Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 15, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 9

The Closing Muslim Mind

Bab 9: KRISIS

diterjemahkan oleh lara dan sepupunya, Anne. Diperiksa oleh ali5196

Image
Quetta/Pakistan, bom ramadan 2011
Image
Muslim ngamuk karena kartun, buku, Kristen, Hindu, Yahudi, Palestina, kurang makan dsb dsb
Image
Muslim ngamuk karena wanita, tubuh wanita, kurang taatnya wanita dsb dsb
Image
Akibat ngamuknya muslim kalau anak2 madrasah malas belajar

Krisis besar yang telah mencengkram dunia Islam menimbulkan pertanyaan pada umat Islam: "Dapatkah kita memasuki dunia modern dan tetap mempertahankan iman kita?" Chandra Muzaffar, filsuf Islam Malaysia paling terkemuka, menyatakan bahwa pertanyaan tersebut timbul akibat meluasnya persepsi bahwa “Islam dan dunia sekuler Barat pasca-Jaman Pencerahan (post-Englightenment) secara diametrik saling bertentangan satu sama lain. Umat Islam kemudian menyadari, kalau mereka tidak merubah dunia sekuler Barat, visi keadilan yang terkandung dalam Qur’an tak akan pernah terwujud.” Transformasi Barat adalah tujuan Muslim/Islam, tapi yang jadi masalah, caranya dng damai atau kekerasan? Salah satu jawaban atas pertanyaan diatas sudah dikemukakan kaum Islamis dan Osama bin Laden, yi. TIDAK, kita TIDAK dapat mempertahankan iman kita di dunia modern. Sebab itu, kita harus menghancurkan modernitas dan mendirikan lagi kekhalifahan.

Jawaban Islamis (Islam garis keras tsb) didasarkan pada patologi spiritual berdasarkan sebuah deformasi teologis, yang terbukti telah menghasilkan budaya disfungsional. (lara: teologi menyimpang->penyakit spiritual->budaya mandeq->robot kekerasan). Oleh karena itu, masalah harus ditangani pada level dasar. Sangat keliru untuk menyatakan bahwa untuk mengakhiri terorisme, Barat harus memperbaiki kondisi perekonomian Timur Tengah. Teroris adalah produk sebuah ideologi totaliter yang membenarkan terorisme. Itulah akar penyebabnya, bukan ekonomi! Ini sama saja dgn mengatakan bahwa 'untuk mengatasi Nazisme kita harus mengatasi problem kemiskinan di Jerman.' Pernyataan itu hanya akan jadi bahan tertawaan, namun, pemikiran seperti itu ditanggapi serius saat ini.

Timur Tengah miskin akibat sebuah budaya disfungsional yang didasarkan pada teologi yang cacat. Jika tidak direformasi pada level tsb, rekayasa ekonomi atau pengembangan tatanan politik konstitusional tak akan berhasil. Jika seseorang tinggal di tengah masyarakat yang menganggap segala sesuatu berasal dari penyebab pertama (Allah), ia tak akan melihat ke sekelilingnya dan mencoba memperbaiki kinerjanya. “Untuk menjamin fungsinya,” tulis Pervez Hoodboy, “masyarakat terorganisir memerlukan orang-orang modern—orang-orang yang memahami hubungan sebab akibat (mengutamakan akal--lara).” Sesuai pengamatan Fouad Ajami, ketidakmampuan memahami hubungan sebab akibat sudah menjadi pandemik di dunia Islam. :rolleyes:

Adakah komunitas dalam dunia Islam yang dapat mengemukakan suatu teologi yang memungkinkan pemulihan akal, re-hellenisasi Islam dengan Tuhan sebagai akal? Dapatkah Islam melakukan apa yang disebut Samir Khalil Samir sebagai “suatu Pencerahan, dengan kata lain, revolusi pemikiran yang menegaskan nilai realitas duniawi dalam dan dari dirinya sendiri, terlepas—walau tak bertentangan-- dari agama?'' Jika tidak, sulit membayangkan atas dasar apa umat Islam bisa memodernisasi diri atau atas dasar apa dialog dengan umat Islam dapat dilangsungkan. Ada banyak umat Islam (di Turki dan negara-negara demokrasi sedang berkembang seperti Indonesia dan Malaysia, dan sejumlah besar populasi muslim India) yang ingin memasuki dunia modern—dengan sains dan lembaga politik modern—sambil tetap mempertahankan kepercayaan mereka.

Fazlur Rahman berpendapat bahwa “Qur’an sendiri tidak hanya memiliki sejumlah ajaran filsafat definitif, tapi juga dapat menjadi katalis yang kuat untuk membangun pandangan dunia yang menyeluruh konsisten dengan ajarannya. Hal tsb tidak pernah dicoba secara sistematis dalam sejarah Islam; padahal dapat dan harus dilakukan.” Kelihatannya, Fazlur Rahman menganjurkan upaya dalam Islam serupa dengan yang dilakukan Aquinas dalam Kekristenan. Aquinas mengembangkan ide-ide tersembunyi filsafat yang ada dalam Kitab Suci Kristen dan mendamaikannya dengan akal. Ia memperlihatkan bahwa ‘Logos’ Yunani adalah gambaran pendahuluan ‘Logos’ Kekristenan. Wahyu dan akal berdasarkan sumber yang sama. Usaha keras tsb terlihat dalam ‘The Thomist’ (jurnal filsafat & teologi dalam tradisi dan spirit Aquinas--lara), yang terbit 13 abad setelah Kristus. Saat ini, Islam berada dalam jarak kronologis hampir sama, dari saat pendiriannya. Akankah mereka yang mengikuti pemikiran Fazlur Rahman, merasakan kebutuhan yang sama dan berusaha melakukan apa yang ia gariskan? Ada sejumlah pemikir Islam terkemuka yang ingin melakukannya dan berjuang menemukan ruang publik untuk usahanya tersebut.

Sayangnya ide-ide yang menarik bagi umat Islam saat ini bukanlah ide para pemikir tsb. Ide-ide yang sekarang digandrungi umat Islam adalah ide-ide yang berasal dari al-Qaeda, neo-Kharijit dan Hanbali. Seperti yang dideskripsikan analis Tony Corn, “Dalam 30 tahun terakhir, satu label tertentu—pan-Islam Salafisme—telah mengisi kekosongan akibat kegagalan pan-Arab Socialism, dan usaha mereka untuk memarjinalkan bentuk Islam yang lebih tercerahkan terus berlangsung. Salafisme saat ini menempati posisi semi hegemoni di dunia Islam.” Hoodboy menegaskan pendapat ini: “Gerakan-gerakan kaum fundamentalis telah mendominasi wacana intelektual di negara-negara Islam utama. Gerakan-gerakan kaum modernist/pembaharu Islam, yang menekankan kompabilitas Islam dengan sains dan rasionalisme telah kehilangan hegemoni budaya dan ideologi. Kaum modernis telah disingkirkan dari panggung budaya dan politik serta sistem pendidikan modern. Modernitas yang lahir 50 tahun lalu telah runtuh di negara-negara Islam utama. Orthodoksi telah merebut tugas untuk membimbing umat Islam. Dan wacana mereka ini adalah undangan ke arah bencana dan mungkin ke abad kegelapan baru bagi umat Islam.

Dalam sebuah deskripsi kuat ttg bencana yang mengancam, pemikir Islam kontemporer dari Tunisia, Abdelwahab Meddeb, yg tinggal di Paris, berkata:

“Theosentrisme absolut yang sangat gila ini, belum pernah berkembang begitu radikal dalam tradisi Islam sebelumnya, dunia berubah menjadi kuburan. Bila Maududi mencela Barat karena membunuh Tuhan (dengan atheisme---penerj), kita juga dapat menuduhnya telah mentasbiskan kematian humanitas. Sistemnya yang sangat keterlaluan menciptakan totalitarianisme yang kasat mata, menghasut dan menyuntikkan semangat pengikutnya untuk menyebar kematian dan kehancuran di seluruh muka bumi. Ini adalah sejenis peniadaan kehidupan, dimana penalaran teoritis yang tidak dikontrol penalaran praktis, akan mengarah pada nihilism…. Visi radikal dan mengerikan ini membangun suatu tabula rasa dan mengubah dunia jadi suatu area nuklir yang tandus sejauh mata memandang, dalam lembaran yang dihitampekatkan oleh Sayyid Qutb.”

Meddeb memprediksikan bahwa tercapainya visi “pembebasan” Qutb (pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir) akan “mengubah manusia menjadi zombie di suatu area hangus.” Tapi sayangnya, ide Qutb telah meresap kemana-mana dan begitu sedikit yang telah dilakukan untuk melawan kecenderungan ini.

Perubahan bentuk Islam menjadi Islamisme adalah berita buruk, bukan saja bagi Barat tapi juga bagi mayoritas umat Islam yang tak ingin hidup dalam teokrasi totaliter. “Bagi Barat ini hanyalah ancaman fisik dalam bentuk terorisme,” kata jurnalis Pakistan Ayaz Amir. “Bagi dunia Islam….terjebak dalam bin Ladenisme berarti perjalanan waktu mundur ke abad-abad kegelapan pemberangusan pengetahuan dalam Islam. Ini berarti terjebak dalam lumpur yang menghisap dunia Islam ke belakang.” Mayoritas Muslim moderat bukanlah masalah bagi sekelompok kecil
jihadis yang disiplin dan terorganisir. Sebagaimana juga dengan mayoritas orang Rusia dalam jaman kekaisaran Russia yang tiba-tiba mendapati diri mereka diperintah suatu kelompok kecil, klik kekerasan pengikut Stalin dan Lenin, 1917. Atau mayoritas orang Jerman yang tiba2 sadar bahwa negera mereka telah diambil alih Hitler.

Masalah dari sisi akal, diungkapkan seorang Islamis Indonesia, “Islam liberal tidak memiliki kader.” Sementara pihak lain memiliki kader lebih dari cukup. Kelompok-kelompok kecil, terorganisir ketat, berdisiplin tinggi, dan punya cukup dana, berusaha meniru keberhasilan Leninis dengan taktik propaganda dan kekerasan yang serupa. Yang terburuk terjadi di dunia Arab. Semakin banyak umat yang tertarik pada pesan kaum Islamis semakin bahaya keadaan dan semakin genting pula tindakan untuk mengatasinya. Para Islamis punya kepentingan menjadikan situasi semakin memburuk, dan nyatanya memang mereka SUKSES!

Tak terelakkan, Islamis akan berhasil, kecuali ada strategi untuk melawannya. Mantan presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid, yang juga pimpinan organisasi Islam, Nahdlatul Ulama, telah menyerukan counterstrategy yang didalamnya tercakup penawaran “Visi alternatif yang menarik dari Islam, yang dapat membuang ideologi kebencian fanatik ke tempat asalnya di kegelapan.” Hingga akhir hayatnya, Desember 2009, Wahid tanpa lelah menganjurkan kemitraan dengan dunia non-muslim untuk menegakkan martabat manusia, kebebasan hati nurani, kebebasan beragama dan manfaat modernitas, sebelum raksasa ideologi Islamis membanjiri dunia Islam. Seruan yang menarik, tapi .. walahu alam... mana hasilnya?

Image
(Mantan & alm) Pres Abdurahman Wahid sedang memikirkan counterstrategy melawan Islamis

Bulan Mei 2008, saya berkesempatan berbicara dengan Presiden Wahid. Ketika saya tanyakan ttg makna penindasan thp kaum Mu’tazilla di abad ke-9, ia berupaya menghindar dipahami dan tidak memberi respon langsung, hal yang tidak mengherankan mengingat imej negatif yg ada thp Mu’tazilla. Tetapi, ia menjawab dng cara lain yang menurutku hebat. Presiden Wahid bercerita padaku ttg perjalanannya ke mesjid di Fez, Maroko. Disana, di bawah kotak kaca, ia melihat salinan ‘Nicomachean Ethics’nya Aristoteles. Melihat itu, katanya, ia menangis. Lalu ia berkata: “Jika saja tak ada buku semacam itu, saya sudah menjadi seorang fundamentalis.” Saya bertanya, bagaimana ia tahu dalam sekali pandang bahwa itu ‘Nicomachean Ethic’ Aristoteles? Ia berkata bahwa ia pertama kali membacanya di sekolah asrama ayahnya di Indonesia. Tak diragukan, ini salah satu dari sejumlah pengaruh formatif pada Wahid, tapi penting—bahkan menentukan—dalam “perang ide” yang sedang terjadi dalam Islam.

IRONISNYA, ini justru tidak diperhatikan orang Amerika. Berikut sebuah kisah nyata:

Seorang interrogator AS di Guantanamo yang memiliki pengetahuan luas ttg sejarah Islam dan bahasa Arab, bercerita padaku ttg pembahasannya mengenai Aristoteles dengan seorang tahanan Arab yang cukup terpelajar sewaktu mereka mendiskusikan pentingnya berpikir kritis dan peranannya dalam karya-karya teolog Islam. Si tahanan sangat tertarik dan berkata ia pernah mendengar mengenai Aristotles waktu sekolah, tapi di negaranya murid tidak punya akses pada tulisan2 Aristoteles. Si tahanan meminta untuk meminjam beberapa karya Aristoteles dalam bahasa Arab. Tetapi, ketika si interrogator ke perpustakaan untuk memesannya, sang pustakawan—yang lebih fokus ke Qur’an dan bacaan ringan seperti buku-buku alam dengan banyak gambar—tak dapat melihat relevansinya dengan Aristoteles atau bahkan tak percaya seorang tahanan bisa tertarik pada Aristoteles. (Si interrogator menunjukkan pada saya bahwa “si tahanan jauh lebih intelektual daripada si staf perpustakaan—seharusnya tak seorangpun boleh berasumsi bahwa tahanan2 ini hanya preman kekerasan.”) Perpustakaan tidak memesan Aristoteles, dan alhasilnya ... sebuah kesempatan untuk mengatasi masalah di level benihnya hilang sudah, hanya karena orang tidak paham akan pentingnya hal tsb.

Pilihan

Dalam percakapan dengan seorang mahasiswa di Roma, Paus Benediktus XVI membuat pernyataan yang dengan rapih merangkum inti dari apa yang dipertaruhkan baik bagi Islam maupun Barat. Ia berkata:


“Hanya ada dua pilihan. Apakah kita mengakui keutamaan RASIO yang bersumber pada Nalar Kreatif yang ada pada permulaan segala sesuatu dan merupakan prinsip segala sesuatu—keutamaan akal juga merupakan keutamaan kebebasan—ATAU mengakui keutamaan IRASIONAL, karena segala sesuatu di bumi dan dlm kehidupan kita hanya berfungsi seketika, marjinal dan hanya merupakan produk irasionalitas—akal juga produk irasionalitas. Pada akhirnya, kita TIDAK dapat memilih keduanya, tapi kalau kita memilih [-------------] maka ini adalah pilihan bagi rasionalitas dan untuk keutamaan akal. Tampaknya hal ini bagi saya pilihan yang terbaik, yang memperlihatkan pada kita bahwa dibelakang segala sesuatu ada Intelegensi Agung yang padaNya kita dapat mempercayakan diri kita.”
Kata dalam kurung yang saya hilangkan adalah 'agama Kristen.' Pertanyaannya adalah, apakah kalau kata 'Islam' dimasukkan dlm kalimat diatas maka statemen tsb tetap dapat dibaca dengan benar? Apakah Islam Sunni masih membuka pilihan untuk keutamaan akal? Kita tunggu saja tanggal mainnya!

[...]

Jika Islam bermaksud menemukan jalan keluar dari dilemma saat ini, entah bagaimana caranya mereka harus mempertemukan konsep kesatuan Tuhan (tauhid) dengan kesatuan akal/nalar : nalar dalam Tuhan, nalar dalam ciptaanNya dan nalar dalam manusia. Jika salah satu saja dari ketiga itu tidak memiliki nalar/akal, hubungan diantaranya akan runtuh dalam irrasionalitas. Jika Tuhan tidak memiliki akal, demikian pula ciptaanNya—karena darimana lagi ciptaanNya mendapatkan rasionalitas? Jika sang ciptaan tidak memiliki akal maka manusia tidak bisa bernalar dan berinteraksi. Manusia bahkan tak punya alat refleksi diri untuk menyadari keberadaannya. Hanya ada kehendak, tapi kehendak buta, dan kepercayaan yang berdasarkan kehendak buta akan menjadi kepercayaan buta. Akal dan wahyu yang berdiri sendiri-sendiri (terpisah) akan mendistorsi keberadaan masing-masing. Akal mengajukan pertanyaan yang tak dapat dijawab, dan wahyu tak bisa dimengerti tanpa akal. Memisahkan akal dari kepercayaan (krisis dlm dunia Barat saat ini) atau kepercayaan dari akal (krisis dlm Islam) mengarah ke bencana; mereka harus bekerjasama.

Image
Seperti yang diisyaratkan diatas, apa yang dilakukan Thomas Aquinas bagi agama Kristen, seseorang perlu melakukannya untuk Islam. Tergantung pada apakah paham Ash’arit dilihat sebagai bagian integral Qur’an atau hanya penambahan-penambahan yang dapat diabaikan. Jika karena alasan doktrin hal tsb tidak dapat dilakukan dan Islam Sunni terus ngotot keukeuh menganut moral Ash’arit yang mengarah pada kepercayaan ekstrim, maka Islam SAMPAI KIAMAT (penerj) takkan dapat beradaptasi dengan modernitas, sains modern, serta aturan konstitusional demokrasi dan masa depannya akan sangat suram.

Dr. Muhammad al-Houni, reformis Libya yang tinggal di Italy, sampai pada kesimpulan berikut:
“Masyarakat Arab hanya punya satu dari dua pilihan: memutuskan hubungan dengan peradaban Barat beserta lembaga-lembaga budayanya dan terus membahayakan diri sendiri….atau memutuskan hubungan mereka dengan warisan religius Abad Pertengahan, agar filsafat mereka menjadi filsafat kehidupan dan kebebasan, bukan filsafat kematian dan kebencian.''

Atau spt yang diungkapkan Bassam Tibi: “Jika rasionalisme Islam abad pertengahan yang mengakui universalitas pengetahuan terus dinyatakan sebagai bid’ah, dan terus diadakan polarisasi (antara Muslim dan non-Muslim---penerj), maka umat Islam abad ke-21 akan terus gagal memulai modernitas.”

Masalahnya adalah, kegagalan mereka akan berakibat tragis juga pada kita, non-Muslim. Pemulihan akal, berdasarkan Logos adalah satu-satunya benteng kewarasan. Ini penting bagi Timur maupun Barat. “Come now, let us reason together” (Isaiah 1:18).

Image
http://www.thereligionofpeace.com/

Read More





Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money