan dapat memutuskan urutan yang sudah ada kapan saja Ia menginginkan dan bagi siapapun yang dikehendakinya.”
Ajaran ini dan akibat mendasar yang ditimbulkan, merupakan penyebab mengapa, bahkan di abad ke-21, Fouad Ajami laporkan, “ Kemanapun aku pergi di dunia Islam, masalahnya selalu sama: sebab akibat; sebab akibat.” Berikut contoh masalah yang timbul di akhir abad ke-20. Dalam buku ‘Islam dan Science’ fisikawan Pakistan, Pervez Hoodbhoy, menulis ttg upaya yang dilakukan Institute of Policy Studies, cabang dari kelompok Islam Jamaat-e-Islami,untuk memastikan buku pelajaran sains Pakistan cukup islami. Dalam buku petunjuk Institut tsb dicantumkan, ”dalam menulis buku pelajaran sains untuk murid kelas 3, jangan tanyakan, ‘Apa yang akan terjadi hewan tidak mendapat makanan?’ ganti dengan pertanyaan berikut: ‘Apa yang akan terjadi jika Allah tidak memberi hewan makanan?’” 

Juga, dikatakan Hoodbhoy, “Akibat TIDAK BOLEH dikaitkan dengan penyebab fisik. Hal tsb mengarah pada ateisme. Contoh, dalam rekomendasi Institut, ditulis, ‘ada racun tersembunyi dalam sub-judul Energi Menyebabkan Perubahan, karena memberi kesan energi-lah penyebab sebenarnya bukan Allah.’” Hoodbhoy menyimpulkan, “Asumsi dasar pengetahuan – bahwa setiap efek fisik punya kaitan dengan sebab fisik -- disangkal secara khusus. Alih-alih kekuatan fisik, intervensi ilahi yang berkelanjutan yang menyebabkan perubahan materi.”

Peniadaan sebab akibat membuat prediksi secara epistemologis jadi mustahil dan tak diinginkan secara teologis. Ini berakibat perilaku tak lazim yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Lantas, tunjuk Hoodbhoy, “Banyak, kalau bukan sebagian besar, ulama ortodoks berpendapat bahwa ramalan cuaca/prediksi hujan, di luar apa yang secara sah boleh diketahui manusia, menyalahi wewenang supernatural. Akibatnya, antara tahun 1983 dan 1984, ramalan cuaca diam-diam dihentikan oleh media Pakistan, walau kemudian hari disiarkan lagi.” Jika Tuhan yang tak bisa dikalkulasi menciptakan cuaca, maka cuaca tak dapat dikalkulasi.

Hilangnya Epistemology

Cuaca bukan satu-satunya korban epistemologi Ash’arit. Dalam sanggahannya terhadap al-Ghazali, dalam buku ‘The Incoherence of the Incoherence’, Averroes berkata bahwa aktivitas akal, “tak lebih dari pemahaman akan keberadaan entitas lewat pengetahuan akan penyebabnya.” Sebab itu, “siapapun yang menolak sebab akibat sebenarya menolak akal.” Penolakan hubungan sebab akibat membuat, “pengetahuan sejati jadi mustahil [dan] hanya menyisakan opini (doxa).” Atau, di buku yang sama, “Menyangkali keberadaan sebab akibat yang teratur, yang dianalisa dengan akal sehat, adalah cara berpikir yang tak masuk akal/menyesatkan………Menolak penyebab menyiratkan penolakan pengetahuan, dan penolakan pengetahuan menyiratkan tak ada satupun di dunia ini yang benar-benar dapat diketahui.” Sekali lagi ia menunjukkan bahwa jika hubungan sebab akibat ditolak, “takkan ada pengetahuan yang benar tentang segala sesuatu.” Karena “pengetahuan sejati adalah pengetahuan akan segala sesuatu sesuai kodratnya.” Dengan cara ini, metafisika Ash’arite menjadikan epistemologi mustahil dan menutup pemikiran pengikutnya dari pengetahuan akan realitas.

Tentu saja, bagi Ash’arit, seseorang tak dapat mengetahui etika. Seperti yang dinyatakan ilmuwan berdarah Inggris-Libanon, George Hourani, keberatan utama al-Ash’ari terhadap etika rasionalis yaitu “akal manusia yang independen membatasi kekuasaan Tuhan; karena jika manusia dapat menentukan apa yang baik atau salah, ia dapat menilai apa yang Tuhan telah tentukan baik bagi manusia, ini merupakan suatu kelancangan dan hujatan.” Ash’arit juga berkeberatan karena Mu’tazilla “merebut fungsi wahyu dan membuatnya tak berguna.” Dalam metafisika mereka, Ash’arit memastikan pengetahuan etika seperti itu tidak dapat diperoleh terpisah dari wahyu.

Moralitas, atau apa yang adil, tak dapat dipahami secara rasional karena dua alasan.

Pertama, alasan praktis:

akal terlalu dikorup kepentingan pribadi manusia. Fazlur Rahman mencirikan pandangan Ash’arit, “Secara alami satu-satunya hukum adalah kepentingan pribadi manusia. Dan, karena manusia menganggap hal-hal yang mendukung kepentingan pribadi mereka sebagai baik, dan yang menghalangi sebagai buruk, maka Tuhan harus menyatakan apa yang baik dan yang jahat, melalui wahyu.” Perendahan status akal karena korup, diulang dalam ]buku ‘al-Ghazali,Moderation in Belief,’ dimana ia menulis bahwa akal begitu terkontaminasi kepentingan pribadi manusia sehingga tidak dapat mengetahui prinsip-prinsip moral; dan hanya dapat diketahui lewat wahyu. Khas pandangan Ash’arit, dimana manusia mengatakan “baik” thp apapun yang mendukung kepentingan pribadinya dan “jahat” thp apapun yang menghalanginya. Dengan demikian, hukum manusia hanyalah ungkapan keinginannya yang korup.[/b]

Mu’tazilla yang berkeberatan thp pendapat al-Ghazali bahwa tiap orang hanya membuat ukuran “baik” sesuai keinginannya, berkata:
Wacanamu mengenai: apa yang (secara rasional) “baik” dan “buruk” direduksi menjadi apa yang mendukung dan menghalangi keinginan. Tapi kita melihat bahwa mahluk rasional menganggap baik sesuatu yang ia rasa tidak (perlu) ada keuntungannya dan (kadangkala) menganggap buruk sesuatu yang mungin akan menguntungkannya……….Jika seseorang melihat manusia lain atau ada hewan hampir binasa, ia menganggap baik untuk menyelamatkannya………..walau tak percaya syariah dan tak mengharap keuntungan di dunia ini, bahkan mungkin kejadian ini terjadi di suatu tempat dimana tak seorangpun melihat atau memujinya. Kami anggap tidak ada motif pribadi…………Jelas bahwa “baik” dan “buruk” memiliki arti lain dari yang kau deskripsikan.
Al-Ghazali menanggapi keberatan ini dengan suatu pendekatan yang begitu merendahkan hampir mendekati proto-Marxist, mendefinisikan akal semacam tumor kepentingan pribadi, jika bukan dari kekuatan material itu sendiri. Dikatakan Fazlur Rahman, al-Ghazali mengklaim “si penyelamat terdorong menyelamatkan mahluk hidup dari bahaya, karena jika ia tidak melakukannya, hal ini akan akan menyakiti perasaan belas kasihan alaminya sendiri: ia dengan demikian memuaskan dirinya sendiri dengan menyelamatkan orang tsb dari bahaya.”

Alasan kedua,

mengapa manusia tidak dapat secara mandiri membedakan baik dari buruk, yang benar-benar membuat alasan pertama mendekat ke ketidaktulusan, adalah epistemologis: manusia tak dapat mengetahui sesuatu yang tidak eksis untuk diketahui (tak peduli ia tertarik atau tidak). Karena pada hakekatnya tidak ada benar atau salah, tak ada yang perlu diketahui dalam hal ini. Akibatnya, teolog Ash’arit, Abu’l el-Ma’ali al-Juwayni (1028-1085), guru al-Ghazali, menyimpulkan, “tak ada kewajiban akal menjadi hamba atau menjadi Tuhan.” Statemen penting ini berarti tak ada yang manusia ketahui atau dapat pelajari dengan akalnya yang mungkin memberi bobot moral thp apa yang harus atau tidak harus ia lakukan. Juga berarti bahwa kewajiban “moral” yang ditetapkan Tuhan atas manusia tak berasal dari akal, juga tidak ada apapun yang harus Tuhan lakukan berdasar akal. Tuhan dapat memerintah apa yang jahat jadi baik, atau baik jadi jahat. Akal tak ada hubungannya dengan keadilan atau moral. Hanya kehendak mutlak ilahi yang melakukannya.
 

Hilangnya Objektivitas Moral

Karena akal bukan sumber kebenaran moral, al-Ghazali sepakat dengan al-Juwayni: “Kewajiban tidak berasal dari akal tetapi dari syariah.”

Berdasarkan ilmu metafisika, wahyu punya wewenang eksklusif dalam masalah moral karena segala sesuatu atau segala tindakan tidak memiliki sifat atau esensi baik dan buruk. Secara moral semua tindakan netral. Seperti yang diajarkan al-Juwayni, “Ulama tidak menyatakan suatu perbuatan mulia atau keji berdasar pertimbangan yang mengikat (hukm al-takif), tapi berdasarkan sumber-sumber hukum (shar’) dan tradisi bila diperlukan. Prinsipnya, sesuatu tidak disebut mulia karena dirinya sendiri, sifatnya ataupun atribut yang dimilikinya.

Islam jenis ini secara tegas menjawab pertanyaan terkenal Socrates dalam ‘Euthyphro’ (dialog antara Socrates dan Euthypro): “Apakah orang saleh atau suci dikasihi para dewa karena kesalehannya? Ataukah ia saleh karena dikasihi para dewa?” Ash’arit memilih yang kedua. Tuhan tidak memerintahkan perilaku tertentu karena perilaku tsb baik; tetapi perilaku tsb baik karena Ia yang memerintahkannya. Sama halnya, Ia tidak melarang pembunuhan karena pembunuhan itu jahat; tetapi pembunuhan itu jahat karena ia yang melarangnya.

Tuhan itu kehendak murni, baik dan jahat semata-mata ketentuan Allah -– sesuatu disebut halal atau haram hanya karena Ia yang mengatakannya, tak ada sebab apapun. Jahat adalah apa yang dilarang. Apa yang dilarang saat ini mungkin diperbolehkan besok. Tuhan adalah hukum positif.

Al Ash'ari mengungkapkan pandangannya dalam dialog:
Dialog:
Karena Pencipta tidak tunduk dan terikat perintah siapapun, tak ada yang jahat di diriNya.
Keberatan : Lantas berbohong itu jahat hanya karena Tuhan yang menyatakannya.
Jawab : Tentu. Jika ia menyatakannya baik, jadilah baik; dan jika Ia yang memerintahkan, tak seorangpun yang dapat membantahnya.

Al-Ash’ari menyingkirkan semua sifat objektif dalam ciri tindakan itu sendiri. Kejahatan hanyalah soal patuh atau tidak patuh pada aturan. Sesuatu jahat hanya karena dinyatakan demikian oleh Tuhan. Kita tahu batasan dan ruang lingkupnya lewat wahyu. Al-Juwayni berkata: “Makna ‘baik’ adalah bila kitab suci memberikan pujian pada pelakunya, dan ‘jahat’ bila kitab suci menghujat pelakunya.”

Tak seorangpun punya otoritas mengatur batasan dan ruang gerak Tuhan. Al Ash’ari menulis: “Bukti bahwa Ia bebas melakukan apapun yakni bahwa Ia adalah Pemegang Kekuasaan Tertinggi, tak tunduk pada siapapun, tak ada yang lebih unggul dariNya, yang mengijinkan, memerintah, menegur, melarang, atau mendikte apa yang harus Ia lakukan serta menetapkan batasan bagiNya. Jadi, tak ada yang jahat di diriNya. Kejahatan ada di diri kita, karena kita melanggar batasan dan menetapkan aturan sendiri yang bukan hak kita. Pencipta tidak tunduk dan terikat perintah siapapun, tak ada yang jahat di diriNya.

Tuhan tidak tunduk pada keadilan atau ketidakadilan. Tak ada standar yang bisa mempertanyakanNya. Jika Tuhan adalah kehendak murni, satu tindakan dari kehendak murniNya tak dapat dipertentangkan secara moral dengan tindakanNya yang lain. Tak ada standar diluar Dia yang dapat melakukannya; juga tak ada standar di diriNya. Ia melampaui segala yang baik dan jahat --Tuhan adalah penganut (ajaran) Nietzsche.

[Siapa Friedrich Nietzsche....??? http://revoltagain.multiply.com/journal/item/6]

Pandangan Ash’arit thp Tuhan merupakan suatu pembelaan atau ekspresi Thrasymachus di ‘The Republic’ yakni, kebenaran diatur/didikte oleh pihak yang kuat. Ash’arisme adalah teologi “might makes right,” (kekuatan berarti kebenaran). Karena Tuhanlah yang terkuat, maka sesuai kehendakNya, aturanNya adalah kebenaran. Tuhan bukan saja penganut Nietzsche, tapi juga sophist, sebagaimana Thrasymachus.

[Siapa Thrasymachus? http://dokasg.wordpress.com/2008/08/16/ ... filosofis/]

George Hourani menyebutnya “subjectivisme teistik.” Ia berkata, “Sifatnya 1) subjektif karena berdasarkan nilai yang dianut hakim, mengabaikan sifat objektif dalam ciri tindakan itu sendiri, benar atau salah tergantung keputusan atau opini seseorang. 2)Teistik, karena yang menetapkan nilai itu Tuhan. Istilah lazimnya, ‘etika kehendak bebas.’” Filsuf Iran, Abdulkarim Soroush, menyebut Ash’arit sebagai kaum “nominalis” dalam ajaran Islam.

Masyarakat apa yang dihasilkan Tuhan penganut Nietzsche ini? Akan kita bahas di bagian lain.

Mungkin kita bertanya-tanya adakah koneksinya dengan situasi di Jerusalem, hasil pengamatan pengarang Prancis, Chateaubriand, dalam bukunya‘Itinéraire de Paris à Jérusalem’ (1811), yang memiliki kemiripan luarbiasa dengan bayangan masyarakat yang diatur sesuai diktum Thrasymachus: “Terbiasa mengikuti nasib tuannya, masyarakat disini tak punya hukum yang dapat menghubungkan mereka dengan gagasan tata tertib dan tata cara politik: membunuh, jika lebih kuat, tampaknya sah-sah saja; mereka tak peduli pada keadilan…….tidak mengenal kemerdekaan; tak punya hak milik;kekuatan adalah Tuhan mereka.

Konsep Tuhan tanpa moral yang luarbiasa ini adalah solusi masalah theodicy Ash’arit akibat mengabaikan kehendak bebas
manusia, namun di saat yang sama masih menyisakan eksistensi kejahatan. Bila Mu’tazilla berpendapat kejahatan berasal dari kehendak manusia yang salah, maka Ash’arit tak punya referensi mengenai masalah ini, karena menyangkali kehendak bebas manusia. Jika Tuhan penyebab tunggal, bukankah Dia juga penyebab kejahatan? Untuk melepaskan Tuhan dari masalah ini, Ash’arit menempatkan Tuhan di atas moral, atau bahkan tanpa moral.

Al-Juwayni juga menyingkirkan penjelasan Mu’tazilla ttg penderitaan sebagai akibat dosa atau sebagai alasan untuk mendapat pahala berlipat di sorga. Bagi al-Juwayni usaha pembenaran Tuhan seperti itu tidak perlu dan lancang; George Hourani menafsirkan perkataan al-Juwayni mengenai “penderitaan yang diberikan Tuhan pada manusia dan hewan,” sbb: “cukuplah sebagai pemahaman bahwa mereka hanya ciptaan Tuhan, dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu baik karena diciptakan.” Jadi, dengan sedikit permainan sulap positivisme, masalah kejahatanpun hilang.

Walau bukan seorang Ash’arit, Ahmad ibn Hazm, pengikut sekte Zahiri (sekte yang menginterpretasi Qur’an sesuai makna literal tanpa penggunaan qiyas atau analogi), melantunkan pendapat serupa di Spanyol abad ke-11, yang memperlihatkan luasnya perlawanan thp Mutazilla. Katanya:

“Siapapun yang berkata bahwa Tuhan tidak melakukan apa yang baik dan buruk--berdasarkan pemahaman manusia, orang tsb telah…… menggunakan argumen manusia pada Tuhan. Tuhanlah yang membuat sesuatu jadi baik atau buruk. Tak ada di dunia ini yang baik atau buruk karena esensinya sendiri; apa yang Tuhan bilang baik, pastilah baik, dan pelakunya berbudi luhur; dan apa yang Tuhan bilang jahat, pastilah jahat, dan pelakunya pendosa. Semua tergantung ketetapan Tuhan, karena suatu tindakan baik di satu waktu bisa jadi jahat di waktu lain.”
Dalam pidatonya di Regensburg, Paus Benedict XVI, mengacu pada aspek Islam ini saat mengutip Ibn Hazm, katanya “Menyembah berhalapun harus dituruti, jika itu kehendak Tuhan.” Jadi, “keharusan moral hanya dipahami hanya dalam makna wahyu,” dan bukan akal. Ibn Hazm berkata, “Fungsi kecerdasan hanya untuk mengerti perintah Allah Ta’ala dan [memahami] kewajiban [atau keperluan] agar terhindar dari siksaan abadi.”

Di abad ke-14, al-Misri mengulang lagi ajaran Ash’arit ttg ketidakmampuan akal memahami etika dan monopoli wahyu dalam hal ini: “Premis dasar ajaran ini yi. Tanggung jawab moral terletak pada melakukan apa yang sudah digariskan sebagai baik dan menghindar dari apa yang sudah dilarang si Pemberi Hukum (Allah dan rasulnya). Ukuran baik buruk bukan berdasarkan pemahaman akal budi tapi berdasarkan Hukum Suci.” 

Muhammad Yusuf as-Sanusi memperlihatkan betapa konsistennya pandangan ini diterapkan saat ia menyatakannya lagi di awal abad ke-15,: “Tak mungkin bagi Yang Maha Tinggi mewajibkan atau melarang sesuatu……disebabkan objektivitas apapun juga, karena semua tindakan sama sejak diciptakan. Kewajiban atau larangan atau ketetapan apapun semata-mata oleh kehendak murniNya. Tak ada tempat bagi pemahaman akal, cukup diketahui lewat hukum Islam (syariah).”

Pandangan tsb tetap relevan hingga kini. Ed Husain, Muslim Islam Inggris, mengatakan dalam bukunya, ‘The Islamist,’ “Sheikh Nabhani [pendiri Hizb ut-Tahrir, kelompok yang bertujuan mengembalikan kekhalifahan] selalu mengajarkan bahwa moralitas tak dikenal dalam Islam; hanya apa yang diajarkan Tuhan. Jika Allah mengijinkan, itulah yang bermoral. Jika Ia melarang, itulah yang tidak bermoral.”

Konsekuensi orientasi etika ini, tertuang dalam deskripsi pakar Islam ternama, Ignaz Goldziher, ttg perilaku orang Arab setelah Muhammad: “Orang tidak banyak bertanya baik atau pantas apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, atau apakah tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun itu merupakan pemikiran dan perilaku yang pantas.”

Karena tidak ada tindakan yang bisa disebut 'baik' atau 'pantas', satu-satunya patokan adalah sekumpulan hukum positif lengkap  yang bersumber pada kitab suci dan catatan laporan perkataan serta tindakan Muhammad. Jadi panduan moral tidak didapatkan dari pengkajian filsafat moral, TAPI dari mempelajari isnad (sanad), atau rangkaian penyampaian untuk mengotentifikasi (ke-sahihan) perkataan Muhammad dalam hadis, yang dapat diterapkan dalam situasi tertentu-–jika tidak didapat petunjuk yang jelas dari Qur’an. JADI, hadis tidak dinilai berdasarkan kebaikan hakiki atau nilai moral, tapi hanya berdasar silsilah dan kredibilitas para saksi. Berikut contoh sanad untuk validitas sebuah hadis yang digunakan wakil Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri: “Kami mendengar dari Harun bin Ma’ruf, dikutip dari Abu Wahab, yang mengutip Amru bin al-Harith mengutip Abu Ali Tamamah bin Shafi yang mendengar dari Uqbah bin Amir  berbunyi, ‘Aku mendengar Nabi berkata di mimbar: “Perangi mereka, persiapkan kekuatanmu.” 

Pentingnya pengaruh pemikiran Ash’arit tidaklah berlebihan. Akibat pengaruh ini, pemikiran filsafat moral menjadi mustahil. Islam yang seperti ini tidak memberi celah bagi manusia untuk menyatakan sifat kebaikan alami yang ada di dirinya. Kebaikan hanya dipahami sebagai bentuk kepatuhan pada perintah Tuhan—apapun itu—dan tidak terkait dengan logika internal dalam diri manusia atau ciptaanNya. Dikatakan Qur’an: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(2:216) Bukan hanya kamu tidak tahu tapi tidak dapat tahu. Sebab itu, seseorang hanya dapat mengetahui baik buruk dari Qur’an atau dari syariah semata. Berarti, tak ada perbedaan antara hukum dan moralitas.
Hukumlah moralitas. Tiada moralitas selain hukum Islam. Akibatnya, tulis Fazlur Rahman, ajaran “akal murni tidak menghasilkan kewajiban atau ‘akal bukan pembuat hukum’ (inna l-aql laysa bi-shari) menjadi aksioma hukum di kalangan hakim Islam.” Ajaran ini meresap dengan baik hingga abad ke-19. ‘Abd al-Ali Muhammad al Ansari berkata, “Tak seorangpun yang mengaku beragama Islam, akan berani menganggap akal manusia sebagai penyandang hukum.”

Hal ini berdampak pada begitu dominannya yurisprudensi (hukum fiqh) dalam Islam Sunni. Dominasinya merupakan akibat langsung dari metafisika occasionalist (disebabkan runtuhnya epistemology), dan etika voluntaristik yang disodorkan Ash’arit. Dominasinya didapat lewat serangkaian proses penghilangan. Hanya Fiqh (hukum Islam) yang tersisa. Dampak jangka panjangnya sangat dirasakan dalam dunia Islam, spt dijelaskan ulama Islam kontemporer, Bassam Tibi, “Fiqh ortodoks berkuasa menetapkan kurikulum pendidikan Islam. Dengan demikian, perbedaan antara fiqh dan filsafat (falsafa) menghilang. Dalam Islam, ilmu/sains diidentifikasi sebagai fiqh. Perdebatan dilarang, dan pola pikir semacam ini membawa keruntuhan peradaban Islam.” Ia menambahkan, “Kontrol atas sistem pendidikan memungkinkan kaum Fiqh ortodoks mencegah kaum rasionalis Islam yang mencoba mendobrak konsep religius warisan mengenai tatanan alam.” Akibatnya, berpikir kritis diganti dengan belajar hafalan. Menghafal jadi fitur paling menonjol dalam pendidikan Islam.

Dilarangnya etika sebagai suatu landasan berpikir rasional, secara logis berakibat pada moral yang kekanak-kanakan di kalangan Muslim, karena mereka tidak diizinkan untuk berpikir sendiri atau menilai baik buruk suatu hal. Jika ia tidak memiliki cukup pengetahuan ttg hukum Islam mengenai suatu hal, ia harus bertanya pada otoritas hukum Islam. Bahkan dijaman ini ada program2 seperti ‘dial-a-fatwa program’ (program telpon fatwa) di Kairo, dimana seorang mufti (ulama) lewat telpon menjawab kebingungan moral hari ini. TV, radio dan Koran juga menawarkan siaran-siaran fatwa serupa.

Reductio ad absurdum (cara mereduksi yang absurd) seperti ini, diilustrasikan Bapa Samir Khalil Samir, pastor Jesuit Mesir, dengan mengambil contoh di Kairo th. 2006:
“Bolehkah petugas laundry mencuci pakaian perempuan yang tidak berjilbab?”

Atau:

“Jika seorang perempuan keluar kamar mandi tanpa ada penutup badan dan ada anjing di apartemennya, apakah ia melakukan sesuatu yang terlarang?”
Jawab: “Tergantung anjingnya. Kalau anjingnya laki-laki, perempuan tsb melakukan sesuatu yang terlarang.”

Fatwa lain, dilaporkan oleh media:

“Sewaktu aku sholat seorang perempuan melintas. Sholatku sah tidak?”
Jawab: “Jika seekor keledai, seorang perempuan, atau seekor anjing hitam melintas, sholat harus diulang. Karena keledai adalah hewan najis; anjing hitam mungkin iblis setan yang menyamar; perempuan bagaimanapun juga najis.”

Jangankan menerima moral dalam batas jangkauan akal, Ash’arit takut sekali bahwa jika manusia dapat secara mandiri mencapai pemahaman antara baik dan buruk, maka manusia akan jadi mandiri pula. Hal ini tidak boleh, karena secara langsung dan secara radikal menentang status ketergantungan total manusia pada kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak menyerupai apapun, atau dapat dibandingkan dengan apapun. Jika manusia dapat memastikan moral dengan akalnya, ia akan seperti Tuhan, atau mengambil rupaNya. Ini disebut syirik. Oleh karena inilah, kebebasan nurani tidak diakui oleh keempat ajaran resmi Islam Sunni.

Premis yang mendasari kebebasan nurani adalah bahwa manusia mampu menilai kebenaran moral karena dianugerahi sarana untuk itu, yakni akal mereka. Ini benar, walaupun akal manusia bisa dikorupsi oleh kepentingan pribadinya. St. Agustin
berkata,

“Tiada jiwa, sejahat apapaun, selama ia masih dapat berpikir, yang tidak akan diajak bicara oleh Tuhan. Karena siapakah yang menuliskan hukum alam dalam hati manusia kalau bukan Tuhan?”
Meruntuhkan integritas akal berarti menghancurkan pondasi kebebasan nurani. TAPI dalam ajaran Ash’arit, akal tidak memiliki integritas, maka tak ada dasar bagi kebebasan nurani. Oleh karena itu pula, kata ‘nurani’ tidak eksis dalam bahasa Arab. Bukan berarti Islam tidak memiliki nilai moral. Hanya saja nilai moral tsb bukanlah produk nurani manusia. Islam jenis ini melarang kemungkinan adanya dasar pemikiran logis untuk menolak Islam, karena ajarannya sama sekali tidak memberi landasan bagi akal. Islam disebut din al-fitra, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, karena langsung diwahyukan oleh penyebab pertama dan satu-satunya, Allah. Sebab itu segala bentuk penyimpangan harus dilihat sebagai bentuk kejahatan yang disengaja. Qur’an memperingatkan: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (3:85)

Inilah sebabnya mengapa setiap mazhab resmi Sunni menetapkan hukuman mati bagi yang murtad.

Hilangnya Keadilan

Hukum adalah satu-satunya yang tersisa dalam reruntuhan (puing peradaban Islam)—hukum sebagai bentuk pemaksaan kehendak Tuhan. Terlebih lagi dalam makna klasik, hukum tak ada kaitannya dengan keadilan. Ini hukum yang berongga, yuridis murni, tak berdasar hukum alam. Jika keadilan memberi hak pada segala sesuatu sesuai keberadaannya (sifat alaminya), maka manusia harus memahami sesuatu itu agar dapat bertindak adil. Tapi karena segala sesuatu dalam pandangan Ash’arit tidak memiliki sifat alami, manusia tak bisa memahaminya dengan cara ini; segala sesuatu hanyalah kumpulan atom sesaat.

Lantas, apa keadilan itu, bagaimana membahasnya? Kelihatannya hanya dengan mengatakan : Tuhan menyuruh sesuatu hal dan melarang yang lain—ranah eksklusif wahyu. Al-Shafi’i, pendiri mazhab Shafi’i, menegaskan, “Keadilan adalah kepatuhan seseorang pada Tuhan.” Apapun yang dikatakan hukum itulah keadilan, tak ada cara lain menafsirkan keadilan diluar definisi ini.

Dalam ‘Al-Mustasfa fi ‘Ilm al-Usul’ (terbaik [terpilih] dalam subjek teologi [Islam]), al-Ghazali menyatakan secara eksplisit: “Wajib [keharusan] tak punya arti (makna) selain apa yang telah Allah Ta’ala wajibkan (awjaba) dan perintahkan dengan ancaman hukuman atas kelalaiannya; jadi jika tak ada wahyu, apalah arti kata wajib?” [Dgn kata lain: tanpa wahyu, tidak ada kewajiban ---ali5196]

Jawaban atas pertanyaan retoris ini, sudah tentu, tidak ada. Tak perlu membenarkan perilaku manusia bila Tuhan tidak mewahyukan itu perlu; juga tak ada cara menjawab pertanyaan apakah kebenaran yang harus dilakukan selain yang diwahyukan.

Kemudian al-Ghazali mengajukan pertanyaan retoris lagi, “Jika Ia tidak memberi tahu, bagaimana kita bisa tahu ada pahalanya?” Sudah tentu, dalam premis Ash’arit, tidak akan dan tidak dapat diketahui jika Ia tidak memberi tahu (lewat wahyu). Tak seperti Mu’tazilla, al-Ghazali tak bisa menjawab bahwa pahala diperoleh dari sifat Tuhan yang esensiNya meliputi atribut keadilan-- pemahaman yang juga telah dikaruniakanNya pada manusia. Berlawanan dengan Mu’tazilla, bagi Ash’arit wahyu tak hanya menyatakan baik buruk; tapi juga mengandung kebaikan dan kejahatan. Sebab itu, wahyu adalah sumber informasi tunggal ttg apa yang harus diberi pahala.

Mengapa Tuhan menghukum tindakan tertentu dan memberi pahala tindakan lain? Karena Tuhan dapat membuat aturan tanpa alasan, tentunya tak ada jawaban atas pertanyaan ini. Lantas, apa isi keadilan ini? Jika seseorang berperilaku sesuai pengertian keadilan ini, adakah konsekuensi yang dapat diandalkan atas suatu tindakan? Karena haram hanya soal ketentuan Tuhan semata, Tuhan dapat sewenang-wenang memutuskan memberi pahala perilaku tsb, dan menghukum perilaku yang halal? Kelihatannya bertentangan dengan ayat Qur’an (3:25): “Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).”

Tapi Qur’an juga berkata, “Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(2:284) Dan “Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”(5:18) Juga, “Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (5:40).

Al-Ghazali menjelaskan:
“Keadilan Allah tak bisa dibandingkan dengan keadilan manusia. Manusia mungkin bertindak tak adil dengan mengambil hak orang lain, tapi ketidakadilan tidak ada dalam diri Allah. KuasaNya-lah menurunkan banjir besar pada umat manusia dan jika Ia melakukannya, keadilanNya tak bisa disalahkan. Tak ada yang mengikatNya melakukan sesuatu, ketidakadilan tak ada padaNya, dan Ia tidak menerima kewajiban dari siapapun.”
Ketidakadilan tak ada pada Tuhan, karena menurut al-Ghazali, keadilan berarti melakukan suatu kewajiban—suatu hal yang berakibat kesalahan serius bila tidak dilaksanakan. Tuhan tak punya kewajiban dan tak dapat disalahkan. Baik buruk, adil tak-adil, terkait masalah tercapai tidaknya tujuan. Karena Tuhan tak punya tujuan, istilah ini tak berarti bagiNya. Ia dapat melakukan apapun tanpa dipersalahkan. Dinyatakan dalam Qur’an ”Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”(21:23)

Dalam ‘Middle Path in Theology,’ al-Ghazali berkata,
“Kami tegaskan bahwa Allah Ta’ala bebas untuk tidak memaksakan kewajiban pada hambaNya, sebagaimana Ia juga bebas memaksakan kewajiban yang mustahil dilakukan, menyebabkan rasa sakit pada hambaNya tanpa penggantian dan tanpa [didahului] perlawanan [dari mereka]; tak perlu bagiNya memperhatikan apa yang paling menguntungkan bagi mereka, atau memberi pahala atas kepatuhan atau hukuman atas ketidakpatuhan.”
Ini merupakan antithesis ajaran Mu’tazilla bahwa Tuhan harus memberi pahala atas kebaikan dan hukuman atas kejahatan, dan Ia takkan memaksakan kewajiban pada manusia diluar batas kemampuan mereka.

Al-Ghazali mengutip Allah: “Mereka (yang ditakdirkan--ali5196) untuk kebahagiaan, Aku tak perduli; dan mereka (yang ditakdirkan) untuk Neraka, Aku tak peduli.” Ekspresi ketidakpedulian ilahi ini didukung hadis:

“Abu Darda meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata: Allah menciptakan Adam. Lalu Ia memukul bahu kanannya dan mengeluarkan ras putih seolah mereka benih, dan Ia memukul bahu kirinya dan mengeluarkan ras hitam seolah mereka arang. Lau Ia berkata pada yang kanan: 'Pergilah ke surga dan Aku tak perduli.' Ia berkata pada yang kiri: 'Pergilah neraka dan Aku tak peduli.'”
Sebuah cerita popular, kemungkinan fiksi, dikisahkan sejarawan abad ke-19, Sir William Muir, yang menggambarkan hal serupa:

Sewaktu Kalif Omar/Umar berangkat ke Yerusalem untuk menerima penyerahan diri, ia menyampaikan pidato, yang diantaranya mengutip Qur’an: “Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.” 
Tiba-tiba, “God forbid!” teriak seorang pendeta Kristen di tengah kerumunan, menyela sang Kalif, jubahnya berguncang tanda kegusaran; “Tuhan tidak menyesatkan siapapun, melainkan menghendaki jalan yang benar bagi semua.” Omar meminta agar Kristen itu menjelaskan maksudnya. Si pendeta berkata ke arah orang-orang, “Tuhan tidak menyesatkan siapapun.” Omar lalu melanjutkan pidatonya, dan untuk kedua kali, si pendeta menyela dengan kata-kata menjengkelkan. Omar marah dan berkata: “Demi Tuhan! Jika ia melakukannya sekali lagi, aku akan memenggal kepalanya saat ini juga.” Lantas, si pendeta terdiam, dan Omar meneruskan, “Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.”
Tentu saja kata-kata si pendeta terdengar mirip dengan seorang Mu’tazilla.

Pandangan ttg kesewenang-wenangan Allah secara konsisten dianut Ash’arit dan pengikutnya. Dalam ‘Kitab al-Fisal (Detailed Critical Examination)’ Ibn Hazm (994-1064) menegaskan, “Ia menghakimi sesuai kehendakNya dan apapun keputusanNya adalah adil.” Ibn Hazm memperjelas “apapun” dapat berarti segala sesuatu: “Jika Allah Ta’ala memberitahu kita bahwa Ia akan menghukum kita atas tindakan orang lain ….atau atas kepatuhan diri kita, itu semua benar dan adil, dan kita tak seharusnya berkeberatan menerimanya.” Teolog Ash’arit, Al Fakhr al-Razi (1149-1209), menyatakan: “Menurut agama kita, mungkin saja Tuhan mengirim penghujat ke surga dan orang benar serta penyembahNya ke neraka abadi, karena hak kepemilikan ada padaNya dan tak seorangpun dapat menghentikanNya.” Tentunya ini persis berlawanan dengan ajaran Abd al-Jabbar (Mu’tazilla) mengenai “Janji dan Ancaman,” dan keduanya sama-sama mengandalkan ayat Qur’an yang bermakna ganda ttg keadilan.

Bagi pihak luar, dimensi yang berubah-ubah dari bentuk Islam ini nampak gamblang di abad pertengahan. Filsuf besar Maimonides (1135-1204) bercerita pengalamannya di Mesir sebagai gambaran cara pikir penganut Islam:
Setiap pagi, kalif berkeliling Kairo melewati rute yang sama, tapi keesokan harinya ia bisa saja mengambil rute yang berbeda. Mengapa? Karena ia kalif dan bebas melakukan keinginannya. Setiap pagi matahari terbit di Timur dan terbenam di Barat. Tahun demi tahun; juga hari ini. Tapi besok, mungkin terbit di Selatan dan terbenam di Utara. Tergantung kehendak Allah dan tak ada yang berkata tak mungkin. (Kenyataannya, beberapa literatur apokalips Islam memprediksikan matahari akan terbit di Barat.) Maimonides menyimpulkan bahwa, segala yang eksis secara konstan serta dalam bentuk, dimensi dan properti yang permanen [di alam] hanyalah mengikuti kebiasaan…….Berdasarkan pondasi inilah keseluruhan struktur (ajaran Islam) dibangun.”
Maimonides bukan satu-satunya yang menyadari masalah ini. Dalam ‘Lecture on the History of Philosophy,’ Hegel mengamati, di dalam Islam versi ini, “aktivitas Tuhan digambarkan sebagai peniadaan rasio yang sempurna.” dan, “Yang kita lihat disini adalah pemutusan total kesalingtergantungan antar segala hal yang terkait rasionalitas…………[aktivitas Tuhan] sama sekali abstrak, dan itulah sebabnya perbedaan (antar berbagai hal) yang diterima sebagai suatu fakta, menjadi suatu ketidakpastian ………… Dunia Arab mengembangkan sains dan filsafat atas dasar ketidakpastian ini.

Dalam buku ‘The Decline of the West,’ Oswald Spengler menulis, “Islam gambaran tepat kemustahilan manusia sebagai makhluk bebas yang memiliki karakteristik dan fungsi yang sama dengan Tuhannya …… Di seluruh alam semesta hanya ada satu penyebab langsung semua kejadian: suatu bentuk ke-ilahian yang tak memerlukan alasan atas segala tindakannya.”

Aspek ke-Tuhanan ini juga diungkap penganut Islam radikal, Sayyid Qutb dalam ‘The Shadow of the Qur’an: “Setiap kali Qur’an menyatakan suatu janji atau hukum yang tetap, ini akan selalu diikuti sebuah pernyataan tersirat bahwa kehendak Ilahi bebas dari semua batasan dan larangan, bahkan oleh janji atau hukumNya sendiri. KehendakNya adalah absolut dan melampaui segala janji dan hukum.''

Hilangnya Kehendak Bebas

Metafisika Ash’arit yang membuat keadilan Tuhan tidak terpahami—karena keadilan didefinisikan sbg: apapun yang dilakukan Tuhan—juga berdampak buruk pada kebebasan manusia. Bagi Mu’tazilla, kebebasan manusia merupakan masalah keadilan Tuhan, sedang bagi Ash’arit ini justru merupakan pelanggaran atas kemahakuasaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan tidak akan mahakuasa lagi jika ada makhluk lain punya kuasa. Kekuasaan tak dapat dibagi. Jika manusia penyebab dari tindakannya sendiri, lantas bagaimana Tuhan itu bisa mahakuasa? Penyebab Pertama haruslah jadi penyebab satu-satunya. Lantas, apa implikasinya bagi manusia jika ia hanya terdiri dari atom-atom ruang-waktu yang diciptakan dan dihancurkan seketika atas perintah Tuhan? Apakah manusia tetap memiliki kapasitas bertindak sendiri? Dalam bukunya, Al-ibanah ‘an Usul al-Diyanah (The Clear Statement on the Fundamental Elements of the Faith), al-Ash’ari menyatakan kekuasaan tirani Tuhan mengalahkan inisiatif manusia:

Kami yakin bahwa Tuhan menciptakan sesuatu hanya dengan memerintahkan: Jadilah, sebagaimana tercantum [dalam
Qur’an 16:4o]: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "KUN (jadilah)", maka jadilah ia” ; dan tak ada baik atau buruk di dunia, kecuali yang sudah ditentukan Allah. Kami percaya segala sesuatu adalah melalui kehendak Allah dan tak seorangpun dapat melakukan sesuatu sebelum Ia melakukannya, atau bertindak tanpa bantuan Allah, atau melepaskan diri dari kekuasaan Allah. Tidak ada Pencipta lain selain Allah, dan segala perbuatan ciptaan diciptakan dan ditentukan sebelumnya oleh Allah, seperti kataNya [di Qur’an 37:96]: “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” …….

Kami percaya Allah menolong orang beriman untuk mematuhiNya, memilih mereka, melebihkan mereka, bermurah hati pada mereka, memperbaharui dan menuntun mereka; sebaliknya, Ia menyesatkan orang tak beriman, tak menuntun atau memberi petunjuk dengan tanda, karena mereka telah dinyatakan kafir sesat. Akan tetapi, jika Ia hendak memilih dan memperbaharui mereka, mereka akan dibenarkan, dan jika Ia hendak memberi petunjuk, mereka akan diberi petunjuk ……….Tapi kehendakNya juga bila mereka harus tersesat [sing: kafir], sebagaimana yang Ia telah tetapkan sebelumnya. Karena Ia telah meninggalkan dan mengunci hati mereka. Kami percaya baik buruk adalah keputusan dan takdir Allah [qada’ wa qadar]: baik buruk, manis pahit, dan kami tahu bahwa apa yang ditetapkan luput dari kami tidak akan menimpa kami, dan apa yang ditetapkan menimpa kami tidak akan luput dari kami, dan ciptaan tak dapat menghasilkan keuntungan atau kerugian bagi diri mereka sendiri, tanpa Allah.


Manusia tak dapat memulai ataupun menyelesaikan suatu tindakan, ia hanya punya niat dan ia akan diadili berdasar niatnya itu. 
Duncan MacDonald meringkas pandangan Ash’ari tsb:
“Tiada yang lain kecuali Allah yang melakukan semua tindakan—semuanya. Dari dan oleh Allah semua tindakan. Misal, saya mengangkat buku ini, mustahil dikatakan tindakan tersebut saya yang melakukannya …….gerakan tanganku memegang buku, mengangkatnya, gerakan buku itu sendiri ke atas, semua melibatkan serangkaian—secara cepat tentunya—penciptaan ajaib langsung dari Allah.” Dan: “Manusia tak dapat menciptakan sesuatu; Tuhanlah satu-satunya; kekuatan manusia tak berakibat apapun terhadap tindakannya. Tuhan menciptakan kekuatan (qudrah) dan pilihan (ikhtiyar) pada ciptaannya. Kemudian Ia ciptakan tindakan berkaitan dengan kekuatan itu dan pilihan juga tercipta.” Contoh, seseorang mengambil pena dan menulis. Sebenarnya, Tuhan yang menciptakan keinginan menulis dalam diri orang itu, kekuatan untuk menulis, serta gerakan tangan dengan pena ke kertas. Lalu Allah juga yang menciptakan gambar-gambar yang muncul di kertas yang tersentuh pena.

Lantas, dengan cara apa manusia dapat bertindak? Ash’ari menjawab dengan gagasan aneh bahwa manusia “menerima” semua tindakan tsb dari Tuhan, Penyebab sebenarnya. Teori penerimaan tsb mirip pendapat Jabrite Jahm bin Safwan (w.745), yang berkata bahwa tindakan manusia dihubungkan dengan dirinya sendiri sebagaimana “tumbuhnya buah pada pohon.” Pengikut Ash’arite, Al Shahrastani (w.1153) mencoba menjelaskan bahwa “Tuhan menciptakan, dalam diri manusia, kekuatan, kemampuan, pilihan, dan niat untuk melakukan suatu tindakan, dan manusia, yang dianugerahi kekuatan ini, bebas memilih salah satu alternatif, dan bermaksud atau berniat melakukan tindakan, yang mana tindakan ini diciptakan dan diselesaikan Tuhan.” Juga Tuhan ciptakan dalam pemikiran manusia tsb penerimaan atas tindakannya, artinya, bahkan penerimaan manusia itu sendiri atas tindakannya langsung diciptakan Tuhan. Jika manusia merasa bebas atas tindakannya, itu semata-mata karena Tuhan telah menempatkan perasaan tsb dalam dirinya.

Ash’ari tetap berpegang pada ketidaknyataan tindakan manusia—dalam arti manusia tidak bertindak benar-benar karena kehendak bebas dan tenaganya—yang tersirat dalam teori ini, karena Tuhan yang menciptakan tindakan dan kehendak untuk bertindak. “Jika Tuhan dapat menciptakan doa dalam seseorang agar ia menjadi pendoa, mengapa tak mungkin bagiNya menciptakan keinginan dalam diri seseorang? [Dengan demikian] orang tersebut menjadi berkeinginan. Atau [mengapa tidak mungkin menciptakan] pidato, agar seseorang menjadi orator?” Mu’tazilla mengatakan bahwa pidato semacam itu bukanlah pidato nyata, karena karakter penciptaannya, seperti orang yang bicara dalam tidur. Jawab Ash’ari: “Apakah itu perkataan penderita epilepsi, orang bicara dalam tidur, atau perkataan orang dalam keadaan sadar, semuanya tidak nyata.” Al-Ash’ari menyamakan kesadaran, pidato rasional dengan gumaman irasional bawah sadar. Pembicaraan orang yang sedang sadar atau sedang tidur penyebab dan aktornya sama, Tuhan.

Al-Ash’ari memperjelasnya dalam format dialog:

Tanya : Mengapa terjadinya suatu tindakan yang merupakan suatu penerimaan (dari Tuhan) tidak membuktikan bahwa tidak ada penyebab atau pencipta lain, selain Allah?
Jawab : Tepat, persis seperti itulah yang kami katakan.
Tanya : Lantas, mengapa hal itu tidak membuktikan tidak ada kekuasaan lain selain Allah?
Jawab : Tak ada penyebab lain yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya kecuali Allah, dan tak ada kekuasaan lain yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya, dalam arti yang menciptakan, selain Allah.
Jika manusia tak punya kapasitas sbg penyebab tindakannya sendiri, gagasan kehendak bebas tentunya jadi tak masuk akal, begitu pula gagasan “penerimaan.” Dalam kritikannya, Averroes berkata bahwa Ash’arit meyakini “walaupun manusia punya kuasa untuk ‘menerima,’ apa yang ia terima dan juga tindakan menerima itu, keduanya diciptakan Tuhan…. Tapi hal ini jadi tak berarti, karena jika Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan baik kuasa untuk menerima dan apa yang diterima manusia, maka si hamba yang menerimanya sudah tentu perlu ditentukan sebelumnya. (Lara: predestinasi)

Sbg pengganti kehendak bebas, Ash’arit memperkuat kecenderungan predestinasi tradisionalis. Al-Ghazali berkata, “Di balik lautan [pemahaman keadilan Tuhan], terletak misteri predestinasi, dimana banyak yang mengembara dalam kebingungan dan yang sudah tercerahkan dilarang membuka rahasia. Intinya, baik dan buruk telah ditakdirkan sebelumnya. Apa yang ditakdirkan, tentu terwujud menyusul kehendak ilahi. Tak ada yang dapat menentang keputusan Tuhan, serta menggugat ketetapan dan perintahNya.”

Menarik diperhatikan bahwa al-Ghazali yang menentang ide kausalitas deterministik/konsep sebab akibat, bagaimanapun juga, seorang penganut predestinasi yang bersikeras bahwa segala sesuatu perlu terjadi (yi: sebab akan menimbulkan akibat--ali5196). Kelihatannya, bukan kausalitas, tapipenyebabnya yang jadi masalah.

Bagaimana tindakan langsung Tuhan terhadap manusia bisa dijelaskan secara metafisik? Menurut pengamatan Ilmuan Islam, Len Godman: “Ash’arit mengakui bahwa kita bertindak sesuai kapasitas ….Tapi kapasitas, bagi Ash’arit, diciptakan Tuhan di momen terjadinya tindakan. Tidak eksis sebelumnya (semacam kebiasaan atau potensi tak terwujud semata), dan juga bukan polivalen (bisa lebih dari satu). Jika kapasitas untuk bertindak mendahului tindakan, Ash’ari berargumen, pasti tindakan sudah terjadi. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi seketika atau, jelas Goodman, “hanya yang terjadilah yang nyata.” Dan juga, potensi hanya eksis untuk suatu tindakan, bukan kekuatan yang eksis mendahului tindakan.

Ash’ari berkata, “Tak seorangpun melakukan sesuatu sebelum ia melakukannya.” 

Fazlur Rahman mengillustrasikan maknanya:.” “Sebelum aku mengangkat lenganku, aku tak punya kekuatan mengangkat lenganku; Tuhan menciptakan kekuatan dalam diriku, disaat aku benar-benar mengangkat tanganku.” Tindakan yang terjadi adalah satu-satunya tindakan yang dapat terjadi. Ash’ari menjelaskan, “Ini suatu kondisi penciptaan kekuatan yang eksistensinya mencakup eksistensi objek kekuatan tsb.” Tindakan harus terjadi. Dengan kata lain, ini pembalikan dari formulasi Fazlur Rahman ttg keberatan kaum Jabrite bahwa kebebasan manusia adalah perbudakan bagi Tuhan. Bagi Ash’arit, kebebasan Tuhan berarti perbudakan bagi manusia.

Sikap Ash’arit ini membuat para pemikir Islam menggunakan istilah “substansi dan kejadian” untuk menggambarkan realitas. Mereka enggan menggunakan istilah “potensi dan tindakan” atau “materi dan bentuk” yang dipakai oleh pengikut Aristoteles. Potensi dan tindakan dalam suatu benda punya sifat alami yang berlangsung terus. Sifat alami dalam istilah potensi berarti suatu benda punya kapasitas untuk menjadi----tapi belum. Sebab itu, biji pohon dikatakan punya potensi. Tak masalah, dimana posisi biji pohon tsb dalam perjalanannya menjadi pohon sifat alaminya mencegah ia tumbuh jadi manusia, atau benda lain selain pohon.

Inilah tepatnya yang diperdebatkan Ash’ari yang bersikukuh ttg simultanitas “potensi dan tindakan”. Suatu benda hanya ada pada momen penciptaannya saja, setelah itu mungkin dapat menjadi benda lain, tepatnya diganti sesuatu yang lain. Pohon kelihatannya sama sepanjang waktu karena serangkaian momen yang eksis sesuai urutan kebiasaan. Karena alasan yang tak dapat dipahami manusia, aturan Tuhan-lah yang tetap menjaga kelangsungan urutan kebiasaan itu, karena sesuatu tidak memiliki keteraturan dalam dirinya sendiri. Bahkan al-Ghazali sendiri heran akan kekonsistenan Tuhan dalam urutan kejadian api membakar kapas, tapi ia sendiri tidak mengijinkan pertanyaan yang bersifat menemukan jawaban mengapa api akhirnya bisa membakar kapas:
“Bentuk2 bervariasi ini terjadi oleh hal yang disembunyikan dari kita, dan manusia tidak punya kekuasaan untuk memahaminya.” Dengan demikian tidak ada entelechy (potensi dasar), atau seperti yang dinyatakan Aristoteles “having one’s end within” (dengan entelechy-nya manusia memiliki tujuan). Karena Tuhan tidak bertindak dengan rancangan atau tujuan tertentu, ciptaanNya juga tidak memiliki tujuan.

[...] Pemikiran Ash'arit ini mengakibatkan ketidaklogisan (incoherence). Ash’ari berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan teori mereka ini sampai mereka mengorbankan teori2 metafisika alami. Mereka juga mengosongkan istilah potensi dari makna sebenarnya, karena bagi mereka atom tak dapat eksis dengan potensi menjadi sesuatu, selain dari apa yang ada dalam keberadaannya yang sangat singkat. Sebenarnya potensi itu tak ada, murni tindakan seketika dengan Allah pelakunya.

Banyak yang hilang dengan pengingkaran keberadaan potensi. Gagasan Aristoteles ttg potensi dan tindakan adalah solusi bagi masalah metafisik bagaimana sesuatu dapat berubah dan disaat yang sama tetap sama. Filsuf sebelum Socrates ada yang mengemukakan bahwa segala sesuatu berubah dan tak ada yang tetap sama (Heraclitus) atau segala sesuatu tetap sama dan perubahan hanyalah ilusi (Parmenides). Kedua gagasan berlawanan dengan pengalaman sehari-hari manusia dimana segala sesuatu berubah tapi entah bagaimana tetap mempertahankan identitas mereka. Ada sesuatu yang berlangsung dalam perubahan.

Nah, pendapat Ash’arit ini malah berbalik ke pendapat sebelum era Socrates, yi Heraclitus. Keduanya juga dihadapkan pada masalah besar terkait epistemologi, sebagaimana ditunjukkan Socrates pada murid Heraclitus, Cratylus: Jika perubahan adalah segalanya, bagaimana manusia bisa tahu? Socrates bertanya: “Dapatkah kita benar-benar berkata pengetahuan itu ada, Cratylus, bila segalanya terus menerus berubah dan tak ada yang tinggal? Karena pengetahuan tak dapat berlangsung kecuali ia tetap tinggal dan mempertahankan identitasnya. Jika pengetahuan berubah esensinya, ia akan kehilangan semua identitasnya dan dengan demikian tidak akan ada pengetahuan."

Dengan menumbangkan pondasi pengetahuan lewat cara ini, posisi Ash’arit juga menimbulkan masalah dengan dirinya sendiri: Jika sesuatu benar, bagaimana kita tahu itu benar? Bagaimana seseorang tahu bahwa segala sesuatu berubah kecuali ada sesuatu dalam diri pengamat yang tetap sama? Dengan kata lain, bagaimana mungkin memori, dasar identitas dan peradaban, eksis?

Karena pandangan seperti itu tak dapat dibuktikan secara empiris, apa motivasi dibalik penerapannya—terutama karena pendapat tsb bertentangan dengan pengalaman realitas yang lazim? Orang jadi bertanya-tanya, mengapa Ash’arit merasa perlu merangkul skeptisisme Yunani hingga sejauh ini?

Fazlur Rahman berpendapat, “Para Mutakallim/Ash'arit menolak doktrin Aristoteles mengenai materi dan bentuk dan dengan demikian menolak kausalitas alam. Tapi langkah ini mereka anggap perlu untuk mendukung teori agama mereka. [...]” Dengan kata lain, mereka mulai dengan kesimpulan yang diterima dari wahyu, lalu memakai itu untuk menjelaskan agama mereka secara metafisik. Ini membuat mereka mengabaikan kausalitas alamiah. Singkatnya, kaum Ash’arit dipaksa teologi mereka untuk menolak kenyataan.

MacDonald mengajukan suatu hipotesis: “Sesungguhnya, esensi filsafat mereka (Ash'arit), adalah suatu bentuk skeptisisme yang menghancurkan usaha filsafat untuk membawa manusia kembali pada Tuhan dan wahyuNya serta mendorong manusia memandang Tuhan lewat ciptaanNya: alam semesta.”Dengan kata lain, kebijakan Ash'arit untuk memberangus akal meninggalkan manusia tanpa alternatif. Pokoknya bagi mereka, 'Yang benar adalah Tuhan mereka dan segala sesuatu diluarnya adalah salah. Titik.'




Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money