Global Voices Advocacy - Defending free speech online

Sep 15, 2011

The Closing Of The Muslim Mind - Chapter 7

The Closing Muslim Mind

BAB 7 KEHANCURAN : KESAKSIAN MUSLIM

Diterjemahkan oleh kalangkilang, diperiksa ali1596

Hari ini menurut orang Arab sendiri, situasi dunia Muslim di Arab berada pada situasi DISfungsional. Ini bukanlah berita yang menyenangkan. Pada penghujung abad ke-19, Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1839-1897) menyatakan, "Perlu dipertanyakan ... kenapa peradaban Arab, setelah menjadi obor penerang bagi peradaban dan cahaya bagi dunia, tiba-tiba padam; dan sampai saat ini kenapa dunia Arab masih tetap terkubur dalam kegelapan sangat pekat." Pertanyaan tersebut kembali diulangi oleh Shakib Arslan seorang pemikir Arab kontemporer dalam bukunya (1960-an) yang berjudul, "Kenapa Umat Islam Terbelakang Saat Bangsa2 lainnya melangkah Maju?"


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Jamal-al-Din_al-Afghani


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Adunis

Penyair Suriah, Ali Ahmad Sa'id (lahir 1930), yang lebih dikenal dengan nama samaran "Adunis/Adonis" dan kandidat hadiah Nobel Sastra (2005), menyatakan, "Jika saya melihat orang-orang Arab, dengan seluruh sumber daya dan kapasitas mereka, dan saya bandingkan dengan pencapaian mereka selama abad terakhir ini dengan yang mampu diraih oleh bangsa lain pada periode yang sama, saya harus menyatakan bahwa kita orang Arab berada dalam fase kepunahan, dalam arti kita tidak memiliki kehadiran yang kreatif di dunia ini." Ali Ahmad Sa'id menyodorkan fakta bahwa kepunahan suatu bangsa datang bilamana bangsa tersebut kehilangan daya kreatif mereka dalam mengubah dan beradaptasi dengan dunia. Dia merujuk pada peradaban Sumeria, peradaban Yunani Kuno dan Peradaban Mesir Kuno yang semuanya sudah punah. Tanda yang paling jelas tentang kepunahan peradaban (bangsa) Arab menurut Ali Ahmad Sa'id adalah, bahwa "kita berada dalam tatanan peradaban dunia baru dengan ide-ide yang usang dan tidak berguna sama sekali".

Image
http://fr.wikipedia.org/wiki/Abdelwahab_Meddeb

Pemikir Tunisia, Abdelwahab Meddeb, dalam bukunya yang berjudul Contre-Prêches (Counter-Preaching) mengajak pembacanya untuk membayangkan pertemuan dari berbagai peradaban seperti Eropa, Amerika, Jepang, Tiongkok, India, Afrika, Arab dan Muslim, "Setiap perwakilan peradaban tersebut disodorkan pertanyaan, "Apa kontribusi mereka bagi kemanusiaan untuk saat ini dan di masa mendatang." ]Jawaban apakah yang akan diberikan oleh Muslim Arab?? Tidak ada, kecuali mungkin paham Sufisme ... Kalau mereka (dunia Arab Muslim) tidak mengambil arah baru, dunia Arab dan Muslim akan mengalami kepunahan dan menjadi bagian dari sejarah akibat batasan kerangka iman Islam mereka."


Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Sadiq_Jalal_al-Azm
Dalam sebuah wawancara pada Januari 2008 dengan Harian Qatar Al-Raya, filsuf terkemuka Suriah, Sadik Jalal al-'Azm, mengatakan bahwa pemikir Islam bahkan tidak lagi berusaha untuk "berurusan dengan tema dan pertanyaan-pertanyaan sains modern." Mereka lebih tertarik untuk membicarakan penurunan moral; pemikiran keagamaan Islam mengalami degradasi dari sebelumnya. "Hari ini" dia mengatakan, "kita mendengar tentang fatwa menyusui lelaki dewasa".
mesir-dua-fatwa-ttg-menyusui-lelaki-dewasa-t13874/

Pernyataan ini merujuk pada fatwa menghebohkan pada mei 2007 yang mengatakan bawah satu-satunya cara seorang pria lajang dan seorang wanita bisa bekerja dalam ruangan yang sama adalah dengan cara menjalin hubungan kekeluargaan (menjadi muhrim). Hal ini dapat terlaksana bilamana si wanita MENYUSUI pria lajang tersebut. Jalal al-'Azm menambahkan, fatwa ini tidak dikeluarkan oleh ulama ecek-ecek, tetapi oleh seorang Kepala Departemen Urusan Hadits pada universitas Al-Azhar, institusi pendidikan terhormat dalam dunia Muslim. Namun setelah kemarahan dari publik, fatwa ini kemudian ditarik.

Contoh berikutnya datang dari buku "Religion and Life - Modern Everyday Fatwas" oleh Mufti Mesir, Dr. Ali Gum'a, dia menuliskan tentang sahabat dan pengikut Muhammad yang merasa mendapat rahmat ketika meminum air kencing, air liur dan keringat Nabi. Karena rakyat gempar, buku tersebut kemudian ditarik. Ali Gum'a juga menuliskan fatwa yang melarang wanita memakai celana panjang dan pemain sepakbola memperlihatkan kaki mereka.
fatwa-minum-kencing-muhamad-rahmat-t14494/
ludah-muhammad-katanya-wangi-t41692/
perihal-fatwa-t14480/

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Ali_Gomaa

Sadik Jalal al-'Azm juga menunjukkan bahwa dunia Arab sekarang berada pada fase pengulangan "Hadits tentang sayap lalat" : Rasulullah berkata, "jika seorang lalat masuk ke dalam minumanmu, maka salah satu sayapnya mengandung penyakit dan sayap lainnya adalah obat bagi penyakit itu" [Sahih Al-Bukhari: Volume 4, Book 54, Number 537]. Ucapan ini di-isyaratkan menjadi obat bagi penyembuhan AIDS.

:rofl:

Jeritan putus asa berikutnya datang dari pemikir Muslim India, Rasyid Shaz, "Kami umat Islam, hidup dalam paradoks. Jika kami merupakan bangsa terpilih yang dipercaya untuk memimpin dunia hingga akhir jaman mengapa kami tidak mampu mencegah keterbelakangan ini? Terlepas dari fakta bahwa umat Muslim hari ini hampir berjumlah dua miliar jiwa dan mendiami wilayah yang kaya minyak serta lokasi strategi untuk dunia industri, kami hanya menjadi konsumen dari teknologi. Teknologi baru telah merevolusi cara hidup kita secara berbeda dan proses tersebut masih berlangsung, tapi kami sebagai bangsa hampir tidak memiliki kontribusi dalam proses perubahan ini dan hampir kehilangan kendali atas perubahan di sekitar kata".

Jeritan kesedihan ini makin menjadi-jadi, karena kondisi peradaban Islam bukannya semakin membaik selama lima puluh tahun terakhir ini, namun pendulum perubahan makin menjauh dari gerak reformasi. Salah satu barometer tersebut adalah karya Khalid Muhammad Khalid, seorang pemikir Mesir, yang menulis sebuah buku yang mencerahkan. Sejak tahun 1950, buku tersebut telah dicetak ulang sebanyak 10 kali kurang dari lima belas tahun, yang berisi reformasi secara efektif dalam bidang politik dan agama. "Kita harus ingat bahwa agama harus menjadi seperti yang Tuhan inginkan; nubuatan dan bukanlah kerajaan (kekuasaan); panduan bukannya pemerintahan; pengajaran dan bukannya aturan politis". Hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga agar agama tetap murni adalah memisahkan agama dari politik; dan menempatkannya diatas politik. Pemisahan agama dari negara (politik), akan menjaga kemurnian agama dari praktik buruk politik. Namun pada tahun 1989, Khalid Muhammad Khalid, mencabut semua ide tersebut, dan beralih pada ide din wa dawla, penyatuan antara agama dan politik dalam bentuk khilafah internasional yang merupakan tujuan para Islamis garis keras.

PUING-PUING DALAM PEMBANGUNAN MANUSIA : KESAKSIAN MUSLIM

Keterbelakangan pembangunan di dunia Arab menjadi perhatian serius dari badan dunia PBB sejak tahun 2002. Hal penting disini, laporan Arab Human Development PBB tersebut dicatat oleh kaum terpelajar dunia Arab - sebuah pilihan bijak dari PBB, sehingga sulit menolak bahwa laporan tersebut merupakan sudut pandang atau produk dari pemikir barat atau orientalis.

surga-islam-hanya-bagi-mslm-buta-huruf-miskin-terbelakang-t27156/
muslim-terbelakang-kenapa-salah-sendiri-t855/

Laporan kedua, pada tahun 2003 menyatakan, "... warisan intelektual Arab saat ini mengalami kekurangan dalam ilmu-ilmu dasar." Laporan tersebut secara jelas merujuk pada kekurangan wawasan sains dan "kadang-kadang menolak realitas" dalam warisan budaya Arab. Lebih jauh laporan tersebut menyampaikan bahwa asal dari "problema pengetahuan" tersebut berasal dari pemahaman teologi yang menyatakan, "Akhirnya, kesadaran Arab telah terbungkus dalam selubung gaib, yang pada kenyataannya menandakan ketiadaan kesadaran dan meninggalkan budaya ilmiah dan ilmu-ilmu yang menyokong budaya Arab Klasik."

Laporan PBB secara tepat mengidentifikasi "Masalah pengetahuan dasar" dalam intelektual Arab. Namun laporan PBB tidak memperoleh jawaban tepat atas permasalahan tersebut. Problemanya bukan "percaya pada hal-hal gaib" tapi pada penolakan terhadap hukum alam yang disebabkan oleh konsepsi tertentu tentang Allah, yang menghapus pemikiran sains objektif. Sejak upaya sains adalah untuk mengungkap misteri hukum alam, sekolah-sekolah Ulama tidak mengajarkan ini. Malahan ada upaya untuk menyingkirkannya dan salah satunya lewat pendidikan Ash'arit.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Pervez_Hoodbhoy
Mengomentari laporan PBB ini, fisikawan Pakistan-- Pervez Hoodbhoy---pada Agustus 2007 dalan Physic Today, mencatat bahwa setelah kontribusi besar sains dari peradaban Islam sejak abad ke sembilan hingga abad ke tiga belas, "Sains dalam dunia Islam, tiba-tiba rubuh. Tidak ada penemuan yang muncul dari dunia Islam selama tujuh abad terakhir ini". Kemandeqan perkembangan sains merupakan salah satu elemen penting, walaupun bukan satu-satunya - yang akhirnya menjadikan dunia Islam terpinggirkan dan selalu merasa dizolimi.

Hoodbhoy mengutip angka2 statistik tentang kurangnya penelitian ilmiah di dunia Muslim. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Islam Malaysia, Negara-negara Muslim hanya mempunyai 8.5 ilmuwan, insinyur dan teknisi per 1000 penduduk, hampir 20 persen dari rata-rata dunia (40,7 per 1.000 penduduk) dan hanya 6 persen dari rata-rata negara-negara dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/Organisation for Economic Cooperation and Development (139.3). Di sisi lain, India dan Spanyol menghasilkan persentase yang lebih besar dalam hal literatur sains ketimbang gabungan 46 negara Muslim di dunia. Hoodbhoy juga mencatat statistik resmi bahwa "Pakistan hanya menghasilkan 8 hak Paten selama 43 tahun terakhir".

Laporan pembangunan Manusia PBB/UN Human Development Report 2003 mencatat angka-angka menyedihkan. Korea Selatan menghasilkan 144 karya
ilmiah per sejuta penduduk; sedangkan negara-negara Arab hanya menghasilkan 26 karya ilmiah per sejuta penduduk. Dilihat dari hak paten yg terdaftar selama periode 1980 hingga 2000, laporan tersebut menunjukkan bawah Korea menghasilkan 16.328 hak paten, sedangkan 9 negara kawasan Arab, termasuk Mesir, Suriah, dan Jordania, hanya menghasilkan 370 hak paten dan ini sudah termasuk hak paten yang didaftarkan oleh orang asing.

Situasi lebih parah lagi ketika negara-negara Muslim mencoba menghidupkan sains dgn menjadikannya Islamiyah. Pada tahun 80-an, "Sains Islam" diajukan sebagai alternatif terhadap "Sains Barat." Ide ini disebarkan lewat propaganda dan mendapatkan dukungan dari pemerintah Pakistan, Arab Saudi, Mesir dan negara-negara Muslim lainnya. Pendukung dari "Sains Baru" ini mengungkapkan bahwa, "Wahyu melampaui akal budi sebagai petunjuk kepada ilmu pengetahuan (sains).”

Hasil daripada "Sains Islam" ini dapat diprediksi. Hoodbhoy mencatat, ketika ayat-ayat Quran diambil sebagai fakta-fakta sains secara literal dan digunakan untuk mencatat temperatur neraka dan menghitung komposisi jin surga. Tapi ini semua tidak menciptakan mesin baru atau rumus/hipotesa baru dan bahkan tidak ada yang mampu melakukan eksperimen.

[...] Aneh untuk menyatakan bahwa sains itu beragama Islam (atau Kristen atau Hindu). Apakah hidrogen beragama Islam? Apakah lampu pijar beragama Islam? Klaim ini muncul dari pandangan imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa "Quran adalah sumber dari semua jenis sains dan pengetahuan" sehingga pengajaran ini oleh Muslim Sunni diaplikasi secara literatur. Bagi mereka, tidak ada sains selain sains Quran.

LAPORAN PBB ATAS KETERTINGGALAN DUNIA ARAB

Kehancuran dunia Arab tidak hanya dari sisi sains saja. Ketertinggalan dunia Arab dalam bidang pendidikan, kesehatan manusia, pendapatan per kapita, dan produktivitas hanya setingkat di atas kawasan sub-sahara yang merupakan kawasan tertinggal di muka bumi.

Laporan pembangunan Manusia PBB untuk dunia Arab mencatat bahwa pada tahun 2002 , "GDP gabungan seluruh negara Arab ($531.2 Milyar) bisa dilampaui oleh GDP satu negara Eropa yaitu Spanyol ($595.5 Milyar)."

Jika komoditas migas dikeluarkan dari daftar, maka angka ekspor negara kawasan Timur Tengah hanya sebanding dengan negara kecil Finlandia. Laporan tersebut juga mencatat bahwa, sejak booming migas sejak tahun 1975, pertumbuhan pendapatan per kapita kawasan Timur Tengah justru mengalami stagnasi, dimana pertumbuhan per tahun hanya 0,5% ketika angka rata-rata pertumbuhan perkapita dunia lebih besar dari 1,3%. PBB juga mencatat, "Hanya kawasan Sub-Sahara yang lebih buruk daripada Negara-negara Arab." Dalam kurun waktu yang sama, paritas daya beli menurun dari 21,3% menjadi 13,9%. Tingkat pengangguran juga makin memburuk, yaitu sebesar 15%, angka di atas rata-rata negara berkembang. Hal tersebut tidak mengherankan bilamana melihat angka penanaman modal dalam penelitian dan pengembangan pada kawasan tersebut yang tidak melebihi 0,5% dari GNP, di bawah rata-rata dunia yaitu 1,6%. Sebagai contoh, Negara Kuba saja menyediakan dana investasi sebesar 2,35% dari GNP-nya.

Lebih jauh lagi, "Diantara pandangan bahwa Dunia Arab adalah negara-negara kaya, volume perdagangan pada kawasan tersebut kenyataannya relatif kecil." Gabungan GDP seluruh negara-negara Arab (US $604 Milyar) pada akhir abad 20 hanya sedikit di atas negara kecil Spanyol (US $ 559 Milyar) dan jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan salah satu negara Eropa lainnya yaitu Italia (US$ 1.074 Miliar)- Laporan UNDP .

Menurut Laporan Pengembangan SDM di kawasan Arab, produktivitas SDM pada kawasan tersebut sangat rendah. Bila produksi minyak disertakan, maka tingkat produktivitas di negara-negara Muslim kaya minyak hanya setengah dari Argentina atau Korea Selatan. Selanjutnya, bila dilakukan komparasi terhadap negara-negara Arab yang memproduksi minyak dalam jumlah sedikit, maka tingkat produktivitas kurang dari sepersepuluh dari Argentina atau Korea Selatan.

Pada tahun 2005, John B, Taylor, pejabat Amerika untuk urusan internasional, mengutip hasil kerja dari Profesor Guido Tabellini yang menyatakan, "Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, produktivitas pada negara tersebut sebenarnya rendah, hanya 0,7 persen per tahun". sebagai perbandingan, pada periode yang sama, pertumbuhan meningkat drastis di negara Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Timur... Angka pengangguran regional berkisar 15 persen dan 30 persen untuk pekerja muda.

Dari 300 juta penduduk pada kawasan tersebut, 65 juta diantaranya buta huruf, atau dua dari tiga wanita. Menurut laporan dari dunia Arab tahun 2009, Angka ini sedikit membaik sejak tahun 2002, namun angka buta huruf masih diatas 60 juta.

Dalam istilah "Defisit kebebasan", laporan tersebut juga menyatakan, bahwa "dari tujuh kawasan dunia, negara-negara Arab menempati skor terendah dalam bidang kebebasan hingga akhir 1990-an." dan ada sedikit perubahan sejak itu.

Menurut badan dunia PBB, produktivitas buku-buku ilmiah dan sastra sangat kurang dalam dunia Muslim. Dunia Islam hanya mempublikasikan satu persen dibandingkan dengan produktivas rata-rata dunia sebesar 5%. lebih jauh lagi, kontribusi dunia Muslim dalam bidang literatur seni hanya kurang dari satu persen. Lebih jauh lagi, buku-buku yang diterbitkan dalam dunia Arab, 17% merupakan buku-buku keagamaan. Menurut catatan badan dunia UNESCO, pada tahun 1991, Negara-negara Arab hanya menghasilkan 6.500 judul buku dibandingkan dengan 102.000 judul buku yang diterbitkan di kawasan Amerika Utara, 42.000 Judul buku di kawasan Amerika Latin dan Karibia.

Buku-buku yang diterjemahkan dalam dunia Arab hanya seperlima dibandingkan dengan yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Faktanya, selama seribu tahun, sejak Pemerintahan Al-Ma'mun, Komunitas Arab hanya menerjemahkan 10.000 judul buku, atau setara dengan jumlah yang diterjemahkan dalam bahasa Spanyol dalam satu.

Litani Suram dari Filsuf Suriah, Sadik Jalal al-Azham
Dengan mengamati angka-angka tersebut, kita mengetahui bahwa dunia Arab mengkonsumsi segala sesuatu tapi tidak mampu mengolah bahan baku. Apa yang bisa kita harapkan dari megara Arab? Amatilah Negara Arab dari ujung ke ujung; tidak ada nilai tambah pada apapun. Apa yang kita produksi? Apa yang kita ekspor? [Ini adalah kenyataan pahit] apakah anda berbicara tentang material, ekonomi, bidang ilmiah, atau intelektual atau apapun. Lihat produksi minyak, sebagai contoh. Apakah hubungan Negara Arab dengan industri minyak? Mereka memiliki ladang-ladang minyak, tetapi tidak memiliki kemampuan dalam menggali, menyuling dan memasarkan serta mengirimkan minyak-minyak tersebut. Amatilah pada ladang-ladang pengeboran minyak dan teknologi telekomunikasi, apakah ada orang Arab didalamnya? Saya meragukan dunia Arab mampu memproduksi telepon tanpa mengimpor suku cadang dan teknologi yang dibutuhkan, dan bahkan juga mungkin teknisi-nya.

Dalam bidang pendidikan, hal-hal yang terlihat tidak lebih baik. Dalam artikel Wall Street Journal, Sheikh Muhammad bin Rashid al Maktoum, Perdana menteri Uni Emirat Arab dan Penguasa Dubai, mencatat bahwa lebih dari setengah penduduk Arab yang berjumlah 300 juta merupakan kaum muda berusia kurang dari 25 tahun. Dia bertanya secara retoris, "Berapa banyak sih yang kita berikan untuk dana pendidikan?" Pengeluaran perkapita dari 22 negara Arab (Anggota Liga Arab) dalam lima belas tahun terakhir ini hanya 20% hingga 30%, ketika di saat yang sama negara-negara lain mengeluarkan dana yang lebih besar.

Awal Kehancuran : Benih Islamis

Kondisi Negara Arab masa kini amat sangat jauh bila dibandingkan dengan kegemilangan Khalifah Al-Ma'mun penguasa Baghdad. Ali Allawi meratapkan, "Daya kreatif hampir satu setengah milyar Muslim di jaman modern ini, amatlah kerdil bila dibandingkan dengan output daya kreatif dari 20 atau 30 juta Muslim pada masa dinasti Abbasid." Secara jelas, laporan PBB tahun 2003 mengutip perkataan filsuf Arab pertama, al-Kindi, pemikir yang didukung oleh al Ma-mun, untuk mendorong penerimaan kebenaran, tidak peduli dari mana berasal. Saran halus bahwa dunia Arab harus mengejar ketertinggalan dengan masa lalu. Mengulangi pertanyaan dari al-Afghani : "Perlu dipertanyakan mengapa peradaban Arab, setelah menjadi obor penerang bagi dunia, tiba-tiba padam; dan mengapa obor tersebut belum menyala sejak itu, dan mengapa dunia Arab masih terkubur dalam kegelapan pekat.''

Pertanyaan ini harus ditangani dalam konteks waktu yang sangat panjang. Seperti biasanya dalam sejarah kehancuran kerajaan-kerajaan, Islam kehilangan vitalitas intelektual ketika kekuasaan kerajaan tersebut berlahan-lahan redup. Islam sebagai peradaban global dengan Arab sebagai pusatnya secara perlahan mengalami keruntuhan bertahap dari dalam dirinya sendiri (dengan bantuan pasukan Mongol yang menghancurkan Khalifah Bahgdad pada 1258). Penurunan tersebut berlangsung tanpa interupsi dan kemudian Arab sebagai pusat peradaban Islam digantikan oleh dinasti Usmani. Bagaimanapun, degradasi tersebut menimbulkan pertanyaan yang mengganggu. Hal ini terjadi terutama karena serangan kekuatan peradaban Barat yang maju ke tanah suci Islam.

Seperti yang ditulis oleh Ibnu Khaldum dalam Mukadimah (Pengantar Sejarah), Muslim "berada di bawah kewajiban untuk mendapatkan kekuasaan atas bangs-bangsa lain." Bukankah Allah sudah berjanji, "Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang" (QS.37:173)? Dan tidak mengherankan keberhasilan Islam di abad-abad pertama mengkonfirmasi nubuatan untuk umatnya? Kegagalan sangat menyakitkan sebab Islam didorong oleh semangat teologi.

Kemudian hal tersebut makin memburuk pada tahun 1798, ketika Napoleon mengalahkan Mesir pada pertempuran Piramida (atau lebih awal lagi ketika Dinasti Turki Ottoman dipaksa untuk menandatangani perjanjian Küçük Kaynarca pada tahun 1774 dengan Russia ). Seperti yang diamati oleh Abd al-Rahman al-Jabarti pada saat itu, dunia Muslim mengalami kebingungan secara politik, teologi, filosofis. Bagaimana mungkin hal ini terjadi, Islam dikalahkan di tanah sendiri??

Keadaan makin memburuk sejak PD I, ketika kekhalifahan Turki Ottoman runtuh pada tahun 1924 dan berubah menjadi negara sekuler dan kolonisasi Bbarat yang hampir lengkap dari Levant dan Maghreb. Ada musuh lama disana, Barat, yang sedang memerintah Dunia Islam. Dalam pengajaran Islam ketat, non- Muslim tidak diijinkan untuk memerintah Negara Islam. Sangat memalukan bagi Muslim jika diperintah seorang kafir. Tiba-tiba, sebagian besar dunia Islam diperintah oleh Kafir Barat. Bagaimana hal ini dapat dipahami dalam kacamata iman dan apa yang harus dilakukan?

Ada dua tanggapan dari pihak Islam. Tanggapan pertama mengatakan pemikiran Islam sudah karatan dan ketinggalan jaman, hal inilah yang mengakibatkan kemunduran dunia Islam. Maka, dibutuhkan modernisasi dan belajar dari Dunia barat. Untuk melakukan ini, Islam harus diintepretasi kembali untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran mendasar dan prinsipnya, pada kenyataannya tidak hanya kompatibel dengan ilmu pengetahuan modern, tetapi juga mendasari pencapaian sains modern tersebut. Islam telah memimpin jalan pada Abad Pertengahan, dan kemajuan Barat saat ini banyak berdiri di atas prestasi pengetahuan Islam. Taqqiya/Mitos Islam!
LIHAT menampik-kebohongan-ttg-hebatnya-peradaban-arab-muslim-t11777/
jaman-emas-islam-vs-sejarah-sains-t19466/

Sekarang saatnya, Islam harus merebut kembali warisan dari Barat dan mengembangkan lebih jauh lagi. Tanggapan ini sudah ada jauh sebelum akhir kekhalifahan Muslim di Mesir dan India dibawah dominasi kekuasaan barat.

Jamal al-Din al-Afghani, seorang Pan-Islamis, menegaskan bahwa tidak ada konflik antara iman dan akal dalam Islam dan ia berusaha melakukan modernisasi Islam dalam rangka memperkuat perlawanan terhadap dunia Barat. Superioritas negara Barat terlihat dari perkembangan sains dan kekuatan yang berasal dari sains dan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam kritikan pedasnya terhadap ulama India, ia mengatakan, "Mereka tidak bertanya: Siapakah kita dan apa yang benar serta tepat buat kita? Mereka tidak pernah bertanya tentang pengetahuan akan listrik, mesin uap, dan kereta api ... Ulama kita saat ini berada dalam menara gading yang tidak memberikan bimbingan kepada umatnya. Ketika berkorespondensi dengan penulis Perancis, Ernest Renan, al-Afghani menuliskan, "Seorang mukmin sejati, pada kenyataannya mundur dari jalan cara penelitian guna mencari kebenaran objek saintifik ... dan berubah menjadi sapi untuk membajak. Dogma telah memperbudak dia, dia harus berjalan selamanya dalam jalan yang telah ditentukan baginya oleh para penafsir hukum. Sang mukmin begitu yakin bahwa agama Islam berisi seluruh nilai moralitas dan pengetahuan sains, sampai dia tidak lagi berusaha untuk melampaui hukum yang sudah ditetapkan ... yagn membuatnya membenci ilmu pengetahuan." "Sebenarnya," tegas Al-Afghani, "agama Islam melumpuhkan sains dan menghentikan perkembangannya.''

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh

Al-afghani mengajar Muhammad 'Abduh, orang mesir (1849-1905), tentang rasionalisme pemikiran Islam awal, termasuk Ibnu sina. Meskipun Abduh telah menerima pengajaran tradisional, termasuk empat tahun belajar di Universitas Al-azhar Kairo, dia memberontak pada cara belajar hafalan dan kurangnya filsafat dan teologi dalam curriculum Al-Azhar. Seorang profesor tradisional Al-Azhar, Sheik Ulaysh, mengkonfrontasi dia dengan bertanya, apakah dia melepaskan pengajaran Ash'arit guna mengikuti paham mutazillah. Abduh menjawab, ”Jika saya melepaskan penerimaan buta doktrin (taqlid) Ash'arit, kenapa saya menerima penerimaan buta dari Mutazilah?" Ini adalah jawaban cerdas, karena doktrin "penerimaan buta" adalah hal yang dilawan oleh doktrin Mutazillah, dan akan sangat berbahaya bagi Abduh bila secara terang-terang menyatakan simpati pada aliran Mutazilah. Walaupun begitu, Abduh diasingkan karena mencoba melakukan reformasi. Di Beirut, dia menulis Risalat al-tawhid. Pada edisi pertama buku tersebut Abduh menuliskan "Saya sepaham dengan Mutazilah dan setuju bahwa Al-Quran itu dibuat - Khalq Al-Quran - dan tidak abadi bersama Allah". Saking kontroversialnya ucapannya itu, dia menghapus tulisan tersebut pada edisi berikutnya.

Sekembali-nya dari Beirut, Abduh masih menemui kesulitan dalam upaya reformasi di Universitas Al-Azhar, bahkan dalam pengajaran pemikiran klasik Ibnu Khaldun dari abad 14. "Setelah saya kembali dari pengasingan, saya mencoba meyakinkan Sheik Muhammad al-Anbabi, sheik Al-Azhar saat itu, untuk memberikan beberapa usulan, tapi sang sheik menolaknya. Ketika saya berkata kepadanya, "Apakah anda setuju, kalau saya mengajarkan Mukadimah (tulisan Ibnu Khaldun) di Al-Azhar?? Dan saya menjelaskan kepadanya tentang manfaat dari pengajaran tulisan Ibnu Khaldun. Sang sheik menjawab, "Hal itu akan menentang tradisi pengajaran di Al-Azhar."

Selain tentang ide bahwa Al-Quran dibuat, Risalat juga memuat pengajaran-pengajaran utama kaum Mutazillah dan seolah-olah ditulis oleh Abd al-Jabbar. "Bagaimana kita dapat menolak akal rasio berdasarkan pemeriksaan bukti-bukti untuk mendapatkan kebenaran sebagai anugerah Ilah? Namun kewajiban ini (mengenali wahyu) tidak melibatkan alasan dalam menerima kemustahilan rasional seperti inkompatibilitas atau pertentangan pada waktu dan tempat yang bersamaan.....Tetapi jika muncul sesuatu yang bertentangan maka akal budi harus lebih dipercaya ketimbang perasaan." Maka kemudian bebas untuk mencari arti sebenarnya dengan mengacu pada pesan Rasul Allah di mana ambiguitas muncul. Wahyu diberikan" untuk membantu alasan keliru dengan mendefinisikan tindak dan baik dan buruk berdasarkan prinsip utilitas.

Abduh menyatakan keinginannya, "Untuk membebaskan pikiran dari belenggu talid (imitasi atau emulasi).....untuk kembali, dalam akuisisi pengetahuan agama, dan menimbang mereka dalam skala akal budi manusia, dimana Tuhan telah menciptakan untuk mencegah tindakan berlebihan atas nama agama....dan membuktikan bahwa, dilhat dalam terang ini, agama haruslah menjadi sahabat dari sains, yang mendorong manusia untuk menguak tabir rahasia semesta."

Abduh kemudian menjadi Mufti Mesir - otoritas tertinggi dalam hukum Islam. Karena terpesona akan Leo Tolstoy dan Herbert Spencer, dia pergi ke London untuk menemui mereka, "Abduh tidak bersedia seperti kaum Mutazilah "menundukkan kuasa ilahi kepada prinsip keadilan," seperti yang sudah kita baca sebelumnya. Posisinya adalah bahwa "Akal memiliki kekurangan untuk menembus esensi sesuatu. Untuk mencari tahu sifat sesuatu dengan berbagai kompleksitasnya, justru akan membawa kita kepada esensinya, yang tidak dapat diakses secara rasional.”

Menarik untuk mencatat alasan mengapa Abduh tidak menyetujui reformasi Tanzimat dlm kekaisaran Turki Ottoman yang memberikan persamaan hak di depan hukum kepada Muslim dan non Muslim. Dia tidak menentang substansi dari reformasi tersebut tetap memiliki keberatan karena reformasi tersebut bukan berasal dari dan oleh agama, sebagaimana seharusnya, akan tetapi merupakan pemberontakan terhadap agama... Semua upaya perubahan dalam Islam telah gagal karena mereka tidak memiliki legalitas. Bahkan untuk Abduh, kemudian, "Akal bukanlah legislator" dan Islam tetaplah menjadi satu-satunya sumber hukum (legitimasi).

Image
http://simple.wikipedia.org/wiki/Syed_Ahmed_Khan

Di India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) melangkah lebih jauh daripada Abduh yang bersikeras pada keutamaan alasan dan keterciptaan Quran. "Jika orang tidak menghindari ketaatan buta, jika mereka tidak dapat menemukan cahaya dalam Quran dan Hadits, dan tidak dapat menyesuaikan terhadap agama dan sains dewasa ini, Islam akan punah di India." Didirikan oleh Khan, Universitas Aligarh, meniru Universitas Cambridge, yang menjadi pusat utama bagi pembaharuan intelektual. "Dari seluruh buku agama yang ada saat ini dan digunakan dalam pengajaran, yang manakah dari mereka yang membahas filsafat Barat atau hal-hal ilmiah modern yang menggunakan prinsip-prinsip agama? Dari mana saya harus mencari konfirmasi atau penolakan atas rotasi bumi, atau jaraknya dengan matahari? Jadi adalah seribu kali lebih baik tidak membaca buku-buku ini daripada membacanya. Ya, jika orang yang beragama Islam menjadi pejuang sejati dan berpikir agamanya benar, maka biarkan dia datang tanpa rasa takut ke medan perang dan lakukan terhadap dunia barat dan sains modern apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka terhadap filsuf Yunani. Hanya itu satu-satunya cara buku agama dapat berguna, daripada sekedar membeo. Katanya lagi, "Hari ini kita membutuhkan teologi modern (Ilm al-kalam) seperti sebelumnya dengan begitu kita akan dapat menyangkal doktrin dunia modern atau melemahkan dasar mereka, atau menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang mereka temukan sesuai dengan keimanan Islam (Hadits dan Quran)."

Ahmad Khan menolak hukum sharia dan mengatakan bahwa Quran harus di interpretasi ulang untuk mengkonfirmasi pengetahuan akan fakta realitas fisik. Dia tidak saja menyuarakan paham mutazillah tetapi juga menganut pandangan filsuf Islam, termasuk pandangan Aristotele yang mendeskripsikan Tuhan sebagai "Penyebab Pertama (Prima Kausa)."

Muridnya, Sayyid Ameer Ali (1849-1924), mengutuk al-Anshari, ibn Hanbal, Al-Ghazali, dan ibnu Taymiyya krm menyebabkan keruntuhan sains dan budaya Islam. Pesan dari Ahmad khan sangat dibenci oleh para ulama dan ia difitnah oleh para ortodoks, yang memboikot Universitas Aligarh, bahkan penjaga Ka’bah (Mutawali) mengumumkan bahwa dia adalah musuh Islam dan darahnya halal untuk ditumpahkan. Bahkan Al-afghani menganggap Khan seorang heretic (sesat).

Upaya dari al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan orang-orang seperti mereka menemui kegagalan dalam rangka re-orientasi budaya dan hukum Islam agar Islam mampu menyerap sains modern dan cara berpikir rasional. Alasan untuk hal ini mungkin adalah karena mereka (perubahan2 itu) tidak dipandang berasal dari rahim Islam. Satu hal yang harus diingat adalah, sampai abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh, selama 1000 tahun paham Ash'arisme sudah meresap ke dalam setiap sudut dan celah budaya Arab. Pengaruhnya tidak bisa dihilangkan dalam waktu lima puluh tahun atau lebih.

Image
http://en.wikipedia.org/wiki/Bassam_Tibi

Alasan terpenting untuk kegagalan ini, menurut Bassam Tibi adalah, "Modernisasi Islam tidak pernah melampaui dogma, bersifat skriptulis, bertindak eksklusif dengan batasan dogma. Sebab modernitas tersebut tidak berangkat dari apa yang ditanyakan oleh Arslan ("Kenapa Muslim mengalami kemunduran"), maka tidak ada inovasi kultural yang dihasilkan. David Pryce-Jones menerangkan bahwa "Afghani membangun definisi kemajuan yang bertentangan dengan masa lalu Islam."

Ironisnya, para reformator ini meletakkan pondasi bagi pergerakan Salafi. Jika kita menelusuri genealogi dari ideologi Islamis sekarang ini yang nampak adalah seruan agar Muslim kembali kepada cara2 Sahabat Nabi.** Ini semua berujung pada Al-afghani. Urutannya adalah al-Afghani -->> Muhammad Abduh -->> Rashid Rida -->> Hassan Al-banna -->> Sayyid Qutb -->> Osama Bin laden dan Ayman al-Zawahiri.

Kalau para 'reformator' ini mau kembali ke masa lalu, problemanya adalah, masa lalu tidak dapat diubah. Oleh karena itulah reformasi pada penghujung abad 19 dan awal abad 20, celakanya mati diaborsi. Pada 2008, penulis Saudi dan reformis, Turki Al-Hamid, menulis ucapan selamat tinggal kepada gerakan reformasi:
"Sejak awal abad 20 hingga hari ini, kita terus menerus mendengar orang berbicara bahwa kita harus mengadopsi hal-hal baik dari Barat dan mengabaikan hal-hal yang jelek. TAPI kalian tidak dapat melakukan hal itu. Produk2 peradaban modern seperti mobil, komputer dll - semua ini adalah produksi dari filsafat tertentu, cara berpikir tentu. Jika Anda mengadopsi produk, tapi mengabaikan pembuatnya - anda memiliki masalah. Kalian tidak dapat melakukan hal itu. (Untuk kita) Produk tersebut mungkin barang baru, tapi pemikiran dibelakangnya (pemikiran Barat/Yunani/Yudeo-Kristen) bukan pemikiran ecek-ecek yang lahir kemarin. Apa daya, maksud hati ingin bergerak maju tapi pandangan menoleh kebelakang melulu."
-------
** 'Kembali pada cara Sahabat2 Nabi ' terkandung dalam ayat Medinah Quran: ''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." [QS.3:110]. Karena itulah (untuk mencapai 'umat yg terbaik' ala Medinah itu, ala Sahabat2 Nabi), mau tidak mau, semua reformasi Islamiyah harus MUNDUR ke jaman Medinah itu, 1400 tahun lalu!




Daftar Isi

KATA PENDAHULUAN 

CHAPTER 1 -   CHAPTER 2 -   CHAPTER 3 CHAPTER 4  - CHAPTER 5  - CHAPTER 6 - CHAPTER 7 CHAPTER 8 CHAPTER 9 

Diterjemahkan oleh Relawan Translator FFI Indonesia dan dikutip dari FFI Indonesia

0 comments:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money